Manusia Seutuhnya

BOOK ID

سرشناسه:مطهری، مرتضی، 1298 - 1358.Mutahhari, Murtaza

عنوان قراردادی:انسان کامل . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور:Manusia Seutuhnya: Studi Kritis Atas Berbagai PandanganFilsafat, Irfan, Dan Teori Sosial Modern/ Murtadha Muthahhari; penterjemah Abdillah Hamid Ba’abud.

مشخصات نشر:Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری:298ص.؛ 5/14×5/21 س م.

فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/271/178. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 17.

شابک:978-964-195-048-6

وضعیت فهرست نویسی:فیپا

یادداشت:اندونزیایی.

موضوع:انسان (عرفان)

شناسه افزوده:باعبود، عبدالله حمید، مترجم

شناسه افزوده:Ba abud, Abdillah Hamid

رده بندی کنگره:BP287/2/م6الف8049519 1393

رده بندی دیویی:297/83

شماره کتابشناسی ملی:3649499

p:1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Manusia Seutuhnya

Studi Kritis Atas Berbagai Pandangan

Filsafat, Irfan, Dan Teori Sosial Modern

Murtadha Muthahhari

penerjemah:

Abdillah Hamid Ba'abud

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Manusia Seutuhnya Studi Kritis Atas Berbagai Pandangan Filsafat, Irfan, Dan

Teori Sosial Modern

penulis: Murtadha Muthahhari

penerjemah: Abdillah Hamid Ba’abud

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-048-6

انسان کامل

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعله

تیراژ: 300

قیمت: 145000 ریال

مؤلف: مرتضی مطهری

مترجم: عبدالله حمید باعبود

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.

ir m iup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB

p: 5

PEDOMAN TRANSLITERASI PERSIA

p: 6

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB....vii

PEDOMAN TRANSLITERASI PERSIA....viii

PRAKATA PENERJEMAH....xvii

Bagian 1

AIB-AIB MENTAL DAN JIWA MANUSIA....1

Perbedaan antara Kata Kamal dan Tamam....6

Istilah Insan kamil....8

Cacat Fisik dan Mental Manusia....9

Penyakit-penyakit Ruh dan Jiwa Manusia ................. 13

Sebuah Contoh dari Penyakit Hati...14

Maskh (Perubahan Manusia Menjadi Hewan............. 17

Ramadhan Sebagai Bulan Pembersihan Diri........... 21

Bagian 2

KESEIMBANGAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN.......25

Perlunya Keseimbangan Nilai-nilai Insani............28

Contoh-contoh Ifrath (Berlebihan)......32

Multidimensialitas Nahjul Balaghah..................39

Sifat-sifat Ali a.s..........41

Hari-hari Terakhir Kehidupan Ali a.s...............44

p: 7

Bagian3

DERITA MANUSIA........49

Ruh Manusia ....51

Derita dan Pengaruhnya yang positif....53

Keluhan pada Akal.....56

Derita Manusia ............58

Beberapa Tamsil tentang Derita Manusia....59

Derita Manusia dalam Sabda Ali a...................59

Sebuah Analogi dari Maulawi....61

Derita Manusia terhadap Makhluk Tuhan..........63

Pandangan Islam..63

Derita yang Diinginkan......................66

Bagian4

DERITA MENCARI DAN MENGENAL ALLAH.....71

Terlepasnya “Insaniyyah” dari Manusia...................... 74

Manusia Mencari Kesempurnaan yang Mutlak ........ 76

Perjalanan Insan kamil Menurut 'Urafa ............79

Perlunya Keselarasan Kecenderungan Eksternal dan Internal........80

Sebuah Contoh dari Sejarah Islam .....................84

Rusyanfikri (pencerahan) Model Umar.................85

Muruwwah Ali a.s. ..............90

Munajat Ali a.s..... .............92

Ali a.s. di Ambang Syahadah .......93

p: 8

Bagian5

BERBAGAI PANDANGAN TENTANG MANUSIA SEUTUHNYA.... 99

Paham Akal..101

Paham Isyq..............104

Paham Qudrat (kekuasaan)...105

Apakah Kehidupan itu Berarti Perang yang Terusmenerus?....108

Paham Kelemahan ..............112

Paham Mahabbah......116

Dua Aliran Lain .................118

Paham Keterpenuhan...119

Sikap dalam Menghadapi Kematian.............120

Pemakaman Ali a.s. Secara Diam-diam.................... 123

Bagian6

STUDI KRITIS PAHAM AKAL...127

Ringkasan Paham Aqliyyun ....129

Beberapa Paham yang Menentang Paham Akal..... 131

Nilai Ma'rifah Aqliyah dalam Islam ....132

Dua Keberatan terhadap Paham Akal.................136

“Ashalah” Iman.......140

Dalil-dalil dari Al-Quran dan Nahjul-Balaghah.......... 143

p: 9

Bagian7

RINCIAN ALIRAN IRFAN.......149

Isyq Menurut Pandangan “Urafa...............151

Jalan Menuju Kesempurnaan ..............153

Ilmu Ifadhi...............155

Naik-Turunnya Ruh.................158

Suluk Insan kamil.....160

Beberapa Kritikan Terhadap Aliran ‘Irfân......162

Bagian8

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN IRFAN I. ...167

Penghinaan atas Akal oleh Sebagian “Urafa..........171

Memalingkan Diri dari Alam ............173

Sebuah Perumpamaan dari Maulawi.. ....174

Hubungan Manusia dengan Alam..............178

Pandangan Islam............179

Penyempurnaan Ruh di Dunia ...............182

Meninggalkan Ego............184

Bagian9

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN IRFAN II...187

Egoisme Tingkat Pertama........190

Egoisme Tingkat Kedua.................191

Egoisme Tingkat Ketiga .....192

p: 10

Tipuan dan Bujukan........193

Penyakit-penyakit Jiwa yang Tersembunyi...............194

Jihad an-Nafs dalam Al-Quran dan Hadis......195

Bentuk Lain Jihad an-Nafs...........198

Keinsanan Hakiki Manusia..................200

Izzat an-Nafs dalam Al-Quran dan Hadis ..............201

Bagian10

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN KEKUASAAN...207

Sejarah Ringkas Aliran Qudrah (Kekuasaan..........208

Pandangan Bacon dan Pengaruh-pengaruhnya......... 209

Pemanfaatan Teori Darwin oleh Nietzsche .............. 212

Ringkasan dari Beberapa Pandangan Nietzsche .....214

Logika Islam tentang Kekuasaan...........219

Kekuatan dan kekuasaan dalam Hadis......221

Kekuatan Ruh dan Fisik Rasulullah saw .....225

Bagian11

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN QUDRAH DAN MAHABBAH.......... 227

Kesalahan-kesalahan Aliran Qudrah....................... 230

Qudrah Ruhi...........232

Belas Kasih pada Tempatnya dan yang Tidak pada Tempatnya..........234

“Kekuatan Hakiki” dalam Hadis. ............................. 238

Aliran Mahabbah....241

Ajakan Al-Quran pada “Ihsan” dan “Itsar”............ 243

p: 11

Sebuah Contoh dari Kasih Sayang.......244

Rasa Belas Kasih di Barat.......245

Keadilan Lebih Utama daripada Itsar..248

Contoh dari Sebuah Itsar yang Nyata....................250

Kritik Terhadap Aliran Mahabbah.....251

Pengabdian pada Masyarakat Merupakan Pendahuluan dari Iman ............. 253

Bagian12

STUDI KRITIS ATAS PANDANGAN SOSIALISME ...................... 255

Ringkasan Paham Sosialisme.......................258

Letak Kesalahan Paham Sosialisme .................261

Dunia Dilihat Melalui Kaca Mata Ali a.s..................262

Pembenahan Batin adalah Jalan untuk Bebas dari Keakuan.......264

Tidak Terbatasnya Faktor-faktor Pencipta Keakuan dalam Pemilikan ......265

Iman adalah Jalan Meng-kita-nya ‘Para Aku.....268

Kekurangan Dalam Makna Puisi Sa'di...270

Kisah Onta dan Serigala ..272

Bagian13

STUDI KRITIS ATAS PANDANGAN EKSISTENSIALISME..........275

Prinsip Keberadaan dalam eksistensialisme.............. 278

Berbagai Akibat dari Keterikatan dan Ketergantungan Manusia.......280

p: 12

Keyakinan pada Tuhan Menurut Eksistensialisme ... 282

Kesempurnaan Bergerak dari diri' Ke ‘diri........... 283

Kesalahan Pandangan Eksistensialisme Tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan.......285

“Pengetahuan tentang Diri” dan “Pengetahuan tentang Tuhan”..............287

Jawaban Bagi Beberapa Kritikan.............................288

“Kesempurnaan Tujuan” dan “Kesempurnaan Perantara”............289

Kebebasan Menurut Islam ............291

INDEKS.........295

IKLAN

p: 13

p: 14

PRAKATA PENERJEMAH

Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan kumpulan dari 13 (tiga belas) majlis (pertemuan) ceramah pemikir besar Syahid Murtadha Muthahhari dengan tema Insan kamil, yang beliau sampaikan pada bulan suci Ramadhan tahun 1353 Hijriyah Syamsiyah (sekitar tahun 1974) di Masjid Jawid Teheran, di hadapan para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Dipilihnya tema di atas, bukanlah tanpa tujuan tertentu.

Karena pada masa-masa itu, di tengah masyarakat Islam telah tersebar sebuah bentuk pemikiran yang banyak memperhatikan segi-segi sosial Islam dan terabaikannya sisi spiritual; yang mana sebelum itu terjadi hal yang sebaliknya (banyak perhatian pada segi spiritual dan sedikit pada segi sosial). Dengan tujuan menjelaskan bahwa Islam adalah sebuah agama dan tuntunan hidup yang komprehensif, dan Insan Islam adalah manusia multidimensional, yang melaksanakan seluruh ajaran agama ilahi ini secara selaras dan harmonis, maka dengan harapan menjaga pemuda-pemudi Islam dari keterpasungan dalam satu dimensi Islam saja, beliau sengaja mengetengahkan tema ini.

Perlu diketahui, karena buku ini merupakan suatu upaya penerapan bahasa tulisan -yang identik dengan keteraturan dan keteliatian- dari bahasa lisan -yang biasanya bebas- maka beberapa kekurangan yang mungkin akan dirasakan oleh pembaca, haraplah menjadi maklum adanya.

p: 15

Dan karena penyampaian materi ini bertepatan dengan syahadah penghulu kaum muttaqin Imam, Ali bin Abi Thalib as, maka pada akhir majlis kedua sampai majlis kelima pembaca akan menjumpai ungkapan bela sungkawa (dzikrul musibah) atas syahadah beliau as.

Terlepas dari itu semua, buku ini sangatlah berguna untuk memperbaiki pandangan ktia tentang siapakah manusia seutuhnya (insan kamil) yang sebenarnya? Buku ini sekaligus memberi kita wawasan yang lebih luas tentang agama dan ajaran- ajarannya yang benar.

Selamat membaca, Bangil, 12 J. Awwal 1415 H Penerjemah Abdillah Hamid Ba’abud xvi

p: 16

Bagian 1

AIB-AIB MENTAL DAN JIWA MANUSIA

Point

p: 1

p: 2

«وَإِذِ ابْتَلَی إِبْرَاهِیمَ رَبُّهُ بِکَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّی جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّیَّتِی قَالَ لَا یَنَالُ عَهْدِی الظَّالِمِینَ » dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.". Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah 124) Tema pembahasan kita adalah insan kamil (manusia seutuhnya) menurut pandangan Islam. Insan kamil adalah manusia teladan atau manusia ideal. Manusia seperti halnya makhluk-makhluk yang lain, ada yang sempurna ada yang tidak, ada yang sakit ada yang sehat, ada yang cacat dan ada juga yang utuh. Manusia sehat sendiri terbagi menjadi dua bagian: manusia sehat yang kamil dan manusia sehat yang tidak kamil.

Dalam pandangan Islam, mengenal insan kamil atau manusia teladan itu adalah wajib hukumnya, ia merupakan contoh, uswah, standar, dan model bagi setiap Muslim.

Jika kita hendak menjadi seorang Muslim yang sempurna dan ingin mencapai kesempurnaan manusiawi dalam bimbingan dan pendidikan Islam, terlebih dahulu kita harus mengenal manusia sempurna itu, bagaimana jiwa dan mentalnya serta apa ciri-cirinya? Dengan demikian, kita akan dapat membina diri dan masyarakat kita mengarah kepada manusia tersebut. Sebaliknya, tanpa mengenalnya, kita tidak akan dapat menjadi manusia yang sempurna.

p: 3

Cara-cara Mengenal Insan kamil Menurut Pandangan Islam Ada dua cara untuk mengenal insan kamil:

Pertama, dengan melihat bagaimana Al-Quran dan hadis menggambarkan manusia sempurna tersebut (walaupun Al-Quran dan hadis sendiri tidak menyebutkan istilah insan kamil, tetapi menggunakan istilah atau ta'bir muslim kamil dan mukmin kamil).

Kedua, mengenal insan kamil tanpa penjelasan dari Al- Quran maupun hadis, melainkan dengan cara mengenal langsung individu-individu yang meyakinkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terbina sedemikian rupa sebagaimana yang diinginkan oleh Al-Quran dan hadis. Mereka inilah wujud nyata dari insan-insan kamil Islam karena manusia sempurna menurut Islam bukan sekadar ide atau khayalan yang tidak akan pernah kita jumpai dan hanya merupakan hasil imajinasi atau idealisme semata. Tidak, bukan demikian, manusia sempurna memang benar-benar ada dan nyata, dalam tingkat yang rendah, lebih tinggi, hingga yang paling tinggi.

Rasulullah saw sendiri adalah salah satu potret insan kamil Islam. Selain beliau, bisa ditampilkan juga Ali bin Abi Thalib as.

Mengenal Ali as berarti mengenal insan kamil Islam. Yang dimaksud mengenal di sini, bukanlah hanya sebatas mengetahui identitasnya saja. Terkadang seseorang menilai Ali as hanya sebatas identitasnya, seperti namanya adalah Ali, ayahnya adalah Abu Thalib, ibunya adalah Fathimah binti Asad bin Abdul Uzza, suami dari Fathimah putri Rasul saw, ayah Al-Hasan dan Al- Husein cucu Rasulullah, dilahirkan pada tahun sekian, meninggal pada tahun sekian, ikut serta dalam sekian banyak peperangan, dan seterusnya.

p: 4

Ini semua adalah mengenal Ali as sebatas identitasnya. Ada perbedaan antara mengenal beliau as dengan cara ini, dengan mengenal beliau sebagai insan kamil.

Mengenal beliau sebagai insan kamil dapat dilakukan hanya dengan cara mengenal kepribadiannya, bukan pribadinya. Sejauh mana kita dapat mengenal kepribadian Ali as, sejauh itu pula kita telah mengenal insan kamil. Begitu juga, sejauh mana kita secara amaliah, menjadikan insan kamil sebagai pemimpin dan panutan kita, kemudian selalu melangkah mengikuti jejaknya, sejauh itu pula kita telah menjadi pengikut atau pendukung manusia sempurna tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syahid Awwal dalam bukunya al-Lum’ah kitab al-Waqf bahwa “Syiah adalah orang yang mengikuti Ali as”.

Artinya, seseorang tidak dapat dianggap Syiah hanya dengan ungkapankata-kata. Bahkandenganpernyataancintasajaseseorang belum dapat dianggap Syiah. Seseorang baru dapat dianggap Syiah jika telah mengikuti Ali as secara amaliah (dalam praktik).

Sampai di sini kita telah mengetahui dua cara mengenal insan kamil berikut maksudnya. Beranjak dari situ, kita mengerti bahwa pembahasan tentang insan kamil bukan sekadar pembahasan ilmiah-filosofis murni yang hanya akan memberikan hasil berupa teori ilmiah. Sekali lagi, jika kita tidak mengenal insan kamil melalui penjelasan-penjelasan Al-Quran dan hadis atau melalui figur-figur nyata hasil didikan Islam, maka kita tidak akan dapat terbimbing pada jalan yang telah digariskan oleh Islam. Kita tidak akan dapat menjadi Muslim hakiki dan masyarakat tidak akan dapat menjadi masyarakat Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kita wajib mengenal insan kamil, manusia ideal, berderajat tinggi, dan mulia tersebut.

p: 5

Perbedaan antara Kata Kamal dan Tamam

Dari sini timbul pertanyaan: Apakah arti kata kamil? Kemudian apa pula arti insan kamil? Dalam bahasa Arab sering ditemukan dua kata yang arti atau maknanya mirip satu dengan lainnya, sedangkan antonim (lawan kata) dari kedua kata tersebut hanya satu kata. Jadi kata tersebut terkadang digunakan sebagai lawan kata dari kata “ini” dan kadang dipakai sebagai lawan dari kata “itu”.

Sebagai contoh kata kamil dan taam memiliki satu lawan kata, yaitu naqish.

Dalam sebuah ayat Al-Quran dua kata di atas digunakan bersamaan:

«الْیَوْمَ أَکْمَلْتُ لَکُمْ دِینَکُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَیْکُمْ نِعْمَتِی وَرَضِیتُ لَکُمُ الْإِسْلَامَ دِینًا » ...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku...(QS. 5:3) Pada ayat tersebut Allah tidak menggunakan kalimat:

«الْیَوْمَ أَکْمَلْتُ لَکُمْ دِینَکُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَیْکُمْ نِعْمَتِی » Para ahli Sastra Arab menjelaskan, jika pemakaiannya dibalik, maka dengan sendirinya akan menyalahi Tata Bahasa Arab.

Untuk lebih jelasnya, pertama-tama kita harus mengetahui perbedaan makna kedua kata tersebut, karena kita tidak akan dapat memulai pembahasan ini tanpa lebih dahulu memahami perbedaan antara keduanya.

Dalam bahasa Indonesia tamam atau taam dapat diartikan “utuh” atau “yang telah selesai”.

Artinya, sesuatu dapat disebut taam atau “utuh”, kalau semua hal yang diperlukan bagi terwujudnya sesuatu tadi telah tersedia.

p: 6

Dengan kata lain, kalau sebagian dari hal-hal yang diperlukan bagi terwujudnya sesuatu tersebut tidak tersedia, maka sesuatu itu dikatakan naqish (kurang) dan cacat; separuhnya ada, sepertiganya ada, dua pertiganya ada, dan seterusnya.

Sebagai contoh, sebuah masjid yang dibangun berdasarkan sebuah denah, memerlukan sebuah aula. Sedangkan untuk berdirinya sebuah aula diperlukan dinding, atap, pintu, jendela, dan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Ketika seluruh unsur-unsur yang diperlukan telah tersedia, maka bangunan tersebut dapat dikatakan tamam atau selesai. Sebaliknya, kalau sebagian dari unsur-unsur yang diperlukan bangunan tersebut tidak tersedia, maka bangunan itu disebut naqish atau belum selesai.

Adapun kata kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan sudah rampung, dalam tingkat atau derajat yang lebih tinggi secara kualitas, bahkan dari yang tinggi ini ada yang lebih tinggi lagi dan seterusnya. Kalau sesuatu belum dapat dikatakan kamil, bukan berarti sesuatu itu belum selesai atau tidak utuh, tetapi dengan memperoleh kamal, sesuatu tersebut akan berada pada tingkat dan kualitas yang lebih tinggi.

Kamal adalah sifat bagi sesuatu secara vertikal, sedang tamam adalah sifat bagi sesuatu secara horizontal. Ketika sesuatu telah sampai pada batas akhirnya atau selesai secara horizontal, maka dapat dikatakan telah menjadi tamam, dan ketika sesuatu itu bergerak secara vertikal, maka ia telah memperoleh kamal.

Jika dikatakan "akal si fulan adalah kamil”, itu berarti ia sudah berada pada posisi berakal, namun keberakalannya berada pada tingkat yang lebih tinggi dari rata-rata manusia.

p: 7

Jika dikatakan “ilmu si fulan kamil”, maka berarti ia sudah mempunyai ilmu, hanya saja kini ilmunya berada pada derajat yang lebih tinggi.

Dari pembahasan di atas dapat dimengerti bahwa ada manusia taam dan ada manusia kamil. Manusia taam adalah lawan kata (antonim) bagi manusia yang belum sempurna secara horizontal, yakni separuh manusia atau sepenggal dari manusia, atau manusia yang tidak utuh. Terdapat juga manusia yang sudah sempurna secara horizontal (manusia utuh), (namun tidak memiliki kesempurnaan secara vertikal atau dalam kualitasnya).

Manusia kamil adalah manusia taam yang mulai melangkah secara vertikal, sehingga menjadi kamil, lebih kamil lagi, dan seterusnya hingga pada batas akhir kesempurnaan ketika tak seorangpun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia yang telah mencapai tingkat itu adalah manusia yang paling sempurna.

Istilah Insan kamil

Sampai pada abad ketujuh Hijriah, belum pernah terdengar istilah insan kamil dalam literatur-literatur Islam. Orang pertama yang mencetuskan istilah ini ialah seorang arif tersohor bernama Muhyiddin Al-Arabi Al-Andalusi Ath-Tha'i, sekarang istilah ini pun banyak dipakai di Eropa. Beliau adalah bapak ‘irfan Islam.

Semua ‘urafa (jamak dari ‘arif, penerj.) yang Anda kenal, sejak abad ketujuh di seluruh dunia Islam, adalah alumni madrasah Muhyiddin Al-Arabi, termasuk urafa Iran yang berbahasa Parsi.

Salah satu dari mereka adalah Maulawi (Jalaluddin Ar-Rumi), yang dengan segala kebesarannya, belum apa-apa dibanding Muhyiddin dari segi ‘irfân-nya.

p: 8

Muhyiddin adalah seorang lelaki bangsa Arab, salah satu dari anak Hatim Ath-Tha'i dan tinggal di Andalus (Spanyol kini). Beliau telah mengunjungi hampir seluruh negeri Islam dan akhirnya meninggal di Syam (Damaskus). Beliau mempunyai seorang murid bernama Shadruddin Qunawi yang juga merupakan arif dan sufi terbesar setelah gurunya sendiri. 'Irfân Islami yang sekarang telah sampai di tangan kita sebagai suatu ilmu tersendiri, adalah hasil dari kerja keras Muhyiddin yang dilengkapi dengan penjelasan- penjelasan dari Shadruddin Qunawi.

Shadruddin Qunawi berasal dari desa Quniyah di Turki. Ia adalah anak dari istri Muhyiddin. Jadi Muhyiddin adalah guru sekaligus ayah tirinya. Maulawi hidup sezaman dengannya. Semua pemikiran-pemikiran Muhyiddin mengalir ke Maulawi melalui beliau (Shadruddin Qunawi).

Setelah kita mengetahui kapan pertama kali istilah ini digunakan dalam sastra Islam, kita akan mengungkap insan kamil dari sisi pandang Al-Quran. Pertama, kita akan memulai pembahasan dari dua macam manusia: Manusia taam dan manusia naqish. Selanjutnya kita akan memasuki bagian-bagian yang lain.

Cacat Fisik dan Mental Manusia

Sempurna dan cacat terkadang berkenaan dengan fisik atau badan manusia. Tidak diragukan lagi bahwa sebagian dari manusia, secara jasmani ada yang sempurna dan ada yang cacat.

Misalnya, orang-orang buta, tuli, bisu, pincang, lumpuh, dan lain sebagainya. Pernahkah terlintas di benak Anda bahwa orang yang buta, tuli, lumpuh, berwajah buruk, berbadan kecil dan

p: 9

pendek, merupakan kekurangan dari segi keutamaan, kemuliaan, kepribadian dan keinsanan? Sebagai contoh: Socrates, seorang filosof Yunani, yang dianggap memiliki kedudukan setingkat di bawah para nabi, termasuk salah seorang yang berwajah buruk sekali. Namun demikian, tak seorang pun menganggap keburukan wajahnya sebagai aib atau kekurangan bagi Socrates sebagai sosok manusia.

Berdasarkan contoh di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa manusia memiliki dua sisi nilai dalam dirinya, yakni pribadi dan kepribadian, atau badan dan ruh, atau fisik dan mental, di mana nilai yang satu berbeda dengan lainnya. Sebagian orang yang menganggap bahwa ruh, kepribadian atau mental manusia seratus persen mengikuti badan, fisik, atau raganya, telah membuat suatu kesalahan yang besar. Mungkinkah jiwa manusia menderita sakit, sedangkan badannya sehat? Inilah sebuah pertanyaan yang harus segera dijawab.

Mereka yang mengingkari keberadaan ruh berpendapat bahwa seluruh masalah kejiwaan dan mental merupakan pengaruh langsung dari serangkaian aktivitas saraf manusia.

Mereka menganggap bahwa ruh dan jiwa itu sama sekali tidak ada dan bahwa semua berpusat pada fisik dan badan manusia semata.

Menurut mereka, jika jiwa seseorang sakit, maka sudah dapat dipastikan bahwa pada mulanya badan si penderita telah sakit terlebih dahulu yang pada gilirannya mengakibatkan gangguan pada jiwanya. Penyakit jiwa tak ubahnya dengan penyakit badan.

Di masa sekarang ini semakin bisa dibuktikan bahwa orang yang sehat secara fisik belum tentu sehat pula secara kejiwaan.

Boleh jadi seseorang sehat fisiknya, memiliki cukup darah merah dan darah putih, vitamin yang lengkap dalam tubuhnya, memiliki

p: 10

kualitas metabolisme tubuh yang cukup dan bahkan menurut neurolog ia memiliki saraf yang sehat, akan tetapi pada saat yang sama ia menderita sakit jiwa, atau yang sekarang dikenal dengan istilah stres atau depresi, meski tanpa disertai sedikit pun gangguan pada fisiknya.

Sesungguhnya penyakit-penyakit semacam ini tidak dapat disembuhkan secara medis atau lewat penggunaan obat-obatan.

Sebagai contoh adalah penyakit angkuh atau sombong. Sekarang benar-benar telah terbukti bahwa kesombongan adalah semacam gangguan jiwa. Namun, dapatkah ditemukan tablet atau kapsul khusus untuk penyakit ini di apotek-apotek? Dapatkah seseorang dengan menelan tablet atau kapsul tertentu, berharap sifat sombongnya hilang untuk kemudian menjadi seorang yang rendah hati? Mungkinkah mengubah seseorang yang beringas dan keji seperti Syimr bin Dzil Jausyan (Pemenggal leher Al- Husein as, cucu Nabi saw) dengan jalan menyuntikkan obat- obatan atau meminumkan pil-pil berdosis tinggi, agar menjadi manusia pengasih, penyayang, ramah, dan lemah-lembut? Tidak! Mustahil kita mengharapkan terjadinya perubahan dengan cara pengobatan yang demikian ini. Pengidap penyakit semisal ini hanya akan sembuh dengan metode penyembuhan yang lain.

Sebaliknya, sering terbukti bahwa penyakit fisik dapat disembuhkan melalui jiwa penderita. Meski demikian ada juga beberapa jenis penyakit jiwa yang dapat diobati melalui badan penderita. Paling tidak, bukti di atas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari ruh dan badan, jiwa, dan raga.

Ruh manusia bersifat independen, terpisah dari badan dan (sama sekali) tidak mengikuti badan secara utuh. Demikian pula badan, ia berdiri sendiri dan tidak mengikuti jiwa secara mutlak, akan

p: 11

tetapi satu sama lain saling mempengaruhi dan berinteraksi. Para bijak mengatakan:

Al-nafsu wa al-badanu yata'â kasani îjâbân wa i’dâdân “Jiwa mempengaruhi badan, badan pun juga mempengaruhi jiwa, namun jiwa mengerjakan tugasnya sendiri, demikian pula badan.” Dalam pembahasan tentang insan kamil, sebelum mengurai pokok permasalahan, leibih dulu kita paparkan dua macam manusia, yakni cacat dan sempurna. Hal ini sangat penting untuk memperjelas maksud pembahasan kita, mengingat pada kesempatan ini kita tidak membahas tentang kesempurnaan dan cacat manusia secara fisik, namun kecacatan dan kesempurnaan jiwa dan mental manusia.

Telah diketahui bahwa jiwa manusia, bisa mendapatkan gangguan. Al-Quran menekankan hal ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 10:

«فِی قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِیمٌ بِمَا کَانُوا یَکْذِبُونَ » “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambahkan penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. 2:10) Al-Quran tidak menyebut mata, telinga, hidung, atau lainnya yang sakit, tapi menyebut hati mereka yang sakit. “Hati” yang dimaksud di sini bukan liver yang secara medis dapat disembuhkan oleh dokter jika mengalami gangguan, melainkan ruh dan jiwa manusia. Selanjutnya Al-Quran menawarkan diri menjadi obat untuk penyakit tersebut:

p: 12

«وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِینَ وَلَا یَزِیدُ الظَّالِمِینَ إِلَّا خَسَارًا » “Dan kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambahkan kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra': 82) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata (Nahjul Balaghah, Hikmah ke-388):

Alâ wa inna mina al-balâ'i al-fâqata wa asyaddu mina al-fâqati maradhu al-badani wa asyaddu min maradhi al-badani maradhu al-qalbi.

“Kemiskinan adalah musibah berat, yang lebih berat dari kemiskinan adalah penyakit badan, dan lebih berat dari penyakit badan adalah penyakit hati.”

Penyakit-penyakit Ruh dan Jiwa Manusia

Kita akan membahas secara global, sebab-sebab utama sakitnya ruh manusia. Secara psikologis, rasa tertekan (depresi) dan ketertindasan merupakan penyebab utama bagi timbulnya bermacam-macam penyakit dan gangguan jiwa.

Sigmund Freud, salah seorang pakar psikologi, secara berlebihan menekankan permasalahan pada sisi ini, khususnya yang berhubungan dengan masalah seks. Bagaimanapun, yang menjadi masalah adalah bahwa tekanan yang dialami seseorang bisa mengakibatkan gangguan-gangguan pada jiwanya. Seperti rasa dendam yang membakar jiwa seseorang bisa membuatnya tidak dapat duduk tenang sebelum menumpahkan darah musuhnya. Apa sebenarnya rasa dendam itu?

p: 13

Orang yang mempunyai sifat iri hati atau hasad (dengki), ketika melihat orang lain memperoleh suatu nikmat akan berusaha merenggut nikmat tersebut dari orang tadi tanpa berpikir lebih lanjut. Rasa ingin memiliki sesuatu melebihi yang lain tanpa disertai maksud untuk menjatuhkan orang lain adalah sifat yang dimiliki manusia normal. Namun, jika perasaan itu disertai maksud untuk menjatuhkan yang lain, maka itu menjadi sifat orang yang mengidap penyakit dengki dan iri hati, sifat manusia abnormal. Anehnya orang yang iri hati bersedia menanggung derita yang lebih berat hanya untuk menjadikan musuhnya merasakan derita yang ringan.

Sebuah Contoh dari Penyakit Hati

Di masa pemerintahan salah seorang khalifah, ada seorang kaya-raya membeli seorang budak. Sejak hari pertama budak itu dibeli, sang majikan tidak pernah memperlakukannya sebagai budak. Sebaliknya, ia memperlakukan budak itu layaknya seorang majikan. Ia berikan padanya makanan-makanan yang enak, ia belikan untuknya pakaian-pakaian yang mahal, ia penuhi seluruh kebutuhan hidupnya, persis seperti ia memperlakukan anaknya sendiri. Akan tetapi, si budak selalu melihat tuannya termenung, seakan ada masalah yang disembunyikannya.

Pada suatu hari sang majikan memanggilnya untuk membicarakan sesuatu dan berkata: “Aku bersedia segera memerdekakanmu dan memberimu uang yang banyak untuk modal hidupmu, asalkan kamu mau melaksanakan satu permintaanku. Ketahuilah, aku selama ini tidak memberimu semua kemewahan ini cuma-cuma. Setelah kau laksanakan

p: 14

permintaanku, kau dapat bebas pergi sekehendak hatimu dan aku halalkan semua pemberianku padamu.

Si budak pun menjawab: “Apa pun yang Tuan perintahkan akan saya kerjakan. Aku telah berhutang banyak budi pada Tuan.

Tuanlah yang memberiku kehidupan dan yang mengurusku selama ini. Bagaimana mungkin aku menolak melaksanakan perintahmu? Katakanlah apa pun yang Tuan minta dariku?!” Sang majikan berkata lagi: “Kau harus bersumpah terlebih dahulu untuk melaksanakannya”.

“Baiklah”, Jawab si budak. “Aku bersedia bersumpah untuk melaksanakannya”.

Setelah sang majikan yakin atas kesediaan budaknya, ia mulai mengutarakan permintaannya dan berkata, “Pada suatu malam yang nanti akan kutentukan, aku akan membangunkanmu dan aku minta kau memotong leherku di suatu tempat yang telah kurencanakan”.

Tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, si budak berkata: “Bagaimana aku dapat melakukan kekejaman ini pada Tuan? Dengan wajah sedikit merah sang majikan berkata: “Kau harus melakukan permintaanku ini, karena kau telah bersumpah untuk melaksanakan apa pun perintahku!”.

Pada suatu malam yang dijanjikan, Sang majikan membangunkan budaknya. Ia menyerahkan padanya sebilah pisau tajam, kemudian mereka berdua naik atap salah satu rumah tetangganya.

Sang majikan berkata: “Aku akan berbaring dan sembelihlah aku di tempat ini! Setelah itu kau dapat pergi ke mana pun yang kau suka dan bawalah sekantung uang ini sebagai bekal perjalananmu.”

p: 15

Sebelum melaksanakan perintah itu, si budak bertanya:

“Mengapa ini semua tuan lakukan?” Sang majikan menjawab:

“Sejak dulu aku selalu ingin menyaingi tetangga yang satu ini, tapi ia selalu lebih unggul dariku. Aku terbakar oleh rasa iri dan dengki terhadapnya. Dengan terbunuhnya aku di atas rumahnya, semua orang akan menuduhnya sebagai pembunuh. Mereka akan segera menyeretnya ke pengadilan dan menjatuhkan hukuman pancung padanya. Kalau itu terjadi, aku akan merasa puas dan lega. Karena keinginanku untuk menjatuhkannya terkabul.” Si budak berkata dalam hati, “Baiklah, kau memang orang yang sungguh-sungguh dungu. Kenapa tidak segera kulakukan? Kau memang pantas mati dengan cara seperti ini.” Tanpa membuang banyak waktu segera ia laksanakan tugasnya dan pergi dengan sekantung uang emas.

Keesokan harinya, masyarakat ribut dan pemilik rumah pun dipenjarakan. Tapi, semua orang menjadi ragu. Kalau memang ia pelakunya, tidak mungkin ia melakukan pembunuhan itu di atas rumahnya sendiri. Masalah pun menjadi sulit diselesaikan.

Rupanyasi budaktidakdapatlebih lama lagi menyembunyikan kebenaran dan membiarkan orang yang tak bersalah dipenjarakan.

Akhirnya ia pergi menghadap hakim dan menceritakan kejadian sebenarnya. Akhirnya, Sang hakim mengambil keputusan untuk membebaskan keduanya.

Kisah ini adalah bukti bahwa dengki dan iri hati adalah penyakit jiwa yang menakutkan. Dalam Surah Asy-Syams ayat 9 dan 10, Allah SWT berfirman:

«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَکَّاهَا »

p: 16

«وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا » “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya." Al-Quran diturunkan untuk membersihkan, mengarahkan, dan menyembuhkan jiwa manusia dari segala gangguan, stres, depresi, penyelewengan, kesesatan, dan kegelapan.

Maskh (Perubahan Manusia Menjadi Hewan)

Maskh merupakan salah satu masalah yang perlu kita bahas.

Apa yang dimaksud dengan Maskh? Sering kita dengar bahwa di antara umat-umat terdahulu, karena dosa-dosa yang telah diperbuat, mereka dikutuk oleh nabi mereka menjadi hewan, seperti serigala, anjing, babi, dan lain sebagainya. Inilah yang dimaksud dengan Maskh. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana maskh itu terjadi? Adakah mereka yang dikutuk itu benar-benar berubah bentuk menjadi hewan ataukah watak dan sifatnya berubah seperti hewan? Yang jelas, mungkin saja badan dan bentuk tubuh mereka tidak berubah menjadi hewan, namun secara pasti watak atau sifat mereka dapat berubah seperti hewan, bahkan berubah menjadi watak satu jenis binatang yang tak satu hewan pun dapat menandingi kekejian, kebuasan, dan kehinaannya.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi nereka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat

p: 17

Allah). Mereka itu seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A'raf: 179).

Mungkinkah ruh dan watak manusia bisa berubah menjadi hewan? Jawabannya adalah mungkin karena kepribadian manusia ditentukan sepenuhnya oleh ciri-ciri watak dan jiwanya. Kalau watak seseorang seperti watak binatang buas, maka berarti dia telah benar-benar berubah menjadi binatang buas. Maksudnya, dalam keadaan yang demikian seseorang benar-benar telah berubah menjadi seekor hewan, dan jika dilihat dengan mata kebenaran, mata malakut, maka bukan hanya wataknya yang berubah, tapi juga bentuk fisiknya berubah menjadi binatang buas. Mungkin sebagian orang menganggap hal ini sekedar metafora belaka. Mereka tidak meyakini perubahan yang terjadi, meski sesungguhnya ini adalah sebuah hakikat, meski tidak diketahui oleh kebanyakan orang.

Salah seorang sahabat Imam Ali Zainal Abidin as meriwayatkan:

Suatu ketika aku berada di padang Arafah bersama Imam Ali Zainal Abidin as. Dari sebuah ketinggian, aku melihat padang Arafah seakan berombak karena banyaknya orang yang melaksanakan ibadah haji pada tahun itu. Aku berkata pada Imam as: “Alangkah banyaknya jamaah haji pada tahun ini” Imam as berkata: “Alangkah banyaknya teriakan dan alangkah sedikitnya orang yang menunaikan ibadah haji!” Pada mulanya aku sangat bingung dan tak memahami maksud ucapan beliau, tapi aku segera mengerti setelah Imam as memberiku suatu (kemampuan) penglihatan yang membuatku dapat melihat padang Arafah, yang tadinya penuh dengan jamaah haji, sekarang dipenuhi oleh berbagai jenis hewan, dan hanya

p: 18

terlihat beberapa gelintir manusia sedang bergerak menjalankan perintah Tuhannya.

Kemudian, Imam as berkata: “Sudahkah kau saksikan apa yang tadinya terselubung dari mata lahirmu?” Masalah ini sangat jelas dan gamblang seperti terangnya sinar matahari. Jika ada orang yang merasa modern dan berpikiran sok rasional, tidak mau menerima hal-hal seperti ini, maka sesungguhnya mereka telah jatuh dalam lubang kesalahan yang besar.

Apalagi di zaman kita sekarang sudah banyak orang yang dapat melihat batin manusia.

Manusia yang berwatak seperti binatang hanya akan berpikir tentang makan, minum, dan hubungan seksual. Dalam kondisi demikian, ruh manusia tidak berbeda dengan ruh binatang. Batin, fitrah, dan kemanusiaannya telah terhapus. Sebagai gantinya, ia telah menyandang sifat kebuasan, keliaran, dan kebinatangan.

Pada hari kiamat nanti, umat manusia akan dibangkitkan secara berkelompok-kelompok. Berkali-kali Rasul saw dan para Imam sucialaihimussalam menegaskan bahwa diantara kelompok- kelompok itu hanya ada satu kelompok yang dibangkitkan dalam bentuk manusia. Adapun kelompok-kelompok lain, ada yang dibangkitkan dalam bentuk kambing, kalajengking, ular, kuda, babi, anjing, dan lain sebagainya.

Mengapa demikian? Mungkinkah Allah SWT mengubah bentuk (tubuh) mereka tanpa suatu alasan? Mereka yang di dunia dulu kerjanya hanya menyengat dan menyakiti orang lain, akan dibangkitkan dalam bentuk kalajengking.

Mereka yang di dunia berkelakuan seperti anjing, akan dibangkitkan dalam bentuk anjing.

p: 19

Mereka yang di dunia hanya makan, minum, dan mengumbar nafsu seksual akan dibangkitkan dalam bentuk kambing, dan begitulah seterusnya.

Manusia akan dibangkitkan di hari kiamat sesuai dengan niat, maksud, kemauan, dan sifat atau watak mereka di dunia.(1) Apa yang kita kerjakan di dunia? Apa yang kita inginkan di dunia ini? Adakah kemauan-kemauan kita merupakan kemauan- kemauan manusia ataukan binatang buas atau pemakan rumput? Begitulah manusia akan dibangkitkan sesuai dengan kemauan- kemauannya.

Oleh karena itu, kita dilarang menyembah kepada selain Allah SWT. Pada hari kiamat wujud kita akan berubah menjadi benda yang kita sembah semasa hidup di dunia. Jika yang kita sembah adalah uang, maka uang tentu akan menjadi bagian dari kita. Uang tersebut akan berubah menjadi cairan panas, Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar- benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. At-Taubah: 34-35)

p: 20


1- Musnad Ahmad, juz 2, halaman 392.

Ramadhan Sebagai Bulan Pembersihan Diri

Bulan Ramadhan memberikan suatu kesempatan yang sangat baik bagi kita untuk membersihkan diri; manusia-manusia sakit (jiwa dan hatinya) dapat mengubah dirinya menjadi manusia- manusia yang sehat, sedangkan mereka yang sudah sehat dapat meningkatkan kualitas dirinya menjadi insan-insan kamil.

Bulan Ramadhan harus kita manfaatkan betul-betul sebagai suatu kesempatan untuk membersihkan dan menghapus segala macam aib dan cela, menutupi kekurangan diri, menjadikan akal dan iman sebagai kendali hawa nafsu, berdoa, beibadah, membumbung menuju Allah SWT dan meninggikan derajat ruh kita.

Jika seseorang selama tiga puluh hari bulan Ramadhan menahan haus dan lapar, tidak tidur di malam hari dan sibuk menghadiri pengajian di sana-sini, namun tidak terjadi perubahan dan perbaikan pada dirinya, maka haus dan lapar yang dirasakannya selama tiga puluh hari itu tidak memberikan manfaat apa pun baginya selain kesia-siaan.

Tujuan Islam mewajibkan puasa bukan hanya untuk sekadar merasakan haus dan laparnya, tetapi agar pemeluknya dapat membenahi diri.

Diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis bahwa banyak di antara mereka yang menunaikan ibadah puasa tidak mendapatkan apa- apa selain rasa haus dan lapar. Mereka memang berpuasa, namun tidak menjaga mulutnya dari perkataan bohong, ghibah, caci- maki, fitnah, dan lain sebagainya.

Diriwayatkan bahwa seorang wanita yang sedang berpuasa datang menghadap Rasul saw. Tiba-tiba beliau saw menawarinya segelas susu seraya berkata: “Ambil dan minumlah susu ini!”

p: 21

Wanita itu menjawab: “Terima kasih, ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Rasul memerintahkan: “Tidak, kau tidak sedang berpuasa. Ambil dan minumlah susu ini.” Ia menjawab: “Tidak, ya Rasul. Aku benar-benar sedang berpuasa.” Rasul saw terus memerintahkan untuk meminum air susu, sedang si wanita terus menolak, karena menurut anggapannya ia betul-betul sedang berpuasa.

Pada akhirnya Rasul saw menjelaskan: “Bagaimana kamu mengaku berpuasa, sedang kau baru saja memakan daging saudaramu (dengan menggunjing dan meng-ghibah-nya)? Maukah kutunjukkan padamu kalau kau benar-benar telah memakan daging saudaramu? Muntahkan isi perutmu, niscaya kau akan mempercayai kata-kataku!”.

Ketika mencoba memuntahkan isi perutnya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan keluarnya potongan-potongan daging busuk yang sangat menjijikkan.

Mereka yang mencegah mulutnya dari makan dan minum sejak menyingsingnya fajar shadiq sampai tenggelamnya matahari, tapi tidak mencegah mulutnya dari ghibah dan fitnah, berarti ia telah menutup mulutnya dari makanan-makanan yang halal dan membuka ruhnya untuk makanan-makanan yang haram.

Dari mulut orang yang berbohong keluar bau yang sedemikian busuknya sehingga mengganggu para malaikat sampai ke langit yang ketujuh. Bau busuk neraka adalah juga sebagai akibat dari tumpukan dusta dan fitnah para penghuninya.

Dosa yang lebih berat dari dusta dan ghibah adalah tuhmah (menuduh), karena tuhmah menanggung dosa dusta dan ghibah sekaligus. Ghibah adalah berkata benar, tapi membicarakan kejelekan orang lain, sedangkan dusta adalah berbohong meski

p: 22

tidak membicarakan kejelekan orang lain. Berbeda dengan tuhmah (menuduh), orang yang melakukannya, berarti pada saat yang sama dia berdusta dan membicarakan kejelekan orang lain.

Tidakkah kita merasa rugi, jika tiga puluh hari bulan Ramadhan kita lewatkan dengan sia-sia, bahkan hanya menghasilkan ghibah, dusta, dan tuhmah!

p: 23

p: 24

Bagian2

KESEIMBANGAN NILAI-NILAL KEMANUSIAAN

Point

p: 25

p: 26

kamal pada suatu maujud berbeda dengan kamal pada maujud lain. Misalnya, insan kamil berbeda dengan -malaikat kamil. Terdapat perbedaan antara malaikat, sebagai dirinya (malaikat), yang telah mencapai tingkat tertinggi dan akhir kesempurnaannya, dengan manusia yang mencapai puncak kesempurnaannya.

Malaikat adalah wujud yang diciptakan dari akal murni.

Artinya, pada diri malaikat sama sekali tidak terdapat unsur tanah, materi, hawa nafsu, syahwat, amarah, dan lain sebagainya.

Demikian pula halnya dengan hewan yang seluruh substansinya bersifat materi. Lain halnya dengan manusia, insan adalah maujud yang terdiri dari apa yang ada pada malaikat (akal) dan apa yang ada pada hewan (nafsu), suatu makhluk mulki-malakuti.

Maulawi, dalam Diwan Matsnawi-nya, telah mensyairkan sebuah hadis Rasul saw tentang tiga kelompok makhluk Allah SWT itu.

Telah datang dalam hadis bahwa Khallaq Majid Telah menciptakan makhluk alam dalam tiga golongan Yang pertama diciptakan dari akal, ilmu, dan kemurahan hati Mereka adalah malaikat yang tidak tahu apa-apa kecuali sujud Dalam unsurnya tak terdapat nafsu dan sifat rakus Mereka adalah nur mutlak yang hidup dengan isyq ilahi Yang kedua diciptakan kosong dari ilmu Mereka adalah hewan yang puas hanya dengan rumput Tidak mengharap kecuali kandang dan ilalang Mereka tidak mengenal kemuliaan maupun kekejian Yang ketiga adalah anak Adam, manusia Separuhnya dari malaikat dan separuhnya lagi dari hewan

p: 27

Unsur mana yang menang dan dapat menguasai yang lain Ia akan menjadi unsur yang menang itu Perbedaan antara manusia, malaikat, dan hewan terletak pada susunan unsur dan zatnya, sebagaimana disebut dalam Al- Quran:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. Al-Insan:

2-3) Kami telah menciptakan manusia dari nutfah (sperma) yang di dalamnya terdapat banyak campuran, yakni pada diri manusia tertimbun serangkaian potensi. Kemudian ia akan sampai pada suatu fase atau tahapan di mana ia akan diuji. Tidak demikian halnya dengan makhluk-makhluk lainnya, mereka tidak layak untuk diuji karena memang mereka tidak diciptakan untuk diuji.

Perlunya keseimbangan Nilai-nilai Insani

Kamal atau kesempurnaan manusia terletak pada kestabilan dan keseimbangan nilai-nilainya. Manusia dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap sempurna, ketika tidak hanya cenderung pada suatu nilai dari sekian banyak nilai yang ia miliki. Ia dapat dianggap sempurna ketika mampu menyeimbangkan dan menstabilkan serangkaian potensi insaninya. Orang-orang bijak mengatakan: “Hakikat dan substansi keadilan adalah keseimbangan dan keselarasan.” Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah: Seiring dengan perkembangan potensi-potensi insaninya, tercipta juga

p: 28

keseimbangan dalam perkembangannya. Sebagai contoh, seorang anak sehat yang sedang mengalami perkembangan, semua anggota tubuhnya, seperti kepala, tangan, kaki, telinga, hidung, gigi, lidah, dan lainnya berkembang bersama secara seimbang.

Coba bayangkan jika anak itu berkembang secara tidak seimbang! Misalnya, hanya hidungnya saja yang berkembang, sedang anggota badannya yang lain tidak berkembang. Atau telinga dan matanya saja yang berkembang (seperti gambar-gambar dalam karikatur).

Memang anak ini dikatakan berkembang, namun perkembangan yang tidak seimbang dan stabil.

Insan kamil adalah manusia yang seluruh nilai insaninya berkembang secara seimbang dan stabil. Tak satu pun dari nilai- nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain. Al-Quran menyebut manusia yang nilai-nilai insaninya berkembang seimbang dan sempurna ini sebagai “imam”:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia” (QS. Al-Baqarah: 124) Setelah lulus dengan nilai tinggi dari bermacam-macam ujian berat ilahi, Allah SWT memberi Ibrahim predikat imam.

Artinya, ia telah menjadi insan kamil yang layak untuk dijadikan panutan.

Salah satu dari ujian-ujian berat Nabi Ibrahima.s.adalah ketika beliau diminta kesediaannya oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya dengan tangannya sendiri. Setelah mengetahui bahwa Allah SWT telah memerintahkan penyembelihan padanya, tanpa bertanya kenapa dan mengapa, beliau langsung menyiapkan diri untuk melaksanakan perintah Tuhannya.

p: 29

«فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِینِ » "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya)”. (QS. 37:103) Ibrahim a.s. telah siap untuk menyembelih, dan Ismail a.s.

pun telah menyerahkan dirinya untuk disembelih. Kemudian Allah SWT berfirman:

«وَنَادَیْنَاهُ أَنْ یَا إِبْرَاهِیمُ (104)» «قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْیَا إِنَّا کَذَلِکَ نَجْزِی الْمُحْسِنِینَ (105)» “Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu... (QS. 37: 104-105).

Wahai hamba-hamba-Ku yang patuh dan taat! Apa yang Kami perintahkan cukup sampai di sini saja. Sesungguhnya Kami tidak menghendaki kamu untuk menyembelih leher anakmu; Kami hanya hendak menguji sampai di mana ketaatan dan kepatuhanmu pada perintah dan kehendak Kami.

Setelah lulus dari semua ujian ilahi, dari terjun ke dalam api unggun sampai membawa anak kandungnya ke altar pengurbanan, dari berjuang seorang diri sampai mengajak dan menyeru kaumnya untuk menyembah Allah SWT, Ibrahim diangkat dan dianugerahi predikat sebagai seorang imam, yang kemudian diabadikan di dalam Al-Quran:

«قَالَ إِنِّی جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ إِمَامًا » ...Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia... (QS. 2: 124)

p: 30

Engkau telah sampai pada suatu tingkat yang layak untuk menjadi imam, pemimpin, tauladan, contoh, model, dan figur bagi semua muwahhidin (para peng-esa Tuhan). Engkau telah menjadi insan kamil. Manusia-manusia lain yang ingin menuju kesempurnaan harus meniru dan menyesuaikan diri denganmu.

Amirul mukminin Ali a.s. adalah contoh lain dari insan kamil, karena seluruh nilai insaninya telah berkembang secara seimbang dan stabil pada tingkatan yang sedemikian tinggi.

Untuk lebih dapat memahami masalah keseimbangan, mari kita lihat analogi berikut ini. Pernakah Anda melihat pasang- surutnya air laut? Laut senantiasa dalam keadaan pasang-surut, bergelombang, dan selalu dinamis. Ruh manusia dan masyarakat manusia tak ubahnya seperti laut yang selalu bergelombang, terkadang pasang dan terkadang surut. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai insani.

Manusia mempunyai suatu kecenderungan normal yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan dianjurkan oleh agama, namun bisa jadi dia terjerat dan terjerumus jauh sekali ke dalam satu nilai saja dalam bentuk kecenderungan yang berlebihan.

Akibatnya, ia lupa dan lalai terhadap nilai-nilai insaninya yang lain, sehingga keseimbangan nilai-nilai insaninya terganggu, seperti manusia yang hanya sebagian tubuhnya saja berkembang.

Manusia seperti ini tersesat bukan karena jatuh ke dalam jurang kebatilan atau fasad. Ia tersesat karena cenderung pada satu nilai secara berlebihan tanpa mempedulikan nilai-nilai yang lain.

Sikap cenderung pada sesuatu secara berlebihan, menurut istilah bahasa Arab disebut dengan ifrath.

p: 31

Contoh-contoh Ifrath (Berlebihan)

1) Ifrath dalam Ibadah Salah satu dari nilai-nilai yang sangat ditekankan oleh Islam adalah ibadah. Ibadah artinya berkhalwat atau menyendiri dengan Allah SWT, bisa dalam bentuk shalat, doa, munajat, tahajjud, dan lain sebagainya.

Ibadah merupakan bagian dari Islam dan sama sekali tak dapat dipisahkan darinya. Ibadah adalah suatu nilai nyata, namun jika tidak waspada seseorang atau masyarakat akan terjerumus ke dalamnya secara berlebihan hingga berkesimpulan bahwa Islam hanya terbatas pada ibadah, pergi ke masjid, shalat, doa, ta'qib, munajat, mengerjakan mustahabbat, membaca Al-Quran, dan seterusnya.

Jika masyarakat secara berlebihan hanya menyibukkan diri dengan ibadah, maka nilai-nilai Islam yang lain lambat laun akan terhapus dan terlupakan, sebagaimana telah menjadi bukti sejarah umat Islam, ketika kecenderungan yang berlebihan ini mendominasi aktivitas umat Islam.

Sekarang pun dapat ditemukan beberapa individu dan kelompok yang tidak peduli terhadap apa pun selain ibadah.

Ketika jatuh dalam lembah ibadah ini, mereka tidak dapat menjaga keseimbangan diri, mereka tidak lagi sadar bahwa dirinya diciptakan Allah SWT sebagai manusia, bukan malaikat.

Seandainya mereka adalah malaikat, maka jalan itulah yang seharusnya mereka lalui. Namun kenyataannya mereka telah diciptakan sebagai manusia, dan manusia harus mengembangkan seluruh nilai insaninya secara seimbang dan stabil.

Ketika diberitakan kepada Rasul saw, bahwa ada sekolompok orang dari sahabat beliau tenggelam dalam aktivitas ibadah secara

p: 32

berlebihan, beliau segera pergi ke masjid dengan wajah marah seraya berseru:

“Apa yang telah terjadi pada kelompok ini? Penyakit apa yang telah menimpa kelompok ini? Aku telah mendengar bahwa di antara umatku terdapat suatu golongan yang tidak peduli pada hal-hal lain kecuali ibadah. Aku, sebagai Nabi kalian, tidak mengerjakan apa yang kalian kerjakan. Aku tidak selalu menghabiskan seluruh malam sampai subuh untuk ibadah. Aku membagi waktu di malam hari, sebagian untuk ibadah, sebagian untuk keluarga, dan sebagian untuk istirahat dan tidur. Aku tidak puasa di setiap hari, pada hari-hari tertentu aku puasa dan pada hari-hari biasa aku berbuka. Siapa saja di antara umatku yang berlebihan dalam beribadah, maka dia telah keluar dari sunnahku dan membuat sunnah sendiri”.

Ketika melihat fenomena di mana satu nilai akan menghapus seluruh nilai lain, yang akan menggiring masyarakat Islam pada satu arus tertentu, Rasul saw segera bertindak tegas untuk meluruskannya.

Amr bin al-Ash mempunyai dua anak laki-laki. Mereka adalah Muhammad yang bertipe seperti ayahnya, ahli dunia, materialistis, sekaligus penyembah dunia, dan Abdullah yang lebih baik ketimbang saudaranya, yang selalu menyeru ayahnya untuk berpihak pada Ali bin Abi Thalib a.s. Sedangkan Muhammad selalu berkata pada ayahnya, “Ayah tidak akan dapat apa-apa jika berpihak pada Ali. Berpihaklah pada Muawiyah, maka ayah akan mendapatkan segala-galanya.” Suatu hari Rasulullah saw bertemu dengan Abdullah dan berkata, “Telah diberitakan padaku bahwa kau beribadah semalam suntuk dan berpuasa setiap hari.” Ia menjawab: “Benar,

p: 33

ya Rasulullah.” Kemudian Rasul saw menasihatinya: “Aku sendiri tidaklah demikian. Apa yang kau kerjakan itu tidak benar, karena kau diciptakan tidak hanya untuk shalat dan puasa saja." Kadang masyarakat terjerat oleh zuhud. Zuhud memang merupakan suatu nilai yang tak dapat dipisahkan atau dihilangkan dari kehidupan masyarakat Islam, atau dengan kata lain unsur ini harus ada. Namun, jika nilai dan unsur ini berkembang secara berlebihan tanpa ada keseimbangan dengan nilai-nilai yang lain, justru akan menghacurkan masyarakat itu sendiri.

2) Ifrath dalam Mengabdi pada Sesama Salah satu nilai yang sangat ditekankan Islam dan merupakan suatu nilai insani yang sangat mulia ialah mengabdi dan berkhidmat pada hamba-hamba Allah SWT. Rasulullah saw sendiri sangat menekankan hal ini dalam banyak sabdanya. Allah SWT berfirman:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab- kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta- minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).

p: 34

Namun Sa'di (salah seorang penyair tersohor Persia) - walaupun ia dalam amalnya tidak demikian - berkata dalam syairnya:

Ibadah tidak lain hanya, Dan hanya mengabdi pada masyarakat.

Sebagian orang lewat pengertian ini, ingin menafikan nilai ibadah, zuhud, ilmu, jihad, dan semua nilai-nilai mulia Islam dengan alasan demi kemanusiaan. Menurut mereka, kemanusiaan tidak lain adalah pengabdian dan berkhidmat pada masyarakat.

Sebagian dari kaum intelektual modern, mengaku telah menemukan sebuah sistem yang sangat berarti yang diberi nama “Humanisme”. Apakah arti humanisme itu? Mereka mengatakan, humanisme adalah pengabdian kepada masyarakat, pengabdian kepada hamba-hamba Allah SWT.

Kita katakan, memang sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengabdi kepada masyarakat. Namun, kita juga harus melihat apa yang dibutuhkan mereka. Taruhlah kita telah mengenyangkan perut mereka dan telah menutupi tubuh mereka. Ini berarti kita masih berada pada tingkat pemenuhan kebutuhan sekelompok binatang. Kalau kita tidak melihat adanya nilai-nilai yang lebih tinggi dari sekadar pemenuhan kebutuhan- kebutuhan primer mereka, maka pengabdian ini setingkat dengan pengabdian pada sekelompok atau serombongan kambing dan kuda. Mungkin kita telah mengenyangkan perut mereka, atau menutupi tubuh mereka serta mendirikan rumah untuk mereka sebagai tempat berteduh dan berlindung dari hujan dan sengatan matahari. Namun, kita harus bertanya; sampai di sini sajakah batas nilai manusia (perut kenyang, tubuh berpakaian, dan tinggal di rumah)?

p: 35

Jawabannya, tentu tidak. Tidak hanya sebatas ini. Mengabdi pada manusia memang merupakan suatu nilai yang tinggi, namun pengabdian ini harus mencakup seluruh nilai insani. Kalau nilai- nilai insani itu hanya sebatas pada pengabdian (kebutuhan primer), mengapa kita membedakan antara Abu Dzar dan Muawiyah, sedangkan mereka sama-sama manusia? Berdasarkan logika humanisme ini, kita akan sulit menentukan mana lawan dan mana kawan. Jika kemanusiaan hanya diartikan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer manusia, maka berarti kita telah jatuh dalam ifrath (berlebihan dalam mengabdi pada manusia).

3) Ifrath dalam Kebebasan Kebebasan juga merupakan salah satu dari nilai-nilai insani yang sangat tinggi dan mulia. Ia merupakan bagian dari keinsanan manusia, melampaui batas kehewanan serta nilai-nilai material.

Seseorang yang memiliki sedikit aroma kemanusiaan, akan siap menjalani kelaparan, telanjang, dan berada dalam kondisi hidup sengsara asalkan hidup bebas dan tidak berada di bawah perintah atau kekangan orang lain. Yang terpenting dan utama baginya adalah hidup bebas merdeka.

Dikisahkan dalam kitab Danisywaran ketika Abu Ali Sina (Ibnu Sina) masih menjabat sebagai menteri (sangat disesalkan mengapa beliau menerima jabatan menteri, padahal dengan kecerdasan dan kejeniusan otaknya yang luar biasa, ia dapat memperbanyak dan memperkaya kajian-kajian sains dan filsafat).

Abu Ali Sina melewati suatu daerah dengan diiringi para pengawalnya. Ia melihat seorang penyapu jalan yang sibuk dengan

p: 36

pekerjaan kotornya, sedang bibirnya selalu bergetar melantunkan sebuah syair yang lathif dan lembut ini:

Kumuliakan dan kupuji kau hai diri(ku) Karena kau menjalani kehidupan dunia ini dengan mudah Abu Ali tertawa mendengar syair orang tadi dan dengan lagak sedikit mengejek berkata, “Jika kau benar-benar memuliakan dirimu, mengapa kau tega menghinanya dengan pekerjaan rendah dan kotor ini? Mengapa kau habiskan umurmu yang berharga dengan pekerjaan kotor yang kau banggakan ini?” Mendengar ejekan Abu Ali, ia segera meletakkan sapunya seraya berkata: “Di dunia cita-cita, secuil roti dari pekerjaan kotor dan kasar, lebih baik ketimbang kemewahan yang dihasilkan dari ketaatan dan kepatuhan mutlak terhadap perintah atasan”.

Mendengar jawaban si penyapu jalan, ia pun merasa sangat malu dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu.

Abu Ali sadar bahwa apa yang diucapkan si penyapu adalah benar-benar suatu logika yang tidak dapat ditolak. Dalam logika hewan, tidak mungkin seseorang meninggalkan kemewahan hidup dan menjadi tukang sapu hanya untuk dapat bicara dan hidup bebas. Bebas dan kebebasan memang bukanlah sesuatu yang dapat diraba, disentuh, atau dirasakan. Namun, bagi manusia yang mempunyai harga diri dan berjiwa mulia, begitu besar nilai kebebasan baginya, sehingga ia rela meninggalkan segala-galanya, bahkan nyawanya demi kebebasan yang diidamkan.

Terkadang ada sebagian orang yang berlebihan dalam memandang kebebasan ini sehingga terkuburlah nilai-nilai insani yang lain di dalamnya. Kebebasan sendiri tidak berarti apa-apa, bukanlah suatu nilai, jika tidak didukung oleh serangkaian nilai- nilai yang lain, seperti ketuhanan, kebijaksanaan, keadilan, irfan,

p: 37

pengabdian pada sesama, dan lain sebagainya. Bahkan, kebebasan dapat menggiring seseorang atau suatu masyarakat menuju kesesatan dan mengundang malapetaka.

4) Ifrath dalam Isyq (Cinta) Cinta bagi sebagian orang adalah satu-satunya nilai. Karena cinta, semua nilai bisa terhapus, bahkan akal pikiran pun ikut terbuang. Kaum ‘urafa dan para sufi yang hanya cenderung pada nilai cinta, mereka menentang akal dan bahkan secara terang- terangan menyerang akal.

Hafizh berkata dalam puisinya:

Malaikat tidak mengerti perihal isyq (cinta) Mintalah cawan dan tuangkan sari bunga di atas tanah manusia Dari tegukan arak cinta Sufi mengetahui rahasia yang terpendam Dari arak inilah Setiap orang dapat mengetahui mutiara dirinya Hanya ayam sahur-lah yang mengetahui Cerita kumpulan kesempurnaan (Allah) Karena tidak setiap yang membaca Dapat memahami ma'aninya Hafidz ingin mengungkapkan bahwa hanya para sufi dan kaum ‘urafa yang dapat mencapai maʼrifatullah sampai tingkat sempurna dengan mengendarai “kendaraan isyq (cinta)”.

la tujukan beberapa baitnya ini kepada Abu Ali Sina yang lebih menitikberatkan nilai akal ketimbang cinta. Alhasil, menurut pandangan mereka, manusia dan kemanusiaan adalah

p: 38

cinta. Sedangkan akal, karena dianggap sebagai iqal atau pengikat, maka harus dikesampingkan.

Berlawanan dengan itu, ada pula yang beranggapan bahwa akal dan rasio adalah satu-satunya nilai untuk manusia. Impian yang dibangun oleh para sufi tak lebih dari khayalan belaka, kata sebagian filosof.

Abu Ali Sina sendiri pernah menyindir kaum ‘urafa dengan mengatakan: “Perkataan mereka lebih mirip dengan khayalan- khayalan sufiyah. Kita harus maju dengan akal, bukan dengan khayalan atau fantasi.” Dari beberapa nilai insani di atas, seperti akal, isyq, mahabbah, ibadah, zuhud, kebebasan, khidmah, dan lain sebagainya, nilai mana yang dapat mengangkat seseorang pada derajat kamal dan kesempurnaan? Adakah insan kamilitu adalah orangyang hanya menyibukkan dirinya dengan ibadah? Atau orang yang bebas? Atau orang yang asyiq? Atau orang yang aqil? Atau orang yang zahid? Atau orang yang khadim? Tidak. Tidak satu pun dari mereka bisa disebut kamil. Insan kamil adalah manusia yang seluruh nilai insaniah- nya berkembang secara seimbang dan selaras. Imam Ali a.s. adalah contoh dari manusia yang mampu mengembangkan seluruh nilai insaniah-nya secara seimbang.

Multidimensialitas Nahjul Balaghah

Nahjul Balaghah adalah sebuah kitab yang mencakup berbagai dimensi. Ketika seseorang membaca dan mempelajarinya, pada satu segi ia akan merasa mendengarkan Abu Ali Sina sedang berbicara, pada bagian lain, Jalaluddin Ar-Rumi atau Muhyiddin

p: 39

Al-Arabilah yang sedang berbicara, dan pada bagian yang lain seorang penulis epik (wiracerita) seperti Firdausilah yang sedang berbicara. Terkadang Nahjul Balaghah berbicara seperti seorang yang dengan gigihnya memperjuangkan kebebasan, pada saat yang lain berbicara seakan seorang abid, zahid, atau rahib.

Nahjul Balaghah menunjukkan bahwa semua nilai insani dapat terlihat pada diri Ali as, sungguh perkataannya merupakan cermin dari ruhnya. Betapa besar dan agungnya Ali as! (Sungguh ia adalah lulusan madrasah Rasulullah saw yang paling sempurna!) Lima puluh tahun yang lalu di Iran, ketika kecenderungan masyarakat kita hanya terpusat pada masalah-masalah zuhud dan ibadah, para penceramah hanya membacakan bagian-bagian khusus dari Nahjul Balaghah yang berbicara tentang nilai zuhud dan ibadah, seperti (Nahjul Balaghah, Abduh, khutbah 201):

“Sesungguhnya dunia adalah tempat tinggal sementara (majaz), sedang akhirat adalah tempat tinggal yang kekal, maka bawalah bekal dari perjalanan sementaramu untuk tempat tujuan abadimu.” Sedangkan bagian-bagian lain Nahjul Balaghah sama sekali tidak dibicarakan. Masyarakat pada saat itu tidak tergerak hatinya untuk memahami dan menghayati bagian-bagian yang lain dari Nahjul Balaghah. Mereka sudah terlanjur cenderung pada serangkaian nilai tertentu dan hanya mau mendengar bagian- bagian yang sesuai dengan kecenderungan mereka.

Seratus tahun telah berlalu dan tak seorang penceramah pun pernah membacakan pesan Amirul Mukminin Ali a.s.

kepada Malik al-Asytar yang merupakan khazanah Islam tentang masalah-masalah sosial dan politik Islam.

p: 40

Pada surat ke-53 (Nahjul Balaghah) Imam Ali a.s. berpesan kepada Malik Al-Asytar:

“Aku berkali-kali mendengar Rasulullah saw berkata: Suatu umat tidak akan bersih dan suci dari aib, kecuali jika yang lemah dari mereka berani menuntut haknya dari yang kuat tanpa tersendat atau tertahan suaranya.” Masyarakat kita lima puluh tahun yang lalu tidak dapat memahami nilai pesan ini, karena mereka adalah masyarakat satu nilai; hanya cenderung pada satu atau beberapa nilai saja.

Sifat-sifat Ali a.s.

Kalau kita mengakui Ali a.s. sebagai orang yang telah dididik secara langsung oleh Rasulullah saw, untuk dijadikan tauladan dan pemimpin, berarti kita telah menganggapnya sebagai insan kamil, manusia yang seimbang dan stabil nilai-nilainya, sebagai panutan kita.

Dalam kesunyian dan keheningan malam, tidak ada seorang arif dan sufi pun yang dapat menandingi kekhusukan ibadah Ali a.s. Ruh ibadah yang berarti peleburan dan persenyawaan diri pada Allah SWT terlihat pada dirinya, seakan ia berada di alam lain terbakar oleh isyq dan cinta ilahinya.

Di tengah medan pertempuran, ia begitu gigih berjuang sampai-sampai tidak merasakan sebagian dari tubuhnya terkoyak oleh pedang-pedang musuhnya. Beliau hadir di tengah-tengah masyarakat, tetapi ruhnya membubung pada tingkat yang tinggi.

Pernah ia berada dalam keadaan shalat ketika dikeluarkan sebatang anak panah dari tubuhnya. Karena begitu khusuknya shalat, ia tidak merasakan sakit sedikit pun.

p: 41

Di siang hari seakan ia telah berubah sama sekali. Ketika duduk bersama sahabat-sahabatnya, ia begitu ceria dan riangnya, sehingga orang menganggapnya humoris dan selalu dapat menyenangkan orang-orang yang duduk bersamanya.

Amr bin al-Ash berbicara kesana kemari menjelekkan Ali as: “Ali sama sekali tidak layak menjadi khalifah. Ia terlalu ramah dan murah senyum. Seorang khalifah mestinya berwajah serius (seram) dan tidak banyak senyum agar rakyat takut dan menghormatinya”. Ali a.s. sendiri menceritakan hal ini dalam Nahjul Balaghah (Khutbah 82):

“Aku heran pada anak An-Nabighah yang menyebarkan isu di kalangan ahli Syam bahwa aku orang yang gemar bercanda dan kerjanya hanya melucu serta berguaru setiap hari.” Bahkan di tengah berkecamuknya peperangan pun beliau tetap tersenyum dan tak sedikit pun tampak kesan bengis dan kejam dari wajahnya.

Dikatakan:

Dialah yang menangis di mihrab Pada malam hari Dan yang tersenyum di medan laga Saat bergejolaknya pertempuran Manusia yang bagaimanakah Ali a.s. ini? Beliau adalah manusia qurani. Demikianlah Al-Quran membentuk manusia dan demikianlah manusia yang diinginkannya:

“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.

Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)”. (QS. 73: 6-7)

p: 42

Gunakanlah waktu malam untuk ibadah dan siang untuk mengarungi lautan kehidupan masyarakat. Ali a.s. seakan memiliki dua kepribadian. Kepribadiannya di malam hari berbeda dengan kepribadiannya di siang hari.

Sifat jami'ul adhdad (gabungan antara nilai-nilai yang berlawanan) yang senantiasa digunakan untuk insan kamil adalah sifat yang sejak seribu tahun yang lalu disandang oleh Ali a.s. Ia dikenal karena sifat itu.

Sayyid Radhi dalam muqaddimah Nahjul Balaghah mengatakan: “Suatu hal yang selalu aku utarakan di hadapan sahabat-sahabatku dan selalu membuat mereka terheran-heran adalah beragamnya dimensi ucapan Amirul Mukminin Ali as, sehingga setiap bagian yang kita baca akan mengajak dan membawa kita menuju suatu dunia; kadang dunia ubbad dan zuhhad, kadang dunia para filosof, kadang dunia para panglima perang, kadang dunia para pemimpin tertinggi negara yang adil, kadang dunia qudhad (hakim-hakim) yang bijaksana, kadang dunia para mufti yang mengetahui hukum segala permasalahan, beliau selalu hadir di mana pun dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan kompleks.

Shafiyyuddin Hilli (hidup sekitar abad kedelapan hijriah) berkata dalam puisi pujiannya untuk Imam Ali as:

Telah terkumpul dalam sifat-sifatmu Hal-hal yang berlawanan Zahid, bijaksana, murah hati, pemberani Ahli ibadah, ahli perang, fakir dan dermawan Akhlakmu mempermalukan sepoi angin Karena kelembutannya Keberanian, kekuatan, dan kekerasanmu

p: 43

Menjadikan batu dan besi meleleh Insan kamil adalah manusia yang unggul pada semua nilai-nilai insani dan selalu menang di medan-medan tempur kemanusiaan.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil di sini? Jangan sampai salah dengan hanya mengambil satu nilai dan melupakan nilai yang lain. Kita memang tidak akan mampu unggul dalam semua nilai.

Tapi paling tidak kita harus menyeimbangkan nilai-nilai yang kita miliki. Pada saat itu kita akan dapat menjadi manusia-manusia muslim sesungguhnya yang komprehensif dan seutuhnya, bukan setengah-setengah.

Hari-hari Terakhir Kehidupan Ali a.s.

Bulan Ramadhan terakhir yang dijalani Ali a.s. dalam hidupnya merupakan bulan Ramadhan yang lain dari biasanya.

Bagi keluarga Ali as, semenjak hari-hari awal di bulan Ramadhan ini, dipenuhi dengan kegelisahan, kekhawatiran dan kesedihan.

Tingkah laku Ali a.s. sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Dalam Nahjul Balaghah (khutbah, 154) beliau berkata:

“Ketika ayat ini: ‘Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?' (QS. Al-Ankabut ayat 1 dan 2) diturunkan, aku sadari bahwa sepeninggal Rasulullah saw, umat ini akan menghadapi cobaan-cobaan yang besar. Aku bertanya pada beliau saw. 'Ya Rasulullah! Apa yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini? Beliau saw menjawab: “Wahai Ali! Umatku akan menghadapi fitnah dan cobaan besar sepeninggalku'.

p: 44

Ya Rasulullah! Mereka telah syahid di Uhud, yakni tujuh puluh tentara muslim termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib. Mereka semua telah mereguk madu syahadah. Sedangkan syahadah sepertinya telah menjauh dariku dan aku tidak mendapat curahan serta anugerahnya. Inilah yang benar-benar telah membuatku gelisah. Mengapa aku tidak ikut syahid bersama mereka? Beliau menjawab: “Kalau di Uhud kau tidak menemui syahadah, maka di tempat lain kau pasti menemukannya. Jangan risau dan bersedih! Syahadah akan segera mendatangimu. Hanya tinggal bagaimana kesabaranmu dalam menghadapinya? Ya Rasulullah! Janganlah engkau katakan bagaimana kesabaranku dalam menghadapi syahadah, tapi katakan bagaimana aku harus mensyukurinya. Bukankah syahadah itu merupakan hadiah ilahi di mana kita dituntut untuk bersyukur dan bukannya bersabar?” Dari berita-berita yang diisyaratkan Rasul saw dan beberapa tanda-tanda yang telah diketahui oleh Ali a.s. sendiri yang terkadang juga diungkapkannya, timbullah kekhawatiran dan kecemasan yang meliputi Ahlul Bait dan sahabat-sahabat dekat beliau.

Di bulan Ramadhan itu beliau mengucapkan hal-hal yang tidak biasa beliau ucapkan, selalu berbuka di rumah anak- anaknya; setiap malam ia menjadi tamu salah satu dari anak- anaknya, terkadang di rumah Imam Hasan as, Imam Husein as, atau pun di rumah anak perempuannya Zainab as (isteri Abdullah bin Ja'far). Beliau makan lebih sedikit dari biasanya. Anak-anak Ali as semakin gelisah dan khawatir atas keadaan ayahnya. Mereka bertanya, “Ayahku tercinta, mengapa kau makan sangat sedikit?” Beliau menjawab: “Aku ingin bertemu dengan Tuhanku dalam

p: 45

keadaan lapar”. Anak-anak beliau mengerti bahwa ayah mereka sedang menunggu hari syahadahnya yang sudah kian dekat.

Seringkali beliau menatap langit dan berkata: “Habibi Ya Rasululllah! Apa yang pernah kau janjikan padaku benar-benar akan terjadi, bukan dusta, kini hal itu sudah sedemikian dekatnya”.

Pada hari ketigabelas bulan itu, tepatnya pada hari Jumat, beliau mengucapkan sesuatu yang menambah kesedihan Ahlul Bait-nya, “Anakku Al-Husein! Tinggal berapa hari lagi bulan suci ini akan berakhir?” Al-Husein menjawab, “Tujuhbelas hari lagi." Lalu beliau berkata: “Ya, telah dekat hari ketika janggut ini akan berubah warna menjadi merah karena darah yang mengalir dari kepalaku.” Malam kesembilanbelas telah tiba. Di paruh malam itu anak- anak beliau berkumpul di rumah beliau. Ketika Imam Hasan a.s.

pulang, beliau langsung pergi ke mushallanya (di Darul Imarah).

Beberapa saat menjelang subuh, karena khawatir akan keadaan ayahnya, Imam Hasan a.s. kembali menengok ayahnya. Pada saat itu beliau berkata pada Imam Hasan as:

"Sayangku! (Imam Ali a.s. memberi kasih sayang dan penghormatan khusus untuk Imam Hasan dan Imam Husein a.s.

karena mereka adalah anak-anaknya dari putri Rasul saw Fathimah Zahra as; satu-satunya cara menghormati Rasul saw dan Zahra as adalah dengan menyayangi dan menghormati mereka) Aku baru saja bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku katakan padanya: “Ya Rasulullah! Selama hidupku aku telah banyak disakiti oleh umat ini. Mereka enggan mengikuti perintah dan bimbinganku”.

Kalau kita menengok sejarah, maka benar bahwa mereka telah menyakiti Ali a.s. Bacalah sejarah sahabat-sahabat Aisyah dan bagaimana pengingkaran mereka terhadap baiat. luga

p: 46

tentang Muawiyah dengan segala tipu muslihat dan kejahatan yang dilakukannya.

Muawiyah adalah orang yang sangat lihai dan licik. Ia mengetahui cara yang paling tepat untuk menyakiti hati Ali a.s.

dan ia tidak pernah membuang kesempatan itu.

Namun di antara hal-hal yang paling menyakitkan adalah sikap kelompok khawarij. Mereka telah sedemikian rupa mengkafirkan dan memfasikkan beliau. Siapa orangnya yang tidak mengetahui apa yang diperbuat mereka terhadap Ali as? Siapa pun yang pernah membaca kisah tragedi yang menimpa Ali a.s. dalam sejarah, pasti akan merasa heran dan terperanjat! Gunung pun tidak sanggup menahan derita yang ditanggung Ali a.s.! Dalam keadaan yang demikian, dengan siapa beliau harus berbagi derita? Sekaranglah saatnya ia mengadu kepada Rasulullah saw meski hanya lewat mimpi: “Ya Rasulullah! Betapa umatmu telah menyakiti hatiku! Apa yang harus kuperbuat terhadap mereka?” Beliau menceritakannya kepada Imam Hasan as:

“Anakku Hasan! Rasulullah saw memerintahku untuk melaknat orang-orang yang menyakitiku, maka aku pun melaknat mereka:

Ya Allah! Gantilah mereka untukku dengan orang-orang yang lebih baik dari mereka, dan gantilah aku untuk mereka dengan orang yang lebih buruk dariku! (Nahjul Balaghah Khutbah ke-68) Imam Hasan a.s. menjadi gelisah dan sangat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya. Ali a.s keluar dari rumah pada saat unggas-unggas pagi mulai bersuara. Beliau berkata:

“Biarkanlah mereka bersuara, karena tak lama lagi akan digantikan oleh tangisan manusia”.

p: 47

Anak-anak Ali berusaha menahan ayahnya pergi sendiri:

“Ayah tercinta! Sebaiknya engkau kirim orang lain untuk menggantikanmu.” Pada mulanya beliau setuju: “Suruhlah keponakanku Ju’dah bin Hubairah untuk menggantikanku memimpin shalat jamaah di masjid! Namun beliau segera membatalkan perintahnya dan berkata: “Tidak perlu kalian panggil Ju’dah! Biarlah aku sendiri yang pergi.” Mereka berkata: “Jika demikian, izinkanlah seseorang menyertaimu”. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak mau disertai seseorang.” Beliau melanjutkan:

“Aku sudah berusaha untuk dapat menyingkap rahasia dalam perkara ini, namun Allah SWT tidak berkehendak apa pun kecuali merahasiakannya” (Nahjul Balaghah, khutbah ke-147).

Saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Setelah mengumandangkan adzan, beliau mengucapkan selamat tinggal kepada Sang fajar shadiq:

“Wahaisubuh! Wahai fajar! Sejak Ali dilahirkan dan membuka matanya kepada dunia, pernahkah ada hari di saat engkau terbit, sedang mata Ali masih tertidur?! Saksikan! Sesungguhnya mata Ali akan tidur untuk selamanya. “Bukalah jalan untuk mukmin mujahid ini!”.

Demikianlah, Ahlul Bayt Alia.s. tidak diizinkan menyertainya.

Beliau sendiri dengan jelas telah mengatakan bahwa suara-suara unggas pagi akan diikuti oleh jeritan-jeritan pilu manusia.

Pada pagi itu Zainab, Ummu Kultsum, dan seluruh keluarga Ali a.s. dicekam kegelisahan. Mereka mencemaskan keselamatan ayah mereka. Peristiwa apakah yang akan terjadi di pagi ini? Tak lama kemudian terdengar jeritan membahana disusul dengan gemuruh tangisan membanjiri lorong-lorong shubuh.

p: 48

Bagian3

DERITA MANUSIA

Point

p: 49

p: 50

Terdapat bermacam-macam pandangan tentang hakikat dan definisi manusia. Namun, secara global, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan; pandangan ruhiyyun (metafisikisme) dan maddiyyun (materialisme).

Menurut pandangan metafisiksme, manusia adalah suatu hakikat yang terdiri dari ruh dan badan. Ruh manusia bersifat abadi, tidak akan ikut sirna dengan kematian manusia. Sedangkan kaum materialis berpendapat bahwa manusia tidak lebih dari sebuah motor mekanis, dan ketika sampai pada kematiannya, semuanya akan sirna dan berakhir. Dengan kata lain, dengan dikuburnya jasad manusia, kepribadiannya pun ikut musnah terkubur.

Ruh Manusia

Meski ada perbedaan pendapat antara kedua golongan di atas, namun keduanya bersepakat bahwa ada serangkaian nilai yang bukan berasal dari unsur materi (spiritual) yang berpengaruh terhadap kepribadian manusia, di mana insaniyyah manusia bergantung pada serangkaian nilai itu. Artinya, jika nilai-nilai ini dicabut dari manusia, maka ia akan terperosok dan jatuh ke derajat kehewanan.

Dengan kata lain, insaniyyah manusia tidak akan terwujud hanya dengan konstruksi tubuh lengkap dengan satu kepala, dua telinga, kuku pipih, berbadan tegak, dan dapat berbicara.

Sa'di mengekspresikan hal ini dalam puisinya:

Badan manusia mulia karena ruhnya Tubuh yang indah bukanlah tanda kemanusiaan Jika manusia itu (disebut) manusia

p: 51

Karena mata, telinga, atau lidahnya Maka apa bedanya Antara manusia dan gambar manusia di dinding Kalau insaniyyah manusia diukur dari konstruksi tubuhnya, maka semua yang dilahirkan oleh seorang ibu dapat disebut manusia. Tidak, insaniyyah manusia tidak diukur dari konstruksi tubuhnya, tapi diukur oleh serangkaian sifat, nilai, dan etika tertentu yang karenanya ia dikatakan manusia. Semua hal yang dapat meninggikan derajat dan kepribadian manusia inilah yang dinamakan “nilai-nilai insani”.

Telah kita bahas bahwa ada dua macam penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh individu atau masyarakat. Pertama, penyelewengan-penyelewengan yang berbentuk penentangan terhadap nilai-nilai atau norma-norma insani, seperti kezaliman melawan keadilan; penindasan melawan kebebasan dan kemerdekaan; ketidakbertuhanan dan ketidakterikatan pada nilai-nilai insani melawan kebertuhanan dan keterikatan pada nilai-nilai tertentu; kejahilan dan kebodohan melawan akal, ilmu, dan hikmah. Namun, sebagian besar dari penyelewengan- penyelewengan manusia yang terjadi tidak berada pada wilayah ini, yakni wilayah pertentangan anti nilai melawan nilai-nilai insani, di mana yang pertama akan segera dikalahkan oleh yang kedua.

Sebagian besar penyelewengan-penyelewengan manusia terjadi dari macam yang kedua, yaitu penyelewengan yang terjadi bukan berupa pertentangan antara antinilai dan nilai, namun pertentangan yang terjadi di antara nilai-nilai itu sendiri, sebagaimana yang telah kita bahas.

p: 52

Zuhud dan taqwa adalah nilai-nilai di antara sekian banyak nilai insani dan merupakan bagian dari keinsanan manusia.

Namun jika individu atau masyarakat ternggelam di dalamnya sehingga nilai-nilai yang lain terhapus dan terabaikan, yang ada tinggal zuhud dan taqwa, maka kondisi seperti ini bagaikan orang yang hanya hidung atau telinganya saja yang berkembang, sedang yang lain tidak. Inilah yang dimaksud dengan penyelewengan jenis kedua. Dalam hal ini penyelewengan yang terjadi tidak berupa pertentangan antara anti-nilai dan nilai, tetapi pertentangan yang terjadi di antara nilai-nilai itu sendiri. Di sinilah kita akan menemukan kesulitan untuk meluruskannya. Berbeda dengan penyelewengan jenis pertama, kita tidak akan menemui kesulitan dalam meluruskannya, karena telah jelas antara yang benar dan yang salah.

Derita dan Pengaruhnya yang positif

Melalui pembahasan di atas kita ketahui bahwa pada hakikatnya paham yang paling materialis pun mengakui adanya serangkaian nilai-nilai spiritual pada diri manusia.

Sekarang kita memasuki pembahasan berikutnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa seluruh nilai yang dimiliki manusia berpusat pada satu poros, yang darinya pula terpancar nilai-nilai insani. Pusat itu, yang sebenarnya merupakan standar dari kemanusiaan, adalah “derita” (istilah ini telah dikenal oleh para sufi dan juga oleh para intelektual modern, bahkan sebelum Urafa, istilah ini telah melengkapi literatur-literatur Islam). Inilah yang membedakan antara manusia dan selain manusia.

Manusia adalah maujud yang mempunyai derita yang tidak dimiliki oleh selain manusia, baik hewan ataupun manusia dalam

p: 53

artian makhluk berkepala satu, berbadan tegak dan dapat berbicara namun sama sekali tidak tercium darinya ruh kemanusiaan.

Untuk lebih jelasnya, kita perlu membahas tentang derita itu sendiri. Mungkin pada mulanya istilah derita membingungkan sebagian orang. Apa yang dimaksud dengan derita di sini? Bukankah derita adalah suatu keburukan yang harus dicegah dan dihindari? Bagaimana derita dapat menjadi standar insaniyyah dan sumber dari seluruh nilai-nilai insani? Mungkinkah derita berubah menjadi sesuatu yang baik? Selama ini mungkin kita salah dalam membedakan pengertian antara derita dengan penyebab derita. Pada suatu penyakit atau luka, yang dikatakan buruk adalah adanya kuman, bakteri, serta virus. Sedangkan luka itu sendiri adalah buruk bagi tubuh si penderita karena menyebabkan rasa sakit dan derita.

Jika terjadi luka pada lambung atau pada usus sehingga rasa sakitnya menganggu penderitanya, maka yang buruk di sini adalah luka itu sendiri atau virus-virus pada lambung dan ususnya.

Adapun rasa sakit yang diakibatkan, walaupun mengganggu si penderita, sangat bermanfaat bagi dirinya, karena menjadikannya tahu dan sadar akan adanya penyakit pada tubuhnya.

Ketika seseorang merasa sakit kepala, dia pasti menyadari adanya ketidakberesan pada kepalanya. Rasa sakit pada kepala itulah yang menyadarkannya sehingga si penderita berusaha untuk menyembuhkannya. Rasa sakit ini tak ubahnya seperti jarum- jarum penunjuk pada mobil yang fungsinya memberitahukan (kepada pengemudi) volume bahan bakar, oli, air, dan lain sebagainya. Seandainya manusia tidak dapat merasakan sakit pada tubuhnya, maka ia tidak akan mengetahui keadaan dirinya, sakit atau sehat.

p: 54

Selanjutnya, rasa sakit ini ibarat petugas yang memaksa penderita untuk segera mengatasinya, dan seakan berkata padanya: Cepat! Pergilah berobat! Memang pada dasarnya derita itu sendiri adalah sebuah nikmat, rasa, pengetahuan, serta kesadaran.

Maulawi ar-Rumi berkata dalam syairnya:

Derita dan kepedihan orang sakit Membuatnya sadar sepanjang malam, tanpa tidur Siapa yang lebih sadar, maka ia lebih menderita Siapa yang lebih sadar, maka mukanya akan lebih pucat Siapa yang lebih banyak merasakan derita berarti ia lebih sadar dan lebih mengetahui. Orang yang tidak pernah merasakan derita, sama halnya dengan seseorang yang kebal, bebal, tidak memiliki kesadaran dan tidak mengetahui. Sebaliknya, merasakan derita itu sama halnya dengan kepahaman, kesadaran, dan pengetahuan.

Apakah yang akan dipilih manusia, jika ia dihadapkan pada dua pilihan: perasaan nyaman tanpa derita, yang berarti bodoh, dungu, dan hilang kesadaran atau merasakan derita yang berarti pandai, sadar, dan cerdas? Manusia yang benar-benar memiliki nilai-nilai kemanusiaan pasti akan memilih dan mengutamakan ketidaknyamanan dan rasa derita yang berarti kesadaran, ketimbang kenyamanan tanpa derita yang berarti kebodohan.

Sebuah peribahasa mengatakan, “Lebih baik jadi Socrates yang kurus kering tapi pandai, daripada menjadi seekor babi yang gemuk tapi bodoh”. Artinya, lebih baik menjadi manusia yang pandai walaupun diliputi keadaan susah, ketimbang menjadi babi yang segala kebutuhannya tersedia tapi tidak dapat memahami apa pun.

p: 55

Keluhan pada Akal

Salah satu topik yang tampak pada sebagian karya-karya sastra (Persia), adalah masalah keluhan pada akal. Mereka berkata, alangkah baik dan beruntungnya jika kita tidak memiliki akal! Apa untungnya menjadi orang berakal atau hidup di tengah masyarakat yang berakal, perasa, dan pandai? Kepandaian dan keberakalan ini sebenarnya telah mencuri dan merampas rasa nyaman serta kebahagiaan dari manusia. Ada sebuah syair yang mengatakan:

Musuh ruh dan jiwaku Adalah akal dan kesadaranku Alangkah bahagia Jika mataku buta dan telingaku tuli Janganlah berakal Nanti kamu akan merasakan derita orang gila Jadilah gila Supaya deritamu dirasakan oleh yang berakal Mereka (yang setuju dengan syair di atas) adalah orang- orang yang mengutamakan kenyamanan dan kegilaan atas ketidaknyamanan dan kewarasan, pemikiran, dan pemahaman.

Namun, pernyataan-pernyataan di atas jelas-jelas salah dan tidak logis. Seseorang yang telah mencapai derajat insan dan memahami akan nilai “rasa” dan “derita”, mustahil berkata, “musuh ruh dan jiwaku adalah akal dan kesadaranku”. Sebaliknya, ia akan selalu mengingat sabda Rasul saw yang berbunyi:

“Sahabat setiap manusia adalah akalnya, sedang musuhnya adalah kebodohannya”.

Mereka yang mengatakan, musuh ruh dan jiwaku adalah akal dan kesadaranku, dan mengeluh atas derita-derita yang

p: 56

disebabkan oleh akal, dapat dipastikan ia belum pernah merasakan kesengsaraan-kesengsaraan yang diakibatkan oleh kejahilan dan kebodohan. Jika mereka pernah merasakan derita karena kejahilan, maka mereka tidak akan mungkin mengeluarkan pernyataan-pernyataan seperti di atas.

Jika masalahnya berputar pada tiadanya penyakit (tidak ada penyebab penyakit) dan manusia tidak merasakan derita, maka tentu saja tidak merasakan derita menjadi lebih baik (karena memang tidak ada penyakit). Namun, kalau penyakit itu ada, sedang manusia tidak dapat merasakan sakit dan deritanya, maka keadaan yang seperti ini akan mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan baginya.

Di antara sekian banyak penyakit, yang paling berbahaya dan mematikan adalah penyakit-penyakit yang penderitanya tidak dapat merasakan sakit yang disebabkannya. Kanker dianggap penyakit yang mematikan, oleh karena pada mulanya penyakit ini (sama sekali) tidak menimbulkan rasa sakit bagi penderitanya. Jika sejak dini si penderita dapat merasakan sakitnya sebelum penyakit itu menjalar ke pembuluh darah, maka akan dapat disembuhkan dengan mudah. Penyakit sejenis ini biasanya menyerang tanpa menimbulkan rasa sakit. Namun, setelah mengganas, baru penderita dapat merasakan sakitnya, yang biasanya sudah sangat sulit untuk disembuhkan.

Oleh karena itu, apa yang telah kita nyatakan bahwa rasa sakit dan derita adalah pusat dan sumber dari seluruh nilai-nilai manusia, tidak dapat ditolak atau disalahkan hanya karena rasa sakit dan derita itu mengganggu manusia.

p: 57

Derita Manusia

Apa yang dimaksud dengan derita manusia? Jika seseorang menderita sakit kepala, maka penyakit yang dideritanya itu bukan yang dimaksud sebagai derita manusia, karena hewan pun bisa menderita penyakit yang sama. Jika salah satu dari anggota tubuh manusia, baik di dalam tubuh atau di luarnya terluka terkena penyakit, sesungguhnya itu adalah penyakit-penyakit hewani, bukan derita insani. Apa yang kita maksud dengan derita manusia bukanlah derita yang dapat dialami oleh binatang. Derita manusia hanya dapat dialami oleh manusia dan sekaligus menjadi pusat dari seluruh nilai-nilainya.

Kaum Urafa dan para sufi berpendapat bahwa derita manusia adalah derita “ma'rifatullah” (derita mengenal Allah SWT).

Mereka mengatakan bahwa derita jenis inilah yang merupakan tanda sekaligus keistimewaan manusia dibanding makhluk- makhluk selainnya. Bahkan, derita inilah yang mengantarkan manusia pada derajat yang lebih tinggi melampaui para malaikat.

Menurut pandangan Islam, manusia adalah suatu hakikat yang telah ditiupkan padanya “ruh ilahi”. Ia datang dari dunia lain dan tidak seratus persen sama dengan makhluk-makhluk lain yang ada di dunia ini. Manusia selalu merasa asing karena tidak memiliki kesamaan dengan maujud-maujud lain di dunia.

Semuanya itu akan fana dan sirna, kecuali manusia yang merasa bahwa di balik dirinya ada sesuatu yang kekal dan abadi. Derita inilah yang mendorong manusia untuk melakukan ibadah, doa, penyucian diri, dan serangkaian aktivitas spiritual lainnya.

p: 58

Beberapa Tamsil tentang Derita Manusia

Terdapat banyak metafora berkenaan dengan derita manusia dalam dunia ‘irfan kita. Terkadang manusia diumpamakan sebagai seekor burung beo yang didatangkan dari hutan India dan dipenjarakan dalam sebuah sangkar hingga membuatnya selalu gelisah. Ia senantiasa berharap dapat lepas dari sangkar itu dan terbang bebas kembali ke tempat asalnya. Terkadang pula manusia diumpamakan seperti seekor anak ayam yang tersesat jauh dari induk dan kandangnya.

Maulawi ar-Rumi pada awal diwannya yang bernama “Matsnawi Maulawi” membuat sebuah metafora (perumpamaan) yang sangat indah tentang derita manusia:

“Gajah yang didatangkan dari India harus selalu dipukul dan dicambuk. Jika tidak demikian, ia akan teringat negeri India yang akan membuatnya tidak mau makan dan tidur sampai tiba saat kematiannya”. Maulawi selanjutnya mengatakan: “Gajah hanya memimpikan India, karena ia berasal dari sana”.

Maulawi ingin mengatakan, manusialah yang selalu gelisah dan berharap kembali ke dunia asalnya. Ia mengalami derita (kerinduan) irfani untuk segera menemui Zat yang azali dan kekal untuk menyatu.

Derita Manusia dalam Sabda Ali a.s.

Alangkah indahnya kata-kata Amirul Mu'minin Ali a.s. ketika beliau pergi ke padang pasir. Pada saat itu beliau desertai sahabat dekatnya Kumail an-Nukha'i r.a. yang meriwayatkan:

“Kita sampai di padang pasir ketika tidak terdapat seorang pun di sana. Tiba-tiba dalam suasana yang sepi itu beliau menarik napas sangat dalam serava menasihatiku:

p: 59

‘Hai Kumail putra Ziyad! Sesungguhnya hati manusia itu adalah wadah. Sebaik-baik wadah ialah yang dapat lebih banyak menampung isi dan menjaganya. Maka, dengar dan perhatikan apa yang akan kukatakan padamu.

(Dalam kata-katanya itu) beliau membagi manusia dalam tiga kelompok -yang sengaja kita tinggalkan karena tidak berhubungan dengan pembahasan kita - sampai pada akhirnya beliau mengeluh:

"Sayang sekali tidak ada orang yang layak mendengar rahasia-rahasiaku, sehingga aku dapat mengungkapkan apa yang ada di hatiku.” Beliau melanjutkan: “Namun bukan berarti tak ada seorang pun, karena pada setiap zaman selalu ada orang-orang yang “shahib sirr” (orang-orang yang mengetahui rahasia-rahasia yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang). Sesungguhnya bumi ini tidak pernah sunyi atau kosong dari seorang hujjah, baik yang nampak dan dikenal atau yang tersembunyi dan tidak dikenal”. Beliau menjelaskan: “Hujjah-hujjah itu adalah mereka yang mendapatkan guyuran ilmu-ilmu hakiki. Mereka telah sampai pada tingkatan “ruhul yaqin” (suatu pengetahuan akan Tuhan dan keberadaan secara universal yang sangat jelas tanpa sedikit pun keraguan).

Apa pun yang sangat sulit diterima oleh para penyembah materi, bagi mereka adalah sangat mudah dan gampang.

Menyendiri dan berkhalwat dengan Allah, pekerjaan yang sangat ditakutkan oleh orang-orang jahil, namun bagi mereka itu adalah kemesraan dan kenyamanan yang tiada taranya. Mereka di dunia hidup berbaur dengan masyarakat, namun ruh-ruh mereka berada di alam lain yang sangat tinggi. Pada saat yang sama, mereka berada di dunia dan berada di luar dunia.

p: 60

Inilah derita-derita Ali a.s. (atau dengan kata lain) “derita- derita irfani Ali a.s.”, derita-derita ibadah dan munajat. Begitu khusyu'nya beliau beribadah, begitu hangat dan mesranya beliau berdialog dengan Kekasih idamannya, sehingga beliau tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya, bahkan beliau tidak merasakan apa-apa ketika anak panah dicabut dari punggungnya.

Inilah derita manusia, derita berpisah dari Allah SWT, derita kerinduan dan harapan untuk mendekat pada Zat Yang Mahatinggi, derita kerinduan menuju dan menyatu dengan- Nya. Selama manusia belum sampai pada Zat Yang Mahatinggi, maka kegelisahan, ketidaktenteraman dan guncangan jiwa, tidak akan hilang darinya. Jika manusia mengalihkan deritanya ini pada hiburan-hiburan, itu hanya bersifat sementara saja, karena kebutuhan manusia yang sesungguhnya bukanlah pada hiburan- hiburan itu.

Al-Quran menegaskan:

“Hanya dengan dzikrullah (mengingat dan mengenang Zat Yang Maha Segala-galanya) hati manusia dapat terhibur jauh dari kegelisahan, keresahan, dan kebingungan.

Kaum Urafa dan para sufi lebih menekankan derita manusia pada segi ini dan kurang memperhatikan derita-derita manusia dalam bentuk yang lain.

Sebuah Analogi dari Maulawi

Maulawi menceritakan sebuah analogi tentang seseorang yang selalu beribadah dan bermunajat siang-malam. Bibirnya senantiasa bergetar dengan sebutan Allah, Allah, Allah...Suatu saat syetan mendekatinya dan berhasil membuat bibirnya

p: 61

berhenti berdzikir. Syetan berkata padanya: “Hai anak Adam yang terusir dari surga! Selama kau memanggil Tuhanmu dengan menyebut Allah, Allah,... siang dan malam dengan khusyu', pernahkah sekali saja kau mendengar jawaban dari Tuhanmu?! Cobalah kau kelilingi kampungmu dan panggil setiap penghuni rumah, siang, atau malam, mereka pasti akan keluar memenuhi panggilanmu”. Baginya, apa yang dikatakan syetan tadi adalah benar. Semenjak itu mulutnya bungkam dan tidak lagi mau memanggil dan menyebut nama Allah SWT. Pada suatu malam ia bermimpi dan mendengar seseorang berkata: “Hai hamba Allah! Mengapa kau tinggalkan munajatmu?” Ia menjawab: “Selama ini aku telah bersusah payah menahan kantuk di setiap malam beribadah dan bermunajat, akan tetapi aku belum pernah walau sekali pun mendapat jawaban dari Allah”. Orang dalam mimpinya itu berkata: “Aku diperintah Allah SWT untuk menjawabmu demikian: Kata-kata Allah, Allah....yang senantiasa kau ucapkan itu, sebenarnya sudah merupakan jawaban Tuhanmu. Engkau tidak menyadari bahwa apa yang Tuhanmu karuniakan padamu berupa kesanggupan untuk melakukan ibadah, berdzikir, dan bermunajat itu sendiri sudah merupakan jawaban dan “labbaik” (sahutan) bagimu”.

Dalam doa kumail, Imam Ali a.s. memohon:

“Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku yang menahan doa.” Inilah yang dimaksud bahwa doa bukan hanya sebagai wasilah dan perantara, tapi juga merupakan tujuan. Artinya, doa tidak harus selalu terkabulkan, meski yang demikian pun sebenarnya telah terkabulkan, karena doa itu sendiri juga merupakan tujuan.

p: 62

Derita Manusia terhadap Makhluk Tuhan

Kelompok selain kaum Urafa dan para sufi berpendapat bahwa derita yang merupakan nilai tertinggi manusia adalah derita manusia terhadap makhluk Tuhan. Mereka berkeyakinan bahwa standar insaniyyah manusia adalah kondisi ketika seseorang turut merasakan derita orang lain. Ia ikut merasakan segala kesusahan dan penderitaan yang menimpa orang lain, meski penderitaan dan kesusahan itu sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya.

Sa’di mensyairkan:

Bukan karena deritaku, mukaku menjadi pucat Tapi derita orang-oranglah yang membuat wajahku layu Bila seseorang merasakan derita orang lain, yang berupa lapar, maka sudah pasti ia tidak akan dapat tidur nyenyak. Rasa laparnya sendiri lebih mudah ia tahan dari pada rasa lapar orang lain. Jika sepucuk duri menembus telapak kaki seseorang, ia merasa seakan duri itu menancap di matanya. Inilah derita manusia, derita yang memberi nilai dan kepribadian pada manusia. Inilah derita yang menjadi pusat seluruh nilai-nilai insani, kata mereka.

Di mata mereka, kemanusiaan hanyalah hal-hal seperti ini.

Artinya, segala sesuatu yang bermuara pada rasa tanggung jawab dan derita manusia karena penderitaan yang lain, disebut “insani” dan selainnya bukan. Akan tetapi, cara pandang seperti ini akan meleburkan nilai-nilai lain dalam satu nilai semata.

Pandangan Islam

Apakah manusia itu hanyalah mereka yang mempunyai derita untuk menuju Tuhannya? Atau mereka yang hanya dapat merasakan derita sesamanya?

p: 63

Menurut nash-nash Islam, manusia mempunyai dua derita di atas, karena seseorang yang mempunyai derita ilahi, sudah pasti mempunyai derita insani.

Dalam surah Al-Kahfi ayat 6, Allah SWT memperingatkan Rasulnya:

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman pada keterangan ini?” (QS. Al-Kahfi: 6) Juga ayat 2-3 surah Thaha:

“Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)”. (QS. Thaha: 2-3) Rasulullah saw begitu giatnya dalam berdakwah dan menunjukkan jalan hidayah, sa'adah dan salamah kepada umatnya, sampai-sampai beliau tidak lagi memikirkan dirinya. Beliau hanya berpikir supaya umatnya dapat menelusuri jalan yang benar dan lurus (shirathal mustaqim). Ketika itu, datanglah peringatan dari Allah SWT kepada beliau: “Apa yang kamu lakukan? Sepertinya kamu akan menghancurkan dirimu sendiri demi umat”.

Betapa tinggi dan indahnya ta'bir Al-Quran! Dalam firman Allah:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min”. (QS. Al- Taubah: 128) Keistimewan yang pertama ialah azîzun alaihi ma anittum, keresahan-keresahan dan kesusahan-kesusahan kalian berat terasa olehnya; ia ikut merasakan derita-derita kalian. Dan yang

p: 64

kedua ialah harîshun 'alaikum, Al-Quran menggunakan kata “harish” yang berarti berambisi (sangat menginginkan), seperti seseorang yang berambisi terhadap harta kekayaan. Dalam hal ini, Rasul saw sangat berambisi sekali untuk menyelamatkan umat manusia; sangat berambisi untuk menyembuhkan derita-derita umat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa seorang muslim ialah orang yang di samping mempunyai derita untuk menyatu dengan Rabbinya, juga merasakan derita hamba-hamba-Nya.

Ada sebuah cerita yang sering kita dengar. Di Bashrah, Utsman bin Hanif pernah diundang dalam suatu jamuan. Apa yang terjadi dalam jamuan itu sehinga ia mendapatkan peringatan dari Amirul Mukminin Ali as? Adakah disediakan minuman keras dalam majlis itu? Adakah perjudian? Sama sekali tidak ada minuman keras dan perjudian. Adakah yang salah dengan majlis itu, sehingga kehadiran Utsman dianggap dosa oleh Amirul Mukminin Ali as? Dosa Utsman hanyalah karena ia menghadiri suatu majlis yang para tamu undangannya hanya terdiri dari kalangan elite dan tak satu orang fakir pun tampak di pertemuan itu.

Ketika berita ini sampai pada Imam Ali as, Utsman (pada waktu itu menjabat sebagai gubernur yang ditunjuk oleh beliau as) mendapat teguran yang cukup keras dari beliau. Kepadanya Imam Ali memperingatkan:

“Tidak kusangka kau mendatangi suatu majlis yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya dan menyingkirkan orang-orang fakir. Kalau saja aku mau, maka semua kemewahan dan gemerlap dunia akan segera tersedia untukku; segala jenis makanan dan minuman serta pakaian yang mewah akan segera tersedia untukku. Tapi mustahil, aku mau menyerahkan kendali hidupku pada karakusan dan hawa nafsuku.”

p: 65

Mengapa beliau berkata demikian? Adakah Allah SWT telah mengharamkan semua nikmat yang disediakan-Nya? Adakah menikmati makanan yang enak, minuman yang lezat, dan pakaian yang mewah diharamkan? Tidak, Imam Ali a.s.

tidak mengharamkan semua itu. Beliau menjelaskan, kalau aku berpesta di sini, mungkin di Hijaz atau di Yamamah, terdapat orang-orang yang jangkauan tangan mereka tidak sampai walau hanya pada sekerat roti, layakkah aku sebagai seorang mukmin dan khalifah, tidur dalam keadaan kenyang, sedang di sekitarku ada perut-perut yang lapar dan tenggorokan-tenggorokan yang kering kehausan? Akan puaskah aku disebut dan dielu-elukan sebagai Amirul Mukminin, sedang aku tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan duka?.

Renungkan apa yang dikatakan Ali a.s. Ucapan beliau menunjukkan bagaimana ia juga ikut merasakan segala penderitaan rakyatnya. Beginilah gambaran tentang seseorang yang menanggung derita sesama. Derita seperti inilah yang dapat menjadi tolok ukur dan acuan nilai insaniyyah setiap manusia.

Derita yang Diinginkan

Pada hakikatnya derita yang kita bicarakan di atas adalah sebuah kenikmatan yang tak ternilai, karena merasakan derita mereka yang kita cintai dan sayangi akan mendatangkan kenikmatan dan kepuasan tersendiri. Hanya Allah SWT yang mengetahui rahasia yang tersimpan di balik kenikmatan dan rasa puas ini. Dan yang lebih nikmat lagi adalah derita dan kepedihan karena rindu untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Derita semacam ini, kata Abu Ali Sina, seperti seorang yang terkena

p: 66

gatal-gatal. Ia merasa sakit di saat menggaruknya, namun pada saat yang sama ia juga merasakan kenikmatan, derita ini adalah derita yang membakar ruh dan jiwa, mengalirkan air mata. Ia bukan sembarang derita. Ia adalah derita yang diidam-idamkan dan diinginkan.

Manusia memang selalu lari dari derita. Tapi, bagaimana jika kita mendengar kabar bahwa akan diadakan sebuah majlis untuk mengenang musibah Imam Husein as? Tidakkah kita akan menghadirinya? Seseorang, sebelum hatinya terbakar, sebelum dapat ikut merasakan derita beliau dan Ahlul Baytnya alaihimussalam, sebelum meneteskan air mata dalam majlis itu, tidak akan merasakan apa-apa. Namun, jika ia dapat merasakan derita Imam Husein a.s. dan mencucurkan air mata, maka pada saat itu ia akan merasakan suatu kenikmatan dan kepuasan tersendiri yang jauh dibandingkan kenikmatan dan kepuasan menggaruk.

Maka, rugilah tubuh-tubuh yang ruh-ruhnya hanya merasakan derita-derita tubuh mereka sendiri, karena ruh-ruh itu hanya akan memikirkan derita dan kepedihan dirinya sendiri! Betapa mulianya tubuh yang ruhnya tidak hanya menanggung derita badannya sendiri, tetapi juga menanggung derita semua tubuh; satu ruh yang harus menanggung derita semua tubuh.

Tubuhlah yang akhirnya terpaksa hidup hanya dengan sepotong roti, meski segala kemewahan tersedia di hadapannya, karena ruhnya mungkin berada di Hijaz atau Yamamah, di mana banyak orang yang sehari-harinya hanya hidup dengan beberapa kerat roti. Tubuh inilah yang akhirnya harus mengenakan sepatu yang penuh dengan tambalan, karena tubuh ini dihuni oleh ruh seperti ruhnya Ali a.s.

p: 67

Salah seorang penyair berkata:

Ketika ruh telah menjadi besar dan mulia Maka tubuh akan lelah mengikutinya Suatu hari Ali a.s. melihat seorang wanita tua di salah sebuah lorong kota Madinah sedang mengangkat kantung berisi air dengan tangannya sendiri. Ali a.s. bukan tipe orang yang dapat menyaksikan pemandangan seperti ini lalu pergi begitu saja.

Beliau berpikir, tidak biasanya seorang wanita mengangkat air sendiri. Pasti ia tidak punya seseorang yang bisa membantunya.

Tanpa menunggu lebih lama, beliau langsung menghampirinya dan berkata: “Bolehkah aku memikulkan kantung airmu? Biarlah aku yang mengangkatnya sampai di rumahmu.” “Semoga Allah memberkatimu”, jawab si wanita.

Beliau as memikul air itu sampai di rumahnya. Kemudian beliau bertanya: “Mengapa Anda mengangkat air sendiri? Di mana suami Anda?" Wanita itu menjawab: “Suamiku telah gugur ketika membela Amirul Mukminin Ali a.s. dalam suatu peperangan, sekarang tinggal aku bersama beberapa anak yang telah menjadi yatim.” Begitu mendengar jawaban si wanita, sekujur tubuh beliau seakan terbakar. Diriwayatkan, malam itu juga ketika sampai di rumah, beliau tidak dapat memejamkan mata semalam suntuk.

Pagi-pagi sekali beliau mengumpulkan gandum, daging, kurma, dan uang, lalu segera pergi ke rumah janda itu. Setelah mengetuk pintu, terdengar suara dari dalam: “Siapa? Beliau menjawab: “Aku, saudara seimanmu yang kemarin.” Ali a.s.

membakarkan daging untukanak-anak dan menyuapkan makanan pada mereka dengan tangan beliau sendiri. Beliau mendudukkan anak-anak yatim itu di atas pangkuannya dan dengan perlahan

p: 68

membisikkan pada mereka: “Maafkanlah Ali yang selama ini lalai pada kalian!" Kemudian, beliau menyalakan api tanur (tempat memasak roti), lalu beliau dekatkan wajahnya pada api dan berkata pada dirinya: “Hai Ali! Rasakanlah api di dunia ini, supaya kau teringat akan api jahannam dan tidak lagi melupakan keadaan rakyatmu yang memerlukan uluran tanganmu”. Beginilah nasib tubuh manusia yang ruhnya ikut merasakan derita-derita orang lain.

Ya Allah! Kami bersumpah dengan nama-Mu, bersumpah atas nama Ali bin Abi Thalib a.s. Tumbuhkanlah derita Islam pada hati kami! Tumbuhkanlah derita cinta, mahabbah, ma'rifah, ibadah, dan taat pada-Mu dalam hati kami! Jadikanlah kami orang-orang yang mau merasakan derita hamba-hamba-Mu yang lain! Berilah kami percikan cahaya wilayah Ali a.s.! Jadikanlah kami pengikutnya yang setia! Terangi hati kami dengan cahaya iman! Kenalkanlah kami lebih jauh dan dalam akan ajaran-ajaran Islam! Jadikanlah akhir umur kami dalam kebaikan! Ilahi Amin.

p: 69

p: 70

Bagian4

DERITA MENCARI DAN MENGENAL ALLAH

Point

p: 71

p: 72

«وَاسْتَعِینُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَکَبِیرَةٌ إِلَّا عَلَی الْخَاشِعِینَ » “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'” (QS. Al-Baqarah: 45) anusia merupakan pintu gerbang spiritual bagi dirinya sendiri. Maksudnya, manusia dapat - menemukan dan melihat alam ma’na (alam non materi) melalui dirinya sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya nilai-nilai yang sama sekali tidak relevan dengan perhitungan alam materi pada diri manusia. Eksistensi nilai-nilai immaterial pada diri manusia ini telah diakui baik oleh para psikolog terdahulu maupun oleh psikolog-psikolog masa kini.

Rasulullah saw pernah bersabda:

“Siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya." Al-Quran al-Karim memberikan penilaian istimewa untuk manusia dari semua makhluk di alam ini. Dalam surah Fushshilat ayat 53 Allah berfirman:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk (afaq=alam materi) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. 41: 53).

Melalui ayat ini, kita mengetahui bahwa Al-Quran telah membedakan antara afaq yang berarti alam materi dan anfus yang berarti diri-diri manusia. Dan dari ayat inilah, literatur mengenal istilah "Ayat afaqi dan Ayat Anfusi” atau yang biasa disebut dengan

p: 73

masail afaqi dan masail anfusi. Mengenai apa dan bagaimana masail atau ayat anfusi itu, untuk sementara ini sebaiknya tidak kita bahas dahulu.

Terlepasnya “Insaniyyah" dari Manusia

Salah satu unsur pada diri manusia yang berada di luar dimensi alam materi dan telah sering kita sebut selama ini, yaitu nilai-nilai insani atau dengan kata lain kemanusiaan manusia.

Setiap maujud atau makhluk yang kita temui di alam ini, adalah sifat bagi dirinya sendiri secara inheren. Misalnya, sifat ke- harimau-an bagi harimau, ke-anjing-an bagi anjing, ke-kuda-an bagi kuda, dan seterusnya. Mustahil kita menemukan harimau tanpa keharimauannya, atau anjing tanpa keanjingannya. Namun, sangatlah aneh dan mengherankan, kita dapat menemukan- bahkan sering kali-manusia tanpa kemanusiaannya. Hal itu disebabkan karena unsur kemanusiaan manusia, yang memberi kepribadian dan karakter bagi manusia, memiliki sifat-sifat khusus.

Pertama, unsur tersebut walaupun berhubungan dengan alam ini, tidak mempunyai kesesuaian dengan konstruksi fisik manusia; tidak dapat dirasa dan diraba. Atau dengan kata lain, unsur tersebut bersifat ma'nawiyyat, bukan maddiyyat.

Kedua, nilai-nilai insaniyyah, keutamaan dan kepribadian manusia ini tidak stercipta bersamaan dengan lahirnya manusia ke dunia ini, tetapi manusia itu sendiri yang menciptakannya.

Imam Ali bin Musa ar-Ridha a.s. berkata:

"Tidak akan diketahui apa yang ada di “alam ma’na” (ghaib) kecuali melalui apa yang ada dalam diri manusia”.

p: 74

Telah kita ketahui bahwa hal-hal yang disebut sebagai nilai-nilai insani, ma'nawiyyat insani, dan standar insaniyyah itu mencakup banyak hal, tetapi semua itu dapat disimpulkan dalam satu nilai, yaitu "yang mempunyai atau yang merasakan derita”.

Setiap paham atau agama di dunia yang berbicara tentang nilai-nilai insani pasti meyakini adanya suatu bentuk derita dalam diri manusia yang berbeda dengan jenis derita fisik manusia, bukan pula dari jenis derita hewani.

Telah kita bicarakan bahwa menurut sebagian pendapat, derita itu adalah derita keterasingan dan ketidaksesuaian manusia dengan alam materi ini.

Mengapa demikian? Manusia adalah suatu hakikat yang lepas dan berpisah dari tempat asalnya. Ia datang ke alam ini untuk melaksanakan sebuah risalah. Perpisahan dengan tempat asal inilah yang menjadikan ia merasa asing, menahan rindu, dan derita. Manusia ingin kembali ke asalnya, kembali kepada Alalh SWT. Ia terusir dari surga, jatuh ke bumi dan ingin secepatnya kembali ke surga yang telah dijanjikan. Kedatangannya di dunia bukan suatu kesalahan, namun demi melaksanakan risalah Rabbinya. Betapapun, perpisahan ini tetap membuatnya menderita. Menurut golongan ini, derita manusia adalah derita Tuhan, derita perpisahan dan derita kerinduan untuk kembali kepada Rabbul Alamin.

Seberapa pun tingginya kedudukan manusia di dunia ini, ia tidak akan pernah sampai pada ma'syuqnya (kekasihnya).

p: 75

Manusia Mencari Kesempurnaan yang Mutlak

Dikatakan bahwa manusia mempunyai sifat selalu menginginkan dan mendambakan sesuatu yang tidak dimilikinya.

Ia akan berusaha mati-matian untuk mendapatkannya.

Namun, setelah berhasil memperolehnya, ia pun merasa bosan lalu mencampakkannya. Bukankah hal ini sangat aneh dan mengherankan? Apakah ini masuk akal? Seseorang telah bercerita:

Ketika saya mengunjungi salah satu museum di luar negeri, saya melihat patung wanita muda yang sangat cantik sedang dalam keadaan tidur di ranjang. Di dekat patung wanita itu ada patung lain dalam bentuk pemuda tampan dengan posisi berdiri di lantai dan sebelah kakinya di atas ranjang. Namun, yang mengherankan patung pemuda itu dalam keadan berpaling dari patung wanita, seakan ia akan menjauh dari ranjang itu. Saya tidak dapat memahami pemandangan itu. Mengapa si pemuda ingin melarikan diri dari si wanita yang telah menyerahkan diri untuknya? Saya bertanya pada seseorang yang ahli di bidang ini, yang kemudian menjelaskan bahwa patung itu adalah sebuah gambaran dari pemikiran Plato:

“Manusia pada mulanya akan mengejar setiap yang diinginkan dan dicintainya dengan dambaan dan harapan yang luar biasa. Namun, ketika yang disukai itu sudah ia dapatkan, maka kecintaan dan kesukaannya akan segera berubah menjadi kebosanan dan kejenuhan”.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Sepertinya masalah ini sama sekali tidak masuk akal dan tidak logis. Akan tetapi, bagi

p: 76

mereka yang mau berpikir lebih dalam, akan dapat mengungkap rahasianya.

Manusia adalah maujud yang tidak dapat selamanya mencintai sesuatu yang terbatas, tidak dapat selalu bersama sesuatu yang fana, tidak dapat selalu bertahan dengan sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu.

Manusia adalah maujud yang mencintai dan selalu mencari kesempurnaan yang mutlak, bukan yang nisbi (relatif); artinya ia mencintai Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna. Siapa pun yang mengingkari Tuhan, pada hakikatnya mencari dan mencintai Tuhan; mereka adalah manusia yang fitrahnya mendorong dia untuk mencari kesempurnaan yang mutlak, hanya saja mereka salah jalan dan tersesat.

Muhyiddin Al-Arabi berkata: “Tak seorang manusia pun yang mencintai selain Tuhannya”. Belum pernah ditemukan seseorang yang mencintai selain Tuhannya, tetapi bagi sementara orang, Allah SWT tersembunyi di balik nama-nama: Zainab, Kultsum, Jamilah, dan seterusnya.

Misalnya, Si Majnun mengira dirinya mencintai Laila. Ia tidak mengetahui dan tidak menyadari apa yang sesungguhnya terpendam dalam fitrahnya. Untuk itu Muhyiddin berkata: “Para nabitidak datanguntuk mengajarkan pada kita supaya menyembah dan mencintai Allah SWT (karena menyembah Allah sudah merupakan fitrah setiap manusia), tetapi mereka datang untuk menunjukkan jalan yang lurus dari jalan-jalan yang sesat”. Mereka diutus oleh Allah untuk mengatakan: Wahai manusia! Kalian ini adalah maujud yang mencari dan mencintai kesempurnaan yang mutlak, tetapi kalian salah jalan. Kalian mengira uang dan harta itu adalah kesempurnaan yang mutlak. Kalian menduga

p: 77

kedudukan dan tahta adalah kesempurnaan yang mutlak. Kalian menyangka wanita adalah kesempurnaan yang mutlak. Memang benar, kalian tidak menginginkan apa pun kecuali kesempurnaan yang mutlak. Sayangnya, kalian tersesat dalam menentukan apa dan di mana kesempurnaan yang mutlak itu.

Demikianlah, para anbiya' diutus untuk meluruskan jalan manusia yang menyimpang ini. Derita manusia adalah derita berpisah dari Zat Yang Maha Sempurna karena dibatasi oleh tabir-tabir kesesatan. Jika hijab-hijab ini dapat tersingkap dari pandangannya, pada saat itu juga kepribadiannya menjadi seperti kepribadian Ali a.s.

Berdasarkan itu pula Al-Quran menegaskan: “Ketahuilah bahwa hanya dengan zikrullah, hati manusia dapat merasa puas dan tenteram”. Jadi Al-Quran mengingatkan, kalau manusia mengira bahwa dengan harta dan kemewahan dapat memperoleh ketenangan dan ketenteraman, maka justru kegelisahan dan kehampaan yang akan ia peroleh.

Al-Quran tidak melarang manusia mencari harta dan kekayaan. Al-Quran hanya mengingatkan manusia agar jangan sekali-kali menyangka bahwa harta dapat memberikan ketenteraman dan kesempurnaan baginya. Banyaknya ideologi yang tidak dapat menjawab tuntutan-tuntutan manusia, juga merupakan akibat dari kerapuhan ideologi itu sendiri karena tidak menggantungkan diri dan bersandar pada Zat yang memiliki kamal dan kesempurnaan mutlak.

Beberapa paham hanya bersandar pada “derita manusia untuk makhluk Tuhan” bukan pada “derita manusia untuk Tuhan”.

Bahkan ada yang melontarkan ejekan; derita manusia untuk Tuhan adalah omong kosong”.

p: 78

Pernah ditulis sebuah artikel dengan judul “Tuhan atau manusia”. Di dalamnya ada yang mengatakan: Tuhan. Yang lain mengatakan: Manusia. Yang ketiga mengatakan: Tuhan dan manusia. Tetapi saya belum pernah mendengar seseorang yang mengatakan: Tuhan dan manusia tidak terpisah satu dengan yang lain. Padahal, tanpa Tuhan manusia tidak ada. Selama kita tidak mengenal derita manusia untuk Tuhannya, dan selama manusia tidak menuju Tuhannya, maka kemanusiaannya tidak akan bisa mencapai apa pun dan semuanya akan sia-sia. Kemanusiaan adalah derita untuk Tuhan, dan derita insani terwujud dari derita ilahi.

Perjalanan Insan kamil Menurut “Urafa

Alangkah indahnya uraian “Urafa tentang perjalanan insan kamil. Mereka membagi perjalanan insan kamil menjadi empat tahap:

1) Perjalanan manusia dari diri menuju Tuhan.

2) Perjalanan manusia bersama Tuhan dalam Tuhan, untuk mengenal-Nya.

3) Perjalanan manusia bersama Tuhan menuju makhluk-Nya.

4) Perjalanan manusia bersama Tuhan di antara makhluk-Nya untuk menyelamatkan mereka.

Tidak terbayangkan penjelasan yang lebih indah dari ini.

Diawali dengan perjalanan manusia menuju Tuhan. Selama manusia berpisah dari Allah, segala sesuatu adalah kosong dan tidak ada yang berarti. Ketika sampai pada Allah dan mengenal Allah, ia merasakan dirinya dekat dengan Allah dan merasa Allah bersamanya. Kemudian, ia kembali menuju makhluk Allah

p: 79

bersama Allah. Manusia pada tahap ini akan hadir di antara makhluk Allah untuk menyelamatkan mereka dan akan berusaha mendekatkan mereka kepada Allah.

Seandainya perjalanan manusia hanya dari makhluk menuju Allah dan berhenti sampai di situ, maka kita tidak akan mengenal manusia. Begitu juga kalau manusia, tanpa menuju Allah, langsung terjun ke masyarakat, maka hasilnya akan seperti yang ditawarkan paham-paham materialis, yang tidak dapat memberikan jaminan apa pun kecuali kepalsuan. Mereka yang dapat menyelamatkan manusia adalah orang-orang yang sudah berhasil menyelamatkan dirinya terlebih dahulu. Apa yang dimaksudkan dengan keselamatan manusia? Manusia harus diselamatkan dari apa? Dari belenggu alam? Dari tawanan manusia-manusia lain, yang berarti “terbebasnya manusia dari manusia”? Semua itu benar. Namun, terlebih dahulu manusia harus selamat dari dirinya sendiri, dari nafsu “amarahnya” dan dari keterbatasan dirinya. Selama ia belum selamat dari belenggu dirinya, sampai kapan pun ia tidak akan selamat dan terbebas dari pasungan alam dan tawanan manusia-manusia lain.

Perlunya Keselarasan Kecenderungan Eksternal dan Internal

Malam kedua puluh satu Ramadhan adalah malam pertama dari sepuluh hari terakhir bulan suci itu. Setiap memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah saw memerintahkan untuk menggulung tikar tidurnya, yang baru akan dihamparkan kembali pada bulan Syawwal. Artinya, beliau menghindari tidur walau semalam pun pada sepuluh hari terakhir bulan ini. Malam- malam ini adalah malam ibadah, malam khalwat, dan munajat.

p: 80

Dahulu, masyarakat Islam hanya cenderung pada nilai ibadah dan seakan hendak menghapus dan mengabaikan nilai- nilai insani yang lain. Sekarang juga sedang muncul arus ifrathi (kecenderungan yang berlebihan) lain, yaitu sebagian dari masyarakat Islam hanya menyibukkan diri mereka pada masalah- masalah sosial dan mulai melupakan ibadah dan doa. Kini telah muncul penyelewengan dan kekeliruan dalam bentuk lain.

Dikisahkan seorang Arab Badui mempunyai seekor keledai, ia hendak menungganginya, namun begitu jauhnya ia mengambil ancang-ancang, sehingga ketika meloncat ia terjatuh ke sisi yang lain, lalu ia berkata “seperti yang pertama” kalau kita menyimpang dari jalur lurus Islam, apa bedanya antara menjadi seorang abid yang lari dari masyarakat atau manusia sosial yang lari dari Allah? Menurut logika Islam tidak ada perbedaan antara keduanya; keduanya salah dan keliru.

Lihatlah firman Allah dalam ayat akhir surat Al-Fath- yang mempunyai kemiripan dengan banyak ayat lain dalam Al- Quran-di mana Allah berfirman:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir (yang memerangi mereka), tetapi berkasih sayang pada sesama mereka:

kamu melihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan ridhanya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah

p: 81

menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 48: 29).

Bagaimana karakter para sahabat dan orang-orang yang terbentuk melalui didikan Rasul saw? Mereka keras, kuat, dan tegar jika berhadapan dengan musuh-musuh kebenaran, bagaikan tembok baja yang tak tergoyahkan. Namun, mereka memiliki dua rupa dan dua wajah; keras jika berhadapan dengan musuh-musuh kebenaran, tetapi di antara mereka ada ikatan persatuan yang terjalin dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, sebagaimana digambarkan Al-Quran tentang ciri-ciri dari masyarakat Islam.

Mereka betul-betul sibuk dalam masalah-masalah sosial, tetapi pada saat yang sama, di hadapan Tuhannya mereka ruku', sujud, memohon rahmat dan hidayah-Nya, memohon derajatnya ditinggikan. Mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka miliki. Mereka ingin maju dari hari ke hari. Seluruh ibadah mereka tidak ditujukan kecuali untuk mendapatkan ridha Allah. Dari wajah mereka terlihat tanda-tanda ibadah dan sujud.

Kemudian, Allah SWT menyebutkan sebuah perumpamaan untuk masyarakat Islam, tentang bagaimana mereka tumbuh dan berkembang Masyarakat Islam tak ubahnya seperti tanaman yang pada mulanya lemah dan kecil, kemudian berkembang dan berkembang sehingga membuat para petani tercengang dan terheran-heran kesenangan.

Pada kesempatan lain, Al-Quran menyebutkan dua kecenderungan ini secara bersamaan. Dalam surah Al-Taubah ayat 112 disebutkan:

p: 82

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Allah, yang berpuasa, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.” (QS. 9: 112).

Kecenderungan ilahi kelompok ini, adalah bertaubat, beribadah, berzikir, berpuasa, rukuk dan sujud. Adapun dari segi sosial, mereka adalah orang-orang yang membangun masyarakat, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar.

Dalam surah Ali 'Imran disebutkan:

“Orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. 3: 17).

Kata “shabr” dalam Al-Quran selalu digunakan dalam arti “perlawanan atau perjuangan”, khususnya perlawanan di medan peperangan. Allah SWT dalam ayat ini, setelah menyifati mereka sebagai orang-orang yang berjuang di jalan Allah, meneruskan dengan pemberian sifat kepada mereka sebagai orang-orang yang beristighfar dan beribadah di waktu sahur. Berdasarkan beberapa ayat di atas, telah kita ketahui bahwa antara kecenderungan spiritual dan sosial dalam Islam tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang meremehkan salah satu darinya berarti telah meremehkan yang lain.

Berbagai riwayat berkenaan dengan ciri-ciri dan sifat- sifat para sahabat Imam Mahdi ajjalallahu ta'ala farahusy syarif (semoga Allah mempercepat kedatangannya) menggambarkan:

“Mereka bagaikan pendeta-pendeta di waktu malam dan singa di siang hari.”

p: 83

Sebuah Contoh dari Sejarah Islam

Al-Kafi(1) telah meriwayatkan sebuah hadis yang sangat menarik, sebuah hadis ma’ruf yang juga diriwayatkan oleh kitab- kitab hadis Ahlu sunnah:(2) Suatu hari, ketika Rasulullah saw mengunjungi Ashabus Shuffah (beliau sering mengunjungi mereka) pandangan mata beliau menuju kepada seorang anak muda yang berjalan sempoyongan. Kelihatannya ia kurang makan. Bola matanya cekung dan wajahnya terlihat pucat sekali. Beliau menghampirinya dan menyapa: “Bagaimana kau telah memulai pagi ini?” la menjawab, “Ya Rasulullah! Aku memasuki waktu pagi ini dalam keadaan yakin akan semua yang telah kau ucapkan melalui lidah sucimu yang sampai ke pendengaranku. Sekarang, aku dapat melihatnya dengan mata bashirah, sehingga semuanya tampak jelas dan nyata di hadapanku.” Rasul saw ingin menarik keterangan lebih jauh dari anak muda itu dengan bertanya, “Segala sesuatu mempunyai tanda.

Sekarang, kau yang mengaku sebagai orang yang telah sampai pada derajat Ahlul Yaqin, apa yang dapat menjadi tanda atau alamat dari pengakuanmu?” Ia menjawab, “Tanda keyakinanku adalah di siang hari aku selalu haus untuk puasa dan di malam hari aku selalu terjaga untuk ibadah. Keyakinanku tidak membiarkan aku tidur di malam hari dan berbuka di siang hari.” Rasul saw berkata lagi, “Ini masih belum cukup. Sebutkanlah tanda-tanda yang lain!"

p: 84


1- Ushul al-Kafi, jilid 2, hal 53.
2- Kanzul Ummal, jilid 13, hal 351.

Ia berkata, “Ya Rasulullah! Saat masih berada di dunia ini, aku sudah dapat melihat dan mendengar apa yang sedang terjadi di dunia sana. Aku dapat mendengar suara ahli surga dari surga dan ahli jahannam dari neraka. Ya Rasulullah! Jika kau izinkan, sekarang pun aku dapat memberitahukan padamu mana di antara sahabatmu yang ahli surga dan mana yang ahli neraka!” Beliau berkata, “Cukup sampai di sini, jangan kau teruskan!" Kemudian Rasul saw bertanya padanya: “Hai anak muda! Apa yang kau cita-citakan dalam hidup ini?” Ia menjawab, “Syahadah di jalan Allah” Begitulah ibadah, harapan dan cita-cita, serta bagaimana keadaan siang dan malamnya sosok mukmin Islam, manusia Islam. Ia memiliki kedua derita dan ia peroleh deritanya yang kedua (derita untuk sesamanya) dari derita pertamanya. Derita ilahi telah mewujudkan derita insani pada dirinya.

Ayat yang telah disebutkan di awal pembahasan ini (QS. 2:

45):

“Wahai orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan dari shabr (puasa) dan shalat!" Pertolongan macam apa yang dapat kita peroleh dari ibadah dan shalat? Sesungguhnya segala pertolongan dapat kita peroleh dari ibadah.

Kalau kita hendak menjadi muslim yang hakiki dan menjadi mujahid di jalan Allah, maka kita harus memperolehnya dari jalan ibadah.

Rusyanfikri (pencerahan) Model Umar

Sebagian orang berkata, apa perlunya shalat? Apa yang dapat dihasilkan oleh pekerjaan ibadah? Ibadah hanyalah pekerjaan

p: 85

wanita-wanita tua. Manusia harus terjun ke masyarakat. Perkataan ini adalah sejenis ungkapan rusyanfikri, pencerahan ala Umar.

Anda tentunya pernah mendengar bahwa Umar bin Khattab telah membuang kalimat “hayya ‘ala khairil ‘amal” (bergegaslah menuju sebaik-baiknya amal) dari seruan azan. Mengapa ia melakukannya? Sesungguhnya suatu proses rusyanfikri terjadi pada dirinya, namun sesungguhnya ia telah membuat kesalahan besar.

Zaman Umar adalah masa berkobarnya futuhat islami dan semaraknya jihad islami, di mana beratus-ratus mujahid pergi memerangi musuh. Meski dengan jumlah yang jauh lebih kecil, mereka dapat menundukkan musuh yang lebih kuat. Pada waktu itu, jumlah keseluruhan dari tentara Islam sekitar lima puluh sampai enam puluh ribu, sedangkan dua imperium besar Romawi dan Persia masing-masing memiliki ratusan ribu terntara dan serdadu siap tempur. Namun demikian, bala tentara Islam dengan jumlah kurang dari seratus ribu telah berhasil mengalahkan dua imperium besar tersebut.

Jihad, sekali lagi telah menetapkan dan mengukuhkan nilainya. Ketika itu umat Islam disibukkan dengan latihan-latihan dan pengkaderan serdadu-serdadu muda. Umar, yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah, tiba-tiba mengkhawatirkan sebuah kalimat dari azan yang berbunyi “hayya ‘alah khairil ‘amal” (bergegaslah menjuju sebaik-baiknya amal) dapat merusak mental dan mengendurkan semangat para mujahid. Jangan- jangan nanti mereka akan berpikir: Jika shalat itu adalah amal yang terbaik, alangkah baiknya kita duduk saja di masjid Madinah dan mendirikan shalat di sebelah makam Rasul saw, dari pada pergi ke medan perang. Biarkan mereka yang pergi mempertaruhkan

p: 86

nyawa. Mereka akan terluka, terpanah mata dan dadanya, terpenggal tangan dan kakinya, terkoyak perut dan lehernya, sementara kita bisa duduk di rumah dengan tenang bersama anak istri, melaksanakan shalat pada waktunya dan amal kita terhitung lebih afdhal dari mereka yang berjuang dengan susah payah di medan tempur Umar berdalil: Kalimat azan ini dapat berdampak buruk terhadap semangat para mujahid. Jalan satu-satunya adalah dengan membuang kalimat ini dan menggantinya dengan kalimat “as-shalatu khairum min an-naum” (shalat itu lebih baik dari tidur). Maksudnya, daripada kalian tidur, sebaiknya kalian pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat.

Umar tidak mau berpikir lebih jauh, dengan kekuatan apa beberapa puluh ribu tentara Islam dapat mengalahkan ratusan ribu tentara musuh di dua front yang berlainan? Dari mana datangnya kemenangan ini? Dari persenjataan? Apakah persenjataan Arab dapat menandingi persenjataan Persia dan Romawi? Tidak! Romawi dan Persia adalah dua negara berperadaban dan maju.

Keduanya memiliki semua senjata paling mutakhir di zaman itu. Pedang Arab bak rongsokan besi dibanding pedang-pedang yang ada di Persia atau Romawi. Apakah bangsa Arab lebih kuat dan maju dari bangsa Persia dan Romawi? Tidak! Tidakkah diketahui pada masa sebelum Islam, apa yang telah ditimpakan oleh Syapour Al-Aktaf, Raja Persia, atas orang-orang Arab? Bukankah Syapour telah menawan beribu-ribu orang Arab? Bukankah ia telah menghitamkan pundak-pundak mereka dan merantai kaki-kaki mereka? Ke mana kekuatan Arab pada saat itu? Bukankah seratus tahun kemudian Iran dapat mengalahkan Arab? Jadi, dengan kekuatan apa Arab dapat mengalahkan kedua

p: 87

imperium besar itu? Kekuatan yang diperoleh Arab adalah tidak lain kekuatan iman, kekuatan yang mereka dapatkan dari hayya ‘ala khairil amal, kekuatan munajat, dan doa. Kekuatan-kekuatan inilah yang memberi bangsa Arab ruh dan semangat sehingga dapat mengalahkan Iran dan Romawi. Mereka memperoleh ruh ini dari iman yang selalu disegarkan oleh shalat-shalat yang setiap hari mereka tegakkan. Mereka mendapatkan ruh ini dari kalimat Allahu Akbar yang mereka ucapkan berkali-kali dalam shalat.

Manusia bersandar kepada Allah SWT, meminta kekuatan dan kekuasan dari-Nya. Melalui shalat inilah Allah SWT memberi mereka kekuatan. Tanpa shalat, tidak ada mujahid yang gagah berani dan penuh semangat.

Islam telah menegaskan bahwa hukum-hukum dan syariatnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Siapa pun yang diwajibkan atasnya jihad, maka ia harus berjihad dan haram baginya tinggal di masjid Madinah untuk shalat sekali pun. Syarat diterimanya shalat adalah jihad dan syarat diterimanya jihad adalah shalat.

Jika syarat-syarat yang berlaku bagi seseorang untuk jihad terpenuhi, maka wajiblah baginya berjihad, dan pada kondisi demikian shalat tidak bisa disebut sebagai khairul amal (sebaik- baik amal), bahkan ia menjadi syarrul amal (seburuk-buruk amal) dan dengan demikian, tidak dapat disebut shalat. Jadi, shalat yang didirikan karena lari dari jihad, itu bukanlah shalat Islam. Oleh karena itu, ajarkanlah kepada masyarakat shalat Islam yang benar, bukan dengan cara membuang salah satu kalimat azan, dengan alasan khawatir umat akan lari dari jihad untuk melaksanakan shalat. Luruskan pemahaman mereka! Keluarkan kesalahan dari akal mereka! Mengapa mesti mengubah kalimat azan dan menciptakan bid'ah?

p: 88

Benar, yang disebutkan dalam logika Islam bahwa nilai dari segala nilai adalah ibadah, jika yang dimaksud adalah ibadah Islam, ibadah yang benar. Al-Quran menyatakan bahwa suatu pekerjaan shalat dapat dikatakan shalat (yang benar) ketika dapat dilihat pengaruh positifnya dan nampak hasilnya secara nyata.

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah) lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 29:45).

Shalat yang benar akan menjadikan pelakunya tercegah dari melakukan hal-hal yang fahsya' dan munkar. Jika Anda melaksanakan shalat tetapi masih juga berbuat maksiat, ketahuilah bahwa shalat Anda belum sempurna. Maka berusahalah untuk menyempurnakannya. Shalat Anda akan dapat mendatangkan nilai-nilai lain jika telah sempurna.

Dalam hal ini, kita harus menjadikan Imam Ali as, anak didik Rasul saw, sebagai tauladan. Ali a.s. adalah pribadi yang terkumpul pada dirinya semua nilai-nilai Islam. Ali a.s. adalah pribadi yang komprehensif.

Nahjul Balaghah adalah kalamnya; sebuah kitab yang tiap bagiannya mewakili dimensi berbeda-beda. Pada satu bagian berbicara dengan cara yang sama sekali berbeda dengan bagian yang lain.

Di setiap tempat Ali a.s. mewakili suatu kepribadian yang lengkap. Artinya, telah terkumpul padanya seluruh nilai-nilai insani. Pada saat tertentu ia mewakili seorang pejuang yang gagah berani, seperti orang yang sejak masa kanak-kanaknya telah dididik dan dilatih untuk menjadi anggota sebuah pasukan elit.

Di tempat lain kita akan menemuinya sebagai seorang sufi, arif

p: 89

besar yang seakan tidak peduli pada apa pun kecuali ibadah, do'a, dan munajat.

Muruwwah Ali a.s.

Pasukan Ali a.s. dan pasukan Muawiyah sudah saling berdekatan di suatu tempat di sekitar sungai Furat. Muawiyah memerintahkan pasukannya untuk lebih dulu menduduki daerah sepanjang tepi sungai, sehingga dapat mencegah Ali a.s.

dan pasukannya mencapai air. Pasukan Muawiyah demikian gembira setelah berhasil menguasai sungai. Mereka yakin, dengan menguasai air, mereka akan mampu memaksa pasukan Ali a.s.

menyerah karena kehausan.

Ali a.s. berkata kepada pasukannya:

“Sebaiknya kita selesaikan masalah ini secara damai untuk menghindari terjadinya peperangan dan pertumpahan darah.

Lilitan benang yang masih dapat diurai dengan tangan tidak perlu diurai dengan gigi.” Kemudian beliau memperingatkan Muawiyah:

“Kami belum lagi sampai, tetapi engkau sudah mengambil tindakan yang demikian tidak terpuji!" Demi mendengar peringatan itu, Muawiyah segera membentuk dewan strategi perang dan membahas masalah tersebut dengan para panglima dan komandan perangnya. Ia berkata: “Apa pendapat kalian? Kita beri jalan kepada mereka atau tidak?” Sebagian mengatakan, sebaiknya mereka diberi jalan, sedang sebagian yang lain menolak. Amr bin Ash berkata:

“Bukalah jalan untuk mereka! Kalau tidak, mereka akan segera datang menyerbumu dan sekaligus mempermalukanmu.” Namun,

p: 90

pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memberikan jalan dan memaksakan perang pada Ali a.s.

Di sinilah Ali a.s. meneriakkan sebuah orasi heroik di hadapan bala tentaranya, yang pengaruhnya lebih besar dari seribu genderang dan terompet disertai dengan seribu lagu mars.

Ali a.s. bersabda:

“Muawiyah telah mengumpulkan orang-orang sesat untuk mencegah air dari jangkauan kalian. Tahukah kalian apa yang mereka lakukan? Mereka telah menutup jalan kalian menuju air. Wahai sahabat-sahabatku! Hauskah kalian? Adakah kalian menginginkan air? Tahukah kalian apa yang harus dilakukan? Segarkan pedang-pedang kalian dengan darah-darah najis mereka, setelah itu segarkan diri kalian dengan air sungai Furat”.

Kemudian, beliau menyampaikan sebuah kalimat yang mengguncangkan jiwa setiap yang mendengar:

“Ayyuhannas! Tahukah kalian apakah kehidupan itu? Apakah maut itu? Apakah kehidupan itu adalah berjalan di atas bumi, makan minum dan tidur? Apakah maut itu adalah tidur di bawah tanah? Tidak. Hidup dan maut bukanlah demikian. Kehidupan adalah kalian mati tetapi menang (terbebas dari kekangan), sedang kematian adalah kalian hidup tetapi tertindas.” Kalimat ini begitu membakar semangat juang bala tentara Imam Ali as, sehingga hanya kekuatan maha dahsyat yang sanggup menghadang mereka.

Maka, hanya dengan satu atau dua serangan, tentara Ali a.s. berhasil mengusir pasukan Muawiyah dari sekitar Furat dan menjauhkan mereka bermil-mil dari sungai itu. Pasukan Ali a.s.

telah berhasil menguasai Furat sedang pasukan Muawiyah terusir jauh tanpa air. Muawiyah mengirim seseorang untuk memohon

p: 91

air dari pasukan Ali a.s. Sahabat-sahabat ali a.s. berkata: “Mustahil kami akan memberi air kepada orang yang telah mencegah kita dari air.” Namun, Ali a.s. menyela dan berkata: “Aku tidak akan membalas kejelekan dengan kejelekan. Aku tidak akan membalas kelicikan dengan kelicikan. Aku berhadapan dengan musuh di medan perang, tetapi aku sama sekali tidak mau meraih kemengangan dengan kelicikan-kelicikan semacam itu. Meraih kemenangan dengan jalan seperti itu bukanlah caraku dan juga bukan cara setiap muslim yang mulia dan bermartabat.” Disebut apakah sikap Ali a.s. itu? Ini adalah muruwwah, keksatriaan dan kejantanan sejati. Muruwwah lebih tinggi nilainya dari pada keberanian. Maulawi ar-Rumi berkata dalam syairnya ketika memuji Ali as:

Dalam keberanian Kau adalah singa Rabbani Dalam muruwwah Tak seorang pun tahu Siapa kau sebenarnya

Munajat Ali a.s.

Pada kesempatan lain, pada saat Ali a.s. telah selesai dari urusan masyarakat, akan kita lihat hanya ada dia dan Tuhannya, dia dan khalwatnya, dia dan munajat isyqiyyah-nya dan dia dengan ibadah khusyu'nya. Dalam Nahjul Balaghah (khutbah ke- 225) beliau berkata:

“Ya Allah! Kau adalah sahabat yang paling akrab bagi para kekasih-Mu. Kau adalah sahabat yang paling siap untuk membantu mereka yang bertawakkal pada-Mu. Kau Maha melihat dan menyaksikan segala apa yang tersembunyi di hati-hati mereka

p: 92

yang mencintai-Mu. Kau dengan jelas mengetahui batin mereka.

Rahasia-rahasia mereka terbuka jelas di hadapan-Mu dan hati- hati mereka terbang menuju pada-Mu.” Doa Kumail adalah salah satu dari doa-doa Ali as. Kandungan doa ini berada di puncak ‘irfân. Jika kita membacanya dari awal sampai akhir, kita tidak akan menemukan dunia atau akhirat di dalamnya (yang dimaksud dengan akhirat di sini adalah surga dan neraka). Kita akan menemukan sesuatu di atas dunia dan akhirat:

Allah, hubungan antara seorang hamba shalih dengan Tuhannya, hubungan antara penyembah dan Zat Aqdas Ilahi, itulah ibadah yang hakiki. Ini adalah langkah pertama dari keislaman kita, sebuah langkah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hanya dengan dekat kepada Allah, kita dapat dengan baik melaksanakan semua tanggung jawab kita tehadap masyarakat.

Kita harus berusaha menyingkirkan kecenderungan- kecenderungan ifrathi (berlebihan) pada satu nilai. Karena Islam sering kali dirugikan oleh kecenderungan-kecenderungan semacam ini. Kita harus berusaha menyelamatkan Islam dari penyakit ini. Jangan sekali-kali meremehkan nilai ibadah atau jihad! Pada saat-saat akhir hayat Imam Ja'far Shadiq as, beliau memerintahkan agar semua kerabatnya dikumpulkan. Beliau untuk terakhir kalinya membuka mata dan berpesan: “Syafaat kami tidak akan meliputi orang-orang yang meremehkan shalat.”

Ali a.s. di Ambang Syahadah

Di antara sekian periode dari masa hidup Ali a.s. yang paling menakjubkan adalah empat puluh lima jam menjelang akhir hayatnya. Ali a.s. telah menjalani beberapa periode dalam

p: 93

hidupnya. Pertama, dari lahir sampai bi’tsah ar-Rasul saw. Kedua, dari bi'tsah sampai hijrah. Ketiga, dari hijrah sampai wafatnya Rasul saw. Keempat, dari wafatnya Rasul saw sampai masa khilafahnya, selama duapuluh lima tahun. Kelima, empat setengah tahun masa khilafahnya. Dan terakhir, yang masanya tidak lebih dari dua hari, bahkan merupakan bagian yang paling menakjubkan, adalah sekitar empat puluh lima jam sejak beliau dipukul dengan pedang beracun sampai beliau mati syahid.

Periode yang paling jelas menampakkan kesempurnaan Ali as. Apa tindakan pertama Ali a.s. menjelang kematiannya? Ketika pukulan pedang mengenai faraq (kepala bagian atas) suci beliau, hanya terdengar dua kalimat darinya. Kalimat pertama yang keluar dari mulut suci beliau, “Ringkuslah lelaki ini!” kemudian beliau mengucapkan: “Demi Rabbul Ka'bah aku telah beruntung".

Mencapai kesyahidan bagiku merupakan suatu keberuntungan yang besar.

Orang-orang mengangkat badan suci Ali a.s. dan membaringkannya di atas tikar. Kemudian didatangkan seorang tabib bernama Atsir bin Amr yang tinggal di Kufah untuk mengobati luka Amirul Mukminin. Ali a.s. segera dirawat dengan cara-cara pengobatan zaman itu. Diriwayatkan diletakkan pada luka beliau urat paru kambing yang hangat untuk mengetahui apakah racun telah masuk ke dalam peredaran darah. Setelah berbagai usaha dilakukan, tabib akhirnya mengetahui bahwa racun telah memasuki peredaran darah dan menyatakan tidak sanggup lagi menangani luka Amirul Mukminin.

Menurut kebiasaan, tabib tidak mengatakan keadaan luka atau penyakit pasiennya, ia hanya akan menceritakan kondisi pasien kepada keluarga dekatnya. Atsir bin Amrtahu bahwa Amirul

p: 94

Mukminin bukan tipe orang yang perlu diberitahukan kondisinya kepada keluarganya. Tanpa basa-basi ia langsung berkata pada Amirul Mukminin: “Ya Amirul Mukminin! Jika engkau punya wasiat, maka kini telah tiba saatnya untuk kau katakan.” Ketika puteri beliau Ummi Kultsum menemui si la’inul azal wal abad (Ibnu Muljam, pembunuh Ali a.s.), ia langsung mendamprat dan mencelanya, seraya berkata: “Apa yang telah ditimpakan ayahku padamu sehingga kau tega melukainya dengan kejam?! Aku berharap pada Allah SWT agar ayahku dapat sembuh sehingga semua usahamu menjadi sia-sia.” Dengan perangai iblisnya si mal’un menjawab: “Hai Ummu Kultsum! Perlu kau ketahui bahwa pedang yang kugunakan untuk memukul ayahmu itu telah kubeli dengan seribu dirham dan kuracunkan semahal seribu dirham pula. Seandainya semua kepala penduduk Kufah dibariskan pada suatu tempat dan kulewatkan pedang ini dari ujung ke ujung barisan, niscaya semua akan mati binasa. Jangan terlalu banyak berharap, karena ayahmu tidak lama lagi akan segera meninggalkanmu untuk selama-lamanya." Pada detik-detik terakhir inilah terlihat keagungan Ali a.s.

Dalam wasiatnya beliau berpesan: “Perlakukanlah tawananmu (Ibnu Muljam) dengan baik, wahai anak-anak Abdul Muthallib! Jangan sampai setelah aku meninggal nanti kalian ribut dan berperang dengan masyarakat. Janganlah kalian menuduh atau menunjuk si fulan dan si fulan sebagai biang keladi atau ikut campur dalam pembunuhan. Ingatlah! Pembunuhku (hanya satu orang) dan telah berhasil kalian tangkap.” Beliau berpesan pada Imam Hasan as: “Anakku Hasan! Setelah aku tiada, kuserahkan Ibnu Muljam padamu. Jika kau mau membebaskan dia, maka bebaskanlah, dan kalau kau hendak meng-qishasnya, ingat

p: 95

bahwa dia memukul ayahmu hanya dengan sekali pukulan, maka pukullah dia sekali saja. Jika ia mati dengan sekali pukulan, biarlah ia mati. Jika tidak, maka biarkan dia bebas pergi.” Ketika ditawarkan kepada beliau sepanci susu, beliau meminumnya sebagian dan sisanya beliau perintahkan untuk diberikan pada tawanannya supaya tidak lapar. Beginilah cara Ali a.s. memperlakukan orang yang telah memukul kepalanya dengan pedang beracun. Maulawi berkata dalam syairnya:

Dalam keberanian Kau adalah singa rabbani, Tetapi dalam muruwwah Tak seorangpun tahu Siapa kau ini sebenarnya? Saat demi saat keadaan Ali a.s. semakin parah dan racun kian menampakkan reaksinya. Sahabat-sahabat Ali a.s. menjadi sangat terharu dan berduka sekali. Mereka tidak dapat lagi menahan tetesan air mata, bahkan sebagian dari mereka ada yang berteriak histeris. Akan tetapi, mereka melihat wajah Ali as berseri-seri dan selalu senyum. Beliau berkata:

“Demi Tuhan! Apa yang telah menimpaku bukan merupakan hal yang kubenci. Sama sekali tidak! Syahid di jalan Allah sejak dulu sudah merupakan hal yang senantiasa aku damba dan angan-angankan. Dan bagiku, apa yang lebih baik dan berharga dari syahadah dalam keadaan ibadah?!” Ali a.s. telah mengucapkan sebuah matsal (perumpamaan) yang sangat dikenal oleh bangsa Arab. Orang-orang Arab padang pasir yang hidupnya bergantung kepada musim, ketika menemukan air dan rerumputan untuk hewan-hewan ternaknya, mereka akan tinggal di situ selama persediaan air dan rumput-

p: 96

rumput masih ada. Setelah persediaan air dan rumput di kawasan itu habis, mereka akan segera pindah mencari tempat lain yang menyediakan air dan rumput. Kalau siang hari sangat panas dan terik, mereka mencari air di malam hari. Demikianlah, Ali a.s. berkata pada para sahabatnya: “Seseorang yang mencari air di malam hari, akan sangat gembira bila tiba-tiba ia berhasil menemukannya. Perumpamaanku adalah perumpamaan seorang asyiq (perindu) yang mencapai ma'syuq-nya (kekasihnya), perumpamaan seseorang yang mencari sesuatu di kegelapan malam lalu menemukannya.” Imam Ali as, beberapa saat setelah terbitnya fajar hari ke-19 bulan Ramadhan, terkena sambaran pedang Ibnu Muljam dan ruh sucinya diangkat ke malakut al-a'la pada tengah malam 21 Ramadhan.

Pada saat-saat terakhir, semua berkumpul mengelilingi tikar tempat Amirul Mukminin dibaringkan. Racun semakin melemahkan badan beliau.

Beliau dalam keadaan sebentar sadar sebentar pingsan.

Dalam keadaan sadarnya selalu mengalir dari lidah sucinya kata-kata mutiara, nasihat-nasihat, saran, dan mau'izhah. Pesan terakhir beliau tersusun dalam dua puluh butir nasihat.

Pertama, berpesan kepada Hasan dan Husein alaihimassalam, kemudian kepada seluruh Ahlul-Baytnya, “Hasanku, Huseinku, keluargaku, dan semua yang mendengarku! Aku titipkan pada kalian anak-anak yatim! Berpeganglah selalu pada Al-Quran.

Jagalah hubungan baik dengan tetangga. Jagalah waktu shalat.

Keluarkan zakat....

Ketika beliau selesai mengutarakan semua pesannya, orang- orang di sekitar beliau memusatkan pandangannya pada bibir suci

p: 97

beliau a.s. Mereka melihat Ali a.s. mengeluarkan begitu banyak keringat, tanda bahwa racun telah mengalir ke seluruh tubuh suci beliau.

Ali a.s. mulai memejamkan matanya. Mereka diam, senyap.

Tak satu pun dari mereka yang mampu membuka mulut. Tiba-tiba keheningan mereka dipecahkan oleh hembusan napas terakhir beliau dan wafatlah Imam Ali bin Abi Thalib a.s.

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.

p: 98

Bagian 5

BERBAGAI PANDANGAN TENTANG MANUSIA SEUTUHNYA

Point

p: 99

p: 100

«هُوَ الَّذِی بَعَثَ فِی الْأُمِّیِّینَ رَسُولًا مِنْهُمْ یَتْلُو عَلَیْهِمْ آیَاتِهِ وَیُزَکِّیهِمْ وَیُعَلِّمُهُمُ الْکِتَابَ وَالْحِکْمَةَ وَإِنْ کَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِی ضَلَالٍ مُبِینٍ » Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 62: 2) setiap pencetus dan pendiri suatu paham atau aliran, pasti mempunyai pandangan dan gambaran mengenai kesempurnaan manusia atau insan kamil. Dalam istilah akhlak (etika), dikatakan bahwa akhlak adalah suatu “fan”, bukan ilmu. Artinya, akhlak berhubungan dengan “bagaimana seharusnya”, bukan "bagaimana adanya.” Akhlak adalah kumpulan dari sifat-sifat yang harus atau yang sebaiknya dimiliki manusia.

Kalau manusia memiliki sifat-sifat itu, maka ia akan mencapai maqam yang tinggi dalam insaniyyah dan kemanusiaan.

Paham Akal

Secara global, berbagai macam pandangan mengenai insan kamil dapat diringkas dan disimpulkan dalam beberapa pandangan pokok. Pandangan yang pertama dari kaum aqliyyun, yang melihat keutamaan manusia dari segi akalnya lebih dari segi- segi yang lain dan berkeyakinan bahwa hal yang paling istimewa pada diri manusia yang sekaligus menjadikan manusia itu sebagai

p: 101

manusia adalah akalnya. Yang dimaksud dengan akal di sini adalah kekuatan untuk berpikir dan bernalar (logika).

Filosof-filosof Yunani terdahulu dan juga sebagian dari filosof-filosof Islam seperti Abu Ali Sina termasuk di antara mereka yang berpandangan demikian. Mereka berkeyakinan bahwa insan kamil adalah manusia yang hakim (berakal serta bijaksana) dan kesempurnaannya terletak pada kesempurnaan hikmah atau akalnya.

Apa yang mereka maksudkan dengan hikmah? Apakah hikmah adalah sesuatu yang sekarang kita kenal dengan ilmu? Tidak. Yang mereka maksudkan dengan hikmah (hikmah nazhari/ teoretis, bukan amali/praktis) di sini adalah pengetahuan secara menyeluruh dan benar akan seluruh keberadaan selain ilmu. Ilmu sendiri adalah pemahaman terhadap bagian-bagian tertentu dari keberadaan dan tidak menyeluruh. Supaya perbedaan antara ilmu dan filsafat dapat lebih jelas dipahami, perhatikan dengan cermat keterangan di bawah ini! Misalnya, jika Anda hendak mengetahui kota Teheran, ada dua cara yang dapat Anda lakukan. Pertama, dengan pengetahuan secara universal dan menyeluruh, tapi kabur atau tidak mendetail.

Kedua, dengan pengetahuan secara partikular, tapi jelas dan mendetail. Jika Anda melihat kota Teheran melalui peta kota tersebut, Anda dapat mengetahui seluruh jalan-jalan utama kota, perempatan-perempatan, taman-taman kota, bangunan- bangunan penting atau bersejarah, hotel-hotel, rel-rel kereta api, dan seterusnya. Peta memberikan kepada Anda gambaran menyeluruh dari kota Teheran, tapi berupa gambaran yang masih kabur dan tidak jelas (global). Memang benar peta telah

p: 102

memberikan kerangka lengkap kota Teheran, tapi Anda tidak dapat menemukan rumah si fulan misalnya, dalam peta itu.

Namun, seseorang yang mungkin tidak tahu secara pasti berapa panjang, lebar, dan luas kota Teheran, atau berapa banyak jalan utama di kota itu, berapa banyak perempatan atau persimpangan jalan dan seterusnya, jika ditanyakan kepadanya tentang suatu tempat atau daerah tertentu dari kota tersebut, ia akan menerangkan pada Anda daerah yang dimaksud secara lengkap dan mendetail. Dia akan menyebutkan berapa jumlah jalan-jalan kecil, berapa banyak gang-gang yang ada, di mana dan bagaimana persimpangan-persimpangan jalan di daerah itu, jumlah rumah di setiap lorong, dan seterusnya.

Filosof adalah orang yang mempelajari keberadaan secara menyeluruh, berusaha menemukan awal dan akhir keberadaan dan memahami susunan-susunan dan hukum-hukum universal dari keberadaan (alam) ini. Seorang filosof sama sekali tidak mempelajari fenomena-fenomena tertentu secara khusus, seperti tumbuh-tumbuhan, tanah, hewan, bumi, matahari, bulan, tata surya, batu-batuan, dan sebagainya.

Para filosof berpendapat bahwa kesempurnaan manusia ditandai dengan pengetahuannya akan keberadaan secara menyeluruh, bukan hanya bagian-bagian tertentu saja. Atau dengan kata lain, ketika manusia menjadi alam aqlani seperti alam aini (alam nyata). Artinya, manusia itu akan sempurna ketika dirinya telah menjadi alam di hadapan alam nyata, ketika diri manusia menjadi alam aqlani dan fikri.

Insan kamil menurut keyakinan para filosof adalah manusia yang akalnya telah sempurna, dalam artian, kerangka serta gambar keberadaan secara menyeluruh telah tercetak dalam

p: 103

akalnya. Tetapi, dengan sarana apa manusia sampai ke tingkatan ini? Jawabannya adalah dengan akal dan pikiran, dengan argumen dan burhan, dengan logika dan nalar.

Akan tetapi, para filosof tidak berhenti sampai disini, karena mereka meyakini ada dua macam hikmah; yang pertama hikmah nazhari (pemahaman keberadaan secara menyeluruh), dan yang kedua hikmah amali. Apa yang dimaksud dengan hikmah amali? Hikmah amali adalah penguasaan akal manusia terhadap semua keinginan dan kemauan diri manusia itu sendiri. Seseorang dapat disebut manusia sempurna ketika ia telah mencapai kedua hikmah ini. Inilah pandangan aqliyyun (penganut paham akal dan hikmah) mengenai insan kamil.

Paham Isyq

Paham lain yang memberikan pandangan tentang insan kamil adalah paham isyq. Paham isyq atau 'irfan ini menyatakan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada isyq atau cintanya kepada Allah SWT dan ke mana isyq ilahi itu membawanya. Hal ini bertentangan dengan pandangan para filosof yang percaya pada gerakan akal, bukan gerakan isyq atau cinta pada Tuhan.

Paham ini (isyq) adalah paham gerakan, gerakan yang mengarah ke atas dan vertikal, bukan horizontal.

Penganut paham isyq sama sekali tidak meyakini akal, nalar, atau pun argumentasi rasional. Mereka hanya meyakini kekuatan ruh manusia. Menurut mereka, ruh manusia benar-benar bergerak secara ghaib menuju suatu tempat di mana manusia akan sampai pada Tuhannya. Pada dasarnya paham isyq ini menghina dan mengecam paham akal.

p: 104

Di antara bagian-bagian yang menarik dari sastra kita (sastra Persia) adalah polemik antara aqliyyun dan isyqiyyun. Yang turun tangan dalam masalah ini biasanya adalah ahli irfan, oleh karenanya, mereka selalu memenangkan isyq atas akal.

Kaum isyg menyatakan bahwa akal saja tidak cukup untuk membawa manusia menuju kesempurnaan. Akal hanya merupakan suatu bagian dari keseluruhan wujud manusia. Akal bersifat parsial, bukan universal. Akal tak ubahnya seperti mata, yang hanya berperan sebagai sebuah indra dari indra yang lain.

Nilai dan esensi manusia adalah ruhnya. Ruh merupakan jauhar (esensi manusia) yang datang dari alam isyq dan tidak bergerak ke mana pun kecuali menuju Allah SWT. Oleh sebab inilah, akal dilecehkan oleh kaum isyqiyyun.

Para sufi dan ‘urafa selalu mengunggulkan isyq atas akal. Hal ini bisa dicontohkan dengan bagaimana mereka mendefinisikan tauhid sebagai suatu pemahaman tersendiri, sebagaimana kekhususan pemahaman-pemahaman dalam berbagai hal lainnya. Tauhid, menurut mereka adalah wahdatul wujud, yakni menyatunya seluruh keberadaan dengan Tuhan. Menurut paham isyq, insan kamil pada akhirnya akan menjadi seperti Tuhan dan pada hakikatnya insan kamil yang hakiki adalah Tuhan itu sendiri, karena setiap diri manusia yang telah menjadi insan kamil, akan hilang, lenyap, dan sirna dalam Tuhannya.

Paham Qudrat (kekuasaan)

Paham lain yang juga ikut menyumbangkan pandangannya tentang insan kamil adalah paham qudrat, yang tidak bersandar baik pada akal maupun pada isya, akan tetapi hanya bersandar

p: 105

pada kekuasaan. Insan kamil, menurut paham ini adalah manusia yang berkuasa, dan kesempurnaan terletak pada kekuasaan yang juga berarti kekuatan.

Pada masa Yunani kuno terdapat suatu golongan yang dikenal dengan sebutan kaum "sophis”. Mereka ini dengan lantang mengatakan bahwa ke-berhak-an dan kebenaran adalah kekuatan dan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, di sana ada kebenaran dan sebaliknya, di mana ada kebenaran, di sana pasti ada kekuasaan.

Menurut mereka, kebenaran pada dasarnya adalah kekuasaan itu sendiri, sedangkan kelemahan sama dengan ketidakbenaran dan ketidakberhakan.

Bagi mereka keadilan dan kezaliman sama sekali tidak berarti. Oleh karenanya mereka mengatakan bahwa kebenaran adalah kekuasaan; kekuasaanlah yang melahirkan kebenaran dan setiap kebenaran itu datang dari kekuasaan. Mereka berkeyakinan bahwa manusia harus memusatkan seluruh daya dan upayanya untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan serta tidak boleh membatasi dirinya dengan apa pun untuk meraih kekuasaan tersebut.

Paham ini dua abad yang lalu dihidupkan dan diteruskan kembali oleh salah seorang filosof terkenal dari Jerman yang ber- nama Nietzsche. Menurutnya, kebenaran, kejujuran, kebaikan, dan ihsan adalah omong kosong belaka. Ringkus dan peraslah mereka yang lemah; kelemahan adalah dosa mereka, dan penindasan serta penjajahan merupakan hukuman atas dosa mereka itu.

Nietzsche, sebagai seorang ateis antiagama, berkeyakinan bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang- orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat, dan inilah pengkhianatan serta tipu daya agama terhadap umat

p: 106

manusia. Pandangannya ini bertentangan dengan pandangan Karl Marx yang berpendapat bahwa agama justru diciptakan oleh orang-orang yang berkuasa untuk menjadikan orang-orang lemah sebagai tawanannya. Menurut Nietzsche, nilai-nilai insani seperti kedermawanan, rasa belas kasih, kejujuran, cinta, sifat pemaaf, muruwwah, sifat satria, bijaksana, keadilan, dan sebagainya adalah serangkaian nilai-nilai yang disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang yang berkuasa, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya terhadap mereka.

Semua yang didakwahkan oleh agama, seperti jihad melawan hawa nafsu, persamaan hak antara sesama manusia, kemuliaan kaum wanita, dan lain sebagainya, juga ditentang dan diserang oleh Nietzsche. Ia mempertanyakan, mengapa kita mesti memerangi dan melawan hawa nafsu? Mengapa kita tidak hidup menuruti hawa nafsu dengan memenuhi segala tuntutannya? Apa yang dimaksud dengan persamaan hak antara sesama manusia? Bukankah di dunia ini selalu ada orang-orang yang duduk di atas kepala sekelompok orang yang harus melayani mereka? Demikian juga halnya tentang kemuliaan martabat kaum wanita; laki-laki adalah makhluk dari jenis yang lebih unggul dari wanita, sedang wanita diciptakan hanya untuk berkhidmat dan mengabdi kepada pria, bukan untuk tujuan lain. Persamaan hak antara pria dan wanita adalah absurd, tidak bisa dibenarkan.

Paham ini pada dasarnya mengidentikkan manusia unggul, mulia, tinggi, dan sempurna dengan manusia yang kuat dan berkuasa. Kesempurnaan, menurut paham ini sama dengan kekuatan dan kekuasaan.

p: 107

Apakah Kehidupan itu Berarti Perang yang Terusmenerus?

Pertanyaan semacam ini juga secara tidak sadar telah mewabah di antara kita. Apakah kehidupan ini akan selalu dinodai oleh perang yang tidak akan ada hentinya? Jawabannya adalah tidak. Hidup tidak harus berarti perang yang tiada hentinya.

Memang ada benarnya, jika yang dimaksud dengan perang yang terus-menerus ini adalah berjuang, membela dan melindungi diri untuk bertahan hidup. Bahkan sebagian dari ulama-ulama Islam seperti Farid Wajdi berpendapat bahwa perang di antara umat manusia merupakan suatu keharusan. Selama manusia ada, maka api peperangan akan selalu berkobar di muka bumi ini. Peperangan sudah menjadi hukum yang tidak bakal berubah dalam kehidupan manusia. Mereka yang berpendapat demikian menyandarkan pendapatnya pada ayat 40 Surat Al-Hajj yang berbunyi:

Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa perang adalah hal yang masyru'(dibolehkan oleh syariat). Artinya, kalau Allah SWT tidak mencegah keserakahan sekelompok manusia melalui atau dengan perantara sekelompok yang lain, maka bumi ini akan hancur binasa; kalau Allah tidak mencegah kefasadan sekelompok manusia dengan yang lain, maka tidak akan berdiri di muka bumi ini ma’bad, shauma'ah, kanisah, dan masjid.

p: 108

Namun sayangnya, mereka keliru dalam memahami ayat Al-Quran ini. Ayat ini berbicara tentang pertahanan (diri) yang ditujukan pada orang-orang Kristen. Al-Quran dalam menjawab pendeta Masihi yang mengatakan bahwa perang itu tercela secara mutlak dan perdamaian itu terpuji secara mutlak, menyanggah pernyataan mereka dan menjelaskan:

Perang itu tercela jika dengannya terampas hak orang lain.

Sebaliknya, kalau perang itu merupakan perjuangan untuk mempertahankan hak dan kebenaran, maka perang itu bukan hanya tidak tercela, justru merupakan suatu keharusan dan siapa pun yang melaksanakannya patut dipuji. Wahai tuan pendeta! Tanpa adanya perang defensif, tuan pasti tidak akan dapat tinggal dengan tenang di gereja untuk beribadah. Ketenangan ibadah tuan dalam gereja, bisa terlaksana karena kegigihan para prajurit dan tentara yang dengan beraninya mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan hak dan kebenaran. Dan sudah sepatutnya tuan berterima kasih pada para pejuang itu.

Berdasarkan ini, yang dimaksud bahwa kehidupan berarti perang yang terus-menerus, bukan berarti perang merupakan sesuatu yang lazim atau harus selalu ada dalam kehidupan, karena lilitan benang yang masih bisa diuraikan dengan tangan tidak perlu diuraikan dengan gigi.

Terdapat sebuah riwayat yang dinisbatkan pada Imam Husein as, yang dilihat dari kandungannya hal itu tidak benar, apalagi tidak satu kitab pun menyatakan bahwa kalimat itu datang dari Imam Husein a.s. Kalimat ini popular tidak lebih dari empat puluh atau lima puluh tahun terakhir ini. Diriwayatkan bahwa Imam Husein a.s. bersabda:

p: 109

“Kehidupan adalah berpegangan pada suatu aqidah dan berjuang di jalan aqidah itu.” Tidak. Ini bukan kata-kata Imam Husein a.s. Pernyataan ini sama dengan ide yang diyakini oleh orang-orang Barat, yaitu bahwa manusia harus memiliki suatu ideologi dan berperang di jalan ideologinya.

Al-Quran selalu berbicara tentang kebenaran. Jihad dan hidup menurut Al-Quran adalah mengabdi pada kebenaran dan berjihad di jalan kebenaran. Suatu aqidah atau ideologi, bisa benar dan bisa salah, karena aqidah berarti ikatan dan ribuan ikatan dapat terjadi pada benak manusia, dan itu bertentangan dengan Islam.

Al-Quran semua isinya telah diperhitungkan; Al-Quran selalu menyebut kebenaran dan berjuang di jalan kebenaran. Al- Quran tidak pernah menggunakan kata-kata aqidah dan berjuang di jalan aqidah. Al-Quran mengatakan, “Luruskan dan benarkan dulu aqidahmu, berjihadlah untuk meluruskan aqidahmu, dan setelah engkau berhasil menyingkap kebenaran, berjihadlah di jalan kebenaran itu.” Sesungguhnya, pendapat yang mengatakan bahwa insan kamil sama dengan manusia yang kuat dan berkuasa, berdasar pada teori “peperangan terus-menerus dalam kehidupan”, yang juga merupakan dasar dan sandaran filsafat Darwin. Karena perang selalu ada, maka kita dituntut untuk menjadi lebih kuat dan lebih berkuasa dari orang lain. Darwin berkata, “kehidupan adalah pertarungan abadi, dan hewan-hewan akan selalu bertarung satu sama lain sepanjang hidupnya”.

Kami mengatakan, “mungkin saja hewan-hewan selain manusia bertarung sepanjang hidupnya untuk bertahan hidup.

Namun, kita tidak dapat menyejajarkan atau menyamakan manusia yang berakal dengan hewan-hewan yang tidak berakal.

p: 110

Mengapa? Karena pernyataan itu menafikan pengertian “hidup saling tolong-menolong”. Lantas, ke mana kita akan membuang sifat saling tolong-menolong, bantu-membantu, kasih-mengasihi, kerja sama, gotong-royong, dan lain sebagainya yang selama ini dapat kita saksikan di antara umat manusia? Mereka menjawab, “suasana saling tolong-menolong atau kasih-mengasihi di antara umat manusia adalah kondisi yang dipaksakan oleh perang. Dengan kata lain, peranglah yang berada di belakang suasana saling tolong-menolong itu. Ketika sekelompok manusia berhadapan dengan musuh yang jauh lebih kuat dari mereka, situasi akan memaksa mereka untuk menjalin persatuan dan konspirasi dengan kelompok lain untuk bersama- sama menangkal musuh yang lebih kuat itu. Sesungguhnya, persahabatan yang tampak dalam wujud persatuan dan konspirasi ini, bukan persahabatan yang hakiki, melainkan suatu kebohongan untuk menghadapi musuh yang lebih besar dan lebih kuat. Segera setelah musuh dapat dikalahkan, di antara kelompok-kelompok yang telah bersatu tadi akan terjadi perpecahan kembali, bahkan mungkin antara satu dengan lainnya akan saling berperang untuk memperebutkan keuntungan yang lebih besar dari kemenangan yang telah mereka raih. Jika salah satu kelompok meraih kemenangan, dalam tubuh kelompok yang menang itu juga akan terjadi peperangan lagi. Yang menang dari pertarungan itu juga pun akan berperang satu sama lain dan begitulah seterusnya hingga tinggal hanya dua orang, dua orang itu pun masih akan meneruskan pertarungan.

Demikianlah pendapat paham qudrat tentang kehidupan manusia. Semua bentuk persahabatan, persatuan, kemesraan, kemanusiaan, hubungan saling tolong-menolong, bantu-

p: 111

membantu, dan seterusnya adalah serangkaian situasi dan kondisi yang dipaksakan oleh peperangan. Yang menjadi dasar dan pokok adalah peperangan, sedang persatuan dan persahabatan merupakan pecahan dan cabang darinya.

Paham Kelemahan

Sebagaimana paham akal berlawanan dengan paham isyq, paham kelemahanjugaberlawanandan menolak paham kekuasaan.

Sebagian orang secara ifrath atau berlebihan melecehkan paham kekuasaan dan hanya melihat bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kelemahannya. Menurut golongan ini, manusia sempurna adalah manusia yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Jika seseorang memiliki kekuatan dan kekuasaan, ia akan terdorong untuk berbuat hal-hal yang melampaui batas dan merugikan orang lain demi kepentingan pribadinya.

Sa'di dalam ruba’inya telah membuat kesalahan yang sama.

Ia mengatakan:

Aku adalah semut yang lumat terinjak di bawah kaki Aku bukan lebah yang orang menjerit karena sengatanku Betapa aku tidak mensyukuri nikmat ini Karena aku tidak punya kekuatan untuk menyakiti orang Tidak, Tuan Sa'di! Apakah Anda kira permasalahannya hanya berputar pada persoalan di mana manusia harus menjadi semut atau lebah, sehingga engkau memilih untuk menjadi semut dari pada lebah. Anda tidak perlu jadi semut yang dapat dengan mudah diinjak-injak atau jadi lebah yang kerjanya hanya menyengat.

Seharusnya Sa'di berkata demikian dalam syairnya:

Aku bukanlah seekor semut

p: 112

Yang dapat diinjak dengan mudah Juga bukan lebah Yang orang menjerit karena sengatanku Betapa aku tidak mensyukuri nikmat besar ini Karena aku punya kekuatan, tapi tidak menyakiti orang Kalau seseorang punya kekuatan dan tidak menyakiti orang, sudah sepatutnya ia bersyukur, karena ia telah diberi kekuatan untuk menahan diri. Jika seseorang tidak punya kekuatan sehingga tidak mungkin menyakiti orang lain, maka ia tak ubahnya seperti seekor banteng yang tidak bisa menanduk karena tanduknya telah patah. Kalau engkau punya tanduk dan tidak menanduk, baru engkau akan mendapat nilai dan pujian.

Pada kesempatan lain, Sa'di berkata dalam syairnya:

Aku bertemu dengan seorang abid di gunung Ia merasa cukup akan dunia hanya dengan tinggal di gua Aku bertanya, mengapa engkau tidak pergi ke kota? Datanglah sekali-kali untuk mendapat suasana baru Tidak, di sana banyak wajah cantik jelita nan mempesona Bak lumpur licin yang membuat gajah-gajah jatuh terpeleset olehnya Dalam syair ini, Sa'di memuji seorang abid yang menyibukkan dirinya dengan ibadah pada sebuah gua di gunung. Ia bertanya padanya: Mengapa engkau tidak pergi ke kota untuk mengabdi pada masyarakat dan sesamamu? Abid menjawabnya dengan sebuah alasan: Di kota banyak wanita-wanita yang berwajah cantik. Bila sampai pandanganku jatuh pada salah satu dari mereka, maka aku tidak akan mampu lagi mengendalikan diriku. Karenanya, aku keluar dari kota dan

p: 113

menyendiri di sini. Sa'di diam ketika mendengar jawaban si abid, seakan ia menerima alasannya.

Inikah yang disebut kesempurnaan? Mengapa seseorang mesti menyembunyikan dirinya di suatu tempat terpencil untuk menjangkau kesempurnaan itu? Wahai Tuan Sa'di, Al-Quran telah mendatangkan untukmu “ahsanul qashash”. Ahsanul qashash Al-Quran adalah cerita tentang Nabi Yusuf as, seorang hamba yang sabar dan bertakwa. Al-Quran menganjurkan, jadilah engkau seperti Yusuf! Suasana dan sarana yang memadai telah mendukungnya, bahkan jalan untuk lari telah tertutup untuknya.

Tetapi bagaimanapunjuga, iatetapmenjaga“iffah’nya(kesuciannya) dan berusaha membuka pintu-pintu kebaikan yang telah tertutup.

Yusuf adalah seorang perjaka yang masih muda belia dan ketampanannya melebihi semua pemuda di seluruh jagad. Ia tak perlu mengejar wanita-wanita cantik, karena wanita-wanita cantik justru memburunya. Tiada hari di mana Yusuf a.s. tidak menerima beratus-ratus surat cinta dari dara-dara jelita Mesir. Dan melebihi segalanya, wanita yang paling berpangkat di Mesir pada saat itu, menyatakan seratus persen cintanya pada beliau a.s. Zulaikha telah sedemikian rupa menciptakan suasana dan kondisi untuk menjebak Yusuf a.s. agar ia mau memuaskan nafsu birahinya. Ia hanya memberi Yusuf dua pilihan: Bersedia memuaskan nafsu birahinya atau akan dihukum mati dan ditumpahkan darahnya.

Apa yang dilakukan Yusuf a.s.? Beliau segera mengangkat tangannya ke langit dan berdoa: “Ya Tuhanku! Penjara bagiku lebih baik dari apa yang wanita-wanita itu tawarkan padaku. Ya Allah! Segera kirimlah aku ke penjara, tapi jagalah aku dari jatuh dalam cengkeraman mereka. Aku mampu dan bisa saja menuruti nafsuku, namun itu tidak akan aku lakukan.” Beginilah Al-Quran

p: 114

mengajarkan kepada kita bagaimana mengambil sikap, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Sa’di.

Berdasarkan semua yang telah kita ketengahkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kesempurnaan manusia tidak terletak pada kelemahannya. Sayangnya, pemikiran-pemikiran semacam ini dapat terlihat di celah-celah kesusastraan kita. Seperti apa yang dikatakan oleh Baba Thahir dalam salah satu syairnya:

Mata dan hati berteriak keras menjerit Apa yang disaksikan mata, semuanya dapat diingat oleh hati Kusiapkan belati yang ujungnya terbuat dari baja Kutusukkan pada mata agar hati dapat bebas Syair itu mengatakan: Segala yang kulihat dengan mata, hatiku ingin memilikinya. Maka agar hatiku tenteram, kubuat sebuah belati untuk membutakan mataku! Tetapi nyatanya kau masih bisa mendegar dan hatimu pasti menginginkan apa yang kau dengar juga. Maka kau masih harus menyediakan sebuah belati lagi untuk menusuk telingamu.

Belum cukup sampai di sini, kau masih harus dikebiri supaya benar-benar bebas dari segala godaan. Dengan demikian, kau akan menajdi singa tanpa kepala, taring, cakar dan ekor. Manusia sempurna macam apakah yang telah diciptakan oleh Baba Thahir ini? Sebegitu hebatnyakah ia, sehingga tidak memerlukan tangan, kaki, mata, telinga, dan lain-lain? Metodemenjadi insan kamilseperti diatas, yang menyodorkan pelaksanaan etika-etika yang melemahkan, memang banyak terdapat di celah-celah kesusastraan kita (sastra Parsi). Tetapi kita harus mengerti dan menyadari bahwa manusia dapat saja melakukan kesalahan dan selalu dalam keadaan ifrath atau tafrith (berlebihan atau kurang). Dari sini kita akan mengetahui bahwa

p: 115

sebenarnya Islam tidak dapat terwujud pada diri kita dengan sempurna kecuali dengan bersikap dan berpandangan seperti apa yang diajarkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya saw.

Kalau Socrates hanya memiliki satu segi saja dari sosok insan kamil Islam dan meninggalkan yang lain, hal yang sama terjadi juga pada diri Plato, Abu Ali Sina, Muhyiddin Al-Arabi, Maulawi, Nietzsche, Karl Marx, Jean Paul Sartre, dan seterusnya. Lain halnya dengan sosok Rasulullah saw yang telah membawakan kepada kita suatu ajaran komprehensif dan tidak secara kaku cenderung hanya pada satu segi atau satu nilai saja; suatu ajaran yang menyeluruh dan komprehensif.

Tokoh-tokoh di atas (dibanding Rasulullah saw), bagaikan sekolompok anak kecil yang telah mengemukakan pendapatnya satu-persatu. Pada akhirnya, semua pernyataan mereka masih perlu dibetulkan oleh guru mereka. Inilah sekilas pandangan paham kelemahan. Bagaimanapun, ini hanya sebuah pandangan.

Paham Mahabbah

Paham lain yang juga mengemukakan pandangannya tentang insan kamil adalah paham mahabbah atau paham ma'rifah, dalam arti “maʼrifat al-nafs”.

Sejak ribuan tahun yang lalu telah muncul pemikiran- pemikiran dan renungan-renungan yang amat tinggi dan mendalam. Telah banyak juga buku mengenainya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, seperti kitab “Upanisyad- haa”.

Guru besar Allamah Thabathabai, ketika beberapa tahun yang lalu untuk pertama kalinya membaca kitab “Upanisyad-

p: 116

haa”, menyatakan kekagumannya akan pemikiran-pemikiran dan renungan-renungan yang tinggi di dalamnya.

Dalam paham ini ditegaskan bahwa semua nilai kesempurnaan manusia terdapat pada dirinya sendiri. Paham ini menyatakan: Ketahuilah siapa sebenarnya dirimu. Singkaplah semua rahasia yang masih tersembunyi tentang dirimu, niscaya kau akan mencapai kesempurnaan.

Socrates, salah seorang filosof Yunani, juga mengatakan hal yang sama (tentang pengetahuan diri). Para nabi juga menyatakan hal yang serupa. Rasulullah saw bersabda:

“Siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya." Akan tetapi, paham ini hanya menekankan pada pengetahuan dan pengenalan diri sendiri, tidak lebih dari itu.

Sebuah buku dengan judul “Inilah Pahamku” yang memuat beberapa esai, artikel, dan surat Mahatma Gandhi, yang menurut saya merupakan sebuah buku yang cukup bagus, menyebutkan:

Gandhi berkata: 'Setelah aku mempelajari kitab “Upanisyad- haa”, aku dapat menyimpulkan tiga pokok dasar yang kemudian kujadikan sebagai patokan abadi dalam hidupku.

Pokok dan dasar pertama yang disebutkan Gandhi ialah:

Hanya ada satu hakikat di alam ini, yaitu mengetahui dan mengenal diri sendiri. Berdasarkan inilah Gandhi menghantam dunia Barat. Beliau berkata dengan indahnya:

“Orang Eropa dan Barat, mengenal dunia dengan baik, namun sama sekali tidak mengenal diri mereka sendiri. Sebagai akibat keterasingan dari diri sendiri, mereka telah merusak diri dan dunia sekaligus.

p: 117

Pokok dan dasar kedua ialah, orang yang telah mengetahui dan mengenal dirinya berarti juga telah mengenal dan mengetahui Tuhan dan (makhluk) sesamanya.

Adapun yang ketiga ialah, hanya ada satu kekuatan, satu keadilan, dan satu kebebasan, yaitu kekuatan penguasaan terhadap diri sendiri. Siapa yang telah menguasai dirinya, pasti dapat menguasai hal-hal lain.

Di dunia ini hanya ada satu kebaikan, yaitu mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita harus memperlakukan orang lain sama seperti kita memperlakukan diri kita sendiri.

Dasar filsafat India juga terletak pada pengetahuan diri, penyelaman ke dalam diri dan penyingkapan tabir-tabir yang menutupi hakikat diri. Cinta akan muncul pada diri manusia setelah ia berhasil mengetahui hakikat dirinya.

Menurut paham ini, insan kamil ialah manusia yang telah mengetahui jati dirinya. Jika seseorang telah mengetahui dirinya, maka ia akan dapat menguasainya. Dan jika ia mampu menguasai dirinya, maka ia akan dapat mencintai sesamanya.

Dua Aliran Lain

Pada dua atau tiga abad terakhir ini telah muncul dua aliran yang lebih cenderung pada segi sosial ketimbang individual.

Salah satu dari keduanya menyatakan bahwa insan kamil adalah manusia tanpa kasta. Aliran ini meyakini bahwa jika sekelompok manusia berada pada kasta tertentu, khususnya kasta-kasta tinggi, maka mereka akan selalu menjadi manusia yang tercela.

Bahkan dalam masyarakat yang berkasta, sama sekali tidak akan

p: 118

pernah ditemukan manusia yang baik dan sempurna. Aliran ini pada dasarnya tidak begitu meyakini keberadaan manusia yang sempurna dan ideal, karena aliran ini memang tidak memberi nilai tinggi pada manusia itu sendiri.

Alhasil, menurut paham ini insan kamil adalah manusia yang tak berkasta dan selalu hidup dengan sesamanya pada satu tingkatan yang sama.

Adapun paham yang satu lagi lebih banyak menekankan pada masalah kebebasan dan kesadaran (sosial). Paham yang dikenal dengan nama eksistensialisme ini memang lebih banyak bersandar pada kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab sosial.

Insan kamil ialah manusia yang bebas, sadar, dan bertanggung jawab.

Paham Keterpenuhan

Paham ini memiliki kemiripan dengan paham kekuasaan.

Menurut paham ini, istilah insan kamil yang mengacu pada manusia yang bijaksana, mengenal siapa Tuhannya, mengetahui jati diri dan seterusnya, hanyalah omong kosong belaka. Satu- satunya jalan untuk mencapai kesempurnaan insani ialah dengan berusaha memenuhi semua kebutuhan, keperluan, dan fasilitas hidup. Sejauh mana kemampuan seseorang dapat memanfaatkan pemberian-pemberian alam, maka sejauh itu pula ia akan menyandang kesempurnaan dalam hidup ini. Insan kamil ialah manusia yang terpenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Orang-orang yang meyakini bahwa kesempurnaan manusia terletak pada ilmunya (bukan pada hikmahnya), yakni ilmu dalam artian pengetahuan tentang alam, yang dengannya ia akan dapat

p: 119

menguasai alam untuk diambil manfaatnya, pada hakikatnya hendak menyatakan bahwa nilai ilmu hanyalah merupakan nilai yang bersifat perantara dan bukan nilai yang sesungguhnya menjadi tujuan. Ilmu pengetahuan dianggap bernilai bagi manusia hanya karena dengan perantara ilmu tersebut manusia dapat menaklukkan, menguasai, dan mengambil manfaat dari alam yang terbentang luas ini. Kalau ingin membawa manusia menuju kesempurnaan, maka berusahalah untuk menjadikannya kuasa, kuat dan mampu memanfaatkan alam untuk kebutuhan dan keperluan hidupnya, karena tak ada kesempurnaan selain dari ini. Adapun pujian dan nilai yang selalu diberikan untuk ilmu pengetahuan, sebenarnya bukanlah nilai yang hakiki dan esensial.

Ilmu pengetahuan tidak lebih dari sekadar alat atau perantara.

Ilmu bagaikan tanduk pada seekor lembu atau bagaikan gigi-gigi tajam bagi seekor singa.

Sejauh ini kita telah membahas beberapa pandangan berbagai paham tentang kesempurnaan manusia. Kini kita akan segera membahas tanggapan dan sikap Islam terhadap berbagai pandangan tersebut. Sebagai garis besar, perlu kita ketahui betapa Islam sangat menghargai dan memberikan nilai cukup tinggi kepada (yang mereka sebut dengan) akal, isyq, kekuasaan, masyarakat tanpa kasta, ma'rifatun nafs, tanggung jawab sosial, dan seterusnya.

Sikap dalam Menghadapi Kematian

Salah satu dari tanda-tanda kesempurnaan manusia ialah bagaimana sikap dan sambutan yang dilakukannya di saat menghadapi kematian. Takut akan kematian merupakan titik

p: 120

kelemahan sangat menonjol pada diri manusia yang sekaligus menjadi penyebab dari segala kegelisahan dan kesengsaraan dalam hidupnya. Jika seseorang mampu menghilangkan perasaan takut pada kematian yang akan mendatanginya, maka seluruh pola dan gaya hidupnya telah mengalami graduasi (perubahan) total.

Orang-orang besar ialah orang-orang yang bukan hanya tak takut menghadapi kematian, tapi bahkan dengan senang hati dan senyum penuh kerelaan menerima kematian. Jika maut mendatanginya pada saat ia melaksanakan tanggung jawabnya, baginya itu adalah suatu kebahagiaan dan keberuntungan.

Imam Husein a.s. berkata: “Aku tidak melihat mati dalam berjuang kecuali kebahagiaan dan keberuntungan, dan tidak melihat hidup bersama orang-orang zalim kecuali kejemuan dan kebosanan.” Tak seorang pun mengaku mampu bersikap demikian dalam menghadapi maut, kecuali para auliya Allah. Bagi mereka kematian, tak ubahnya perpindahan dari sebuah rumah ke rumah yang lain, seperti ta'bir (ungkapan) Imam Husein as:

“Kematian tidak lain dari menyeberangi sebuah jembatan dari tepi yang satu menuju ke tepi yang lain.” Pada saat subuh di hari Asyura' Imam Husein a.s. berkata pada semua sahabatnya: “Kematian tidak lain dari sebuah jembatan yang akan membawa kalian dari kesusahan dan kesengsaraan menuju kebahagiaan." Pada menit-menit menjelang syahadah, wajah Abu Abdillah (Imam Husein a.s.) terlihat ceria dan penuh senyum kebahagiaan.

Pada akhir hayat Imam Husein a.s. itulah, ketika peperangan telah selesai dan beliau sudah jatuh terkapar tak sadarkan diri di tempat

p: 121

beliau akan dibunuh, salah seorang dari pasukan Umar bin Saad yang ikut menyaksikan jalannya pembantaian, (dengan tujuan mendapat pahala dan tsawab) pergi menemui Umar bin Sa'ad dan berkata:

“Berilah aku izin untuk membawakan seteguk air buat Husein bin Ali as, yang sudah tidak akan memberi manfaat baginya, karena bagaimana pun dia akan segera meninggalkan dunia ini. Dia meminumnya atau tidak, tidak akan berpengaruh apa-apa bagimu.” Akhirnya, Umar bin Sa'ad mengizinkannya. Tetapi ketika orang ini hendak menghampiri Imam Husein a.s. ia dikejutkan oleh Syimr bin Dzil Jausyan (yang terlaknat sejak azal dan untuk selamanya) sedang berjalan dari arah yang berlawanan sambil membawa kepala suci Imam Husein a.s. Sejenak ia terpaku melihat apa yang dibawa oleh si maľun Syimr. Orang tersebut berkata dengan penuh keheranan: “Keceriaan dan kesegaran yang terlihat dari wajah beliau menjadikan aku lupa dan tak sadar bahwa beliau telah dibunuh.” Memang, ketika leher beliau dipenggal, kepala suci beliau masih dalam keadaan tersenyum, sebagai tanda bahwa dengan syahadah beliau telah meraih suatu keberuntungan dan kebahagiaan abadi.

Insan kamil ialah manusia yang segala macam bentuk dan rupa kejadian tidak mampu mempengaruhinya. Imam Ali a.s.

adalah pribadi yang sepanjang hidupnya telah menapaki berbagai tahapan dan tingkatan sosial, yakni mulai dari titik terendah pekerjaan dari segi ekonomi, seperti menjadi kuli batu (beliau dalam beberapa waktu pernah bekerja sebagai kuli bangunan, tapi ini bukan yang menyebabkan beliau miskin, karena semua

p: 122

miliknya seperti ghanimah-ghanimah perang, selalu beliau infaqkan seluruhnya, sehingga beliau harus mencari nafkah untuk setiap harinya. Beliau tak pernah menyimpan hasil jerih payahnya), sampai kedudukan sosial tertinggi, yakni sebagai khalifah dan pemimpin negara.

Ali al-Wardi mengatakan:

“Ali a.s. telah menumbangkan filsafat Karl Marx, karena beliau sama sekali tidak berubah dalam keyakinan dan sikapnya, baik ketika beliau hidup sebagai rakyat biasa di rumahnya yang terbuat dari tanah maupun di istana (Darul Imarah) sebagai Amirul Mu'minin.” Bagi Ali a.s. derajat, pangkat serta jabatan bukanlah sesuatu yang dapat mengubah keyakinan dan sikap hidupnya. Berdasarkan inilah Ali a.s. dan orang-orang yang mengikuti jejaknya disebut sebagai insan kamil.

Pemakaman Ali a.s. Secara Diam-diam

Di samping memiliki sahabat-sahabat yang sangat dekat dan setia, Ali a.s. juga mempunyai banyak lawan yang sangat gigih dan getol menentang beliau. Orang seperti beliau, di samping memiliki daya tarikyang sangat kuat, juga memiliki daya tolak yang kuat pula. Beliau mempunyai sahabat-sahabat dan simpatisan- simpatisan yang dapat diharapkan dan bersedia mengorbankan semua yang dimilikinya bahkan nyawa sekali pun. Beliau juga mempunyai musuh-musuh yang tidak ada penumpah darah mana pun dapat menandingi kekejamannya, khususnya musuh dalam selimut, dari kalangan kawan yang munafik dan bermuka

p: 123

dua atau dari kalangan muqaddasin khawarij, yakni orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam iman dan keyakinan tapi sangat bodoh dan dungu.

Ali a.s. sendiri mengakui dan menyatakan bahwa mereka (kaum khawarij) adalah orang-orang yang beriman tapi jahil dan kelewat bodoh. Ketika beliau memperbandingkan antara khawarij (mariqin) dengan klik Muawiyah (qasithin), beliau berkata (Nahjul Balaghah, khutbah ke-59):

“Setelahku nanti, jangan sekali-kali kalian membunuh kaum khawarij! Mereka sangat berbeda dengan kelompok Muawiyah. Mereka ini pada dasarnya menginginkan kebenaran, tapi sayangnya mereka terlalu bodoh dan gegabah. Sedangkan kelompok Muawiyah mengetahui kebenaran tapi justru memeranginya.” Mengapa Ali a.s. dikubur di malam hari secara diam-diam? Jawabannya adalah karena kekhawatiran akan adanya tindakan brutal dari kaum khawarij. Sesungguhnya mereka (kaum khawarij) berkeyakinan bahwa Ali a.s. sudah bukan muslim lagi. Jika mereka mengetahui di mana Ali a.s. dikubur, maka mereka akan menggali makam Ali a.s. dan mengeluarkan jasad beliau dari dalam kubur sebagai penghinaan atas beliau a.s.

Sampai akhir masa imamah (kepemimpinan) Imam Shadiq a.s. (sekitar seratus tahun(1) setelah pemakaman Ali as), selain dari para imam alaihimussalam dan sahabat-sahabat dekat beliau, tak seorang pun tahu di mana Ali a.s. dikubur.

Menjelang subuh hari ke dua puluh satu, syahadah Imam Ali as, Imam Hasan a.s. membuat semacam iring-iringan jenazah

p: 124


1- Imam Ali as jatuh syahid pada tahun 40 Hijriah, sedang Imam Ja>far as- Shadiq as syahid pada tahun 148 Hijriah.

palsu ke arah Madinah, supaya masyarakat mengira bahwa Ali a.s.

dimakamkan di sana. Hanya anak-anak Ali a.s. dan sebagian dari pengikut-pengikut dekat beliau saja yang mengetahui di mana sebenarnya beliau dimakamkan, yaitu di suatu tempat dekat Kufah.

Di zaman Imam Ja'far Shadiq as, kaum khawarij telah sirna dan punah. Maka tidak ada alasan lagi untuk merahasiakan makam Ali a.s. Beliau (Imam As-Shadiq a.s.) memerintahkan Shafwan -sahabat yang meriwayatkan doa al-Qamah- untuk membuat semacam atap peneduh di atas makam Ali a.s. sebagai tanda sekaligus pelindung bagi para peziarah dari hujan dan sengatan matahari.

Di antara mereka yang turut mengantar jenazah Maula Amirul Mukminin a.s. adalah salah seorang dari sahabat dekat beliau yang bernama Sha’sha’ah bin Shauhan. Ia dalah seorang khatib dan penyair. Ia juga sering menulis dan membacakan syair- syair pujian untuk Imam Ali a.s. di banyak kesempatan dalam perjalanan dakwahnya.

Segera setelah dikuburnya Amirul Mukminin as, ketika kesedihan, kemarahan dan kegeraman masih meliputi semua sanak keluarga dan sahabat-sahabat dekat beliau as serta kebencian terasa mencekik leher, yang membuat mereka tidak lagi mampu menahan cucuran air mata, tiba-tiba Sha’sha’ah dalam keadaan hatinya yang tertekan mengambil segenggam tanah dari kuburan Ali a.s. lalu ia taburkan tanah itu pada muka dan kepalanya, kemudian ia meletakkan tangannya tepat di dada seraya berkata:

“Alangkah bahagianya engkau hidup dan alangkah bahagianya engkau mati. Kelahiranmu di rumah Allah (Ka'bah)

p: 125

dan syahadahmu pun di rumah Allah (masjid). Belahan jiwaku, Ali! Alangkah besar dan agungnya engkau dan betapa kecil dan rendahnya rakyatmu. Demi Allah! Jika mereka benar-benar menjalankan apa yang kau perintahkan dan mematuhimu dengan sungguh-sungguh, niscaya mereka akan memperoleh makanan dari atas dan bawah kaki mereka (artinya, segala macam nikmat akan memancar laksana sumber dari atas dan bawah untuk mereka). Namun sungguh sayang, mereka tidak mengenal siapa engkau sebenarnya. Mereka sama sekali tidak menghargai keberadaanmu.

Alih-alih menaati dan mematuhimu, mereka menumpahkan begitu banyak darah dari hatimu. Dan akhirnya, mereka mengirim jasadmu ke liang kubur dalam keadaan kepala sucimu menganga oleh pedang kebencian dan kejahilan.”

p: 126

Bagian 6

STUDI KRITIS PAHAM AKAL

Point

p: 127

p: 128

mengenal insan kamil menurut istilah qudama (ulama terdahulu), atau manusia ideal menurut istilah modern, merupakan sesuatu yang harus dan perlu, karena tarbiyah dan akhlaq yang ada pada setiap paham terwujud berdasarkan pandangan paham tersebut tentang masalah ini.

Untuk mengetahui pandangan Islam tentang insan kamil, terlebih dahulu kita akan mengadakan studi kritis terhadap berbagai macam pandangan yang telah kita singgung sebelumnya.

Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah menjelaskan beberapa pandangan secara global. Dalam pembahasan kali ini, kita akan memulainya dengan mempelajari paham aqliyyun.

Ringkasan Paham Aqliyyun

Pada dasarnya filosof-filosof terdahulu berpendapat bahwa jauhar atau esensi manusia adalah akalnya, yaitu sesuatu yang dengannya manusia itu dinilai sebagai manusia. Menurut mereka, sebagaimana anggota tubuh manusia bukan merupakan bagian dari kepribadian manusia, potensi-potensi dan kemampuan- kemampuan ruhani maupun jasmani juga bukan merupakan bagian dari kepribadiannya. Kepribadian manusia yang hakiki tak lain ialah kekuatan berpikir dan nalarnya.

Manusia adalah “siapa yang berpikir” bukan siapa yang melihat (penglihatan hanyalah suatu alat di bawah kendali dan kontrol daya pikir), bukan siapa yang mengkhayal (daya khayal hanyalah merupakan suatu alat di bawah kendali dan kontrol daya pikir), dan bukan siapa yang berkeinginan, berkehendak, mencintai, bernafsu, marah, membenci, dan seterusnya. Esensi manusia adalah kekuatan nalarnya.

p: 129

Jadi, insan kamil atau manusia ideal ialah manusia yang manusia yang kemampuan nalarnya telah mencapai kesempurnaan. Arti kesempurnaan nalar di sini ialah kondisi ketika manusia mampu menyingkap rahasia keberadaan sebagaimana kenyataannya.

Ada yang perlu digarisbawahi dari paham ini, yaitu pendapat bahwa akal adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menguak rahasia alam semesta dan keberadaan sebagaimana kenyataannya.

Akal manusia bagaikan cermin yang mampu memantulkan wajah alam semesta secara benar dan sempurna.

Para filosof Islam yang menerima pandangan ini berkeyakinan bahwa iman islami -iman menurut Al-Quran- ialah mengetahui dan mengenal keberadaan secara universal seperti apa adanya.

Iman berarti mengetahui sumber keberadaan, perjalanan keberadaan, susunan keberadaan, dan titik kembalinya seluruh keberadaan ini.

Mereka mengatakan bahwa apa yang ada di Al-Quran, seperti iman kepada Allah, malaikat Allah (yang merupakan perantara-perantara dan tangga-tangga keberadaan), keberadaan alam sebagai makhluk dan bahwa Allah SWT tidak membiarkan alam begitu saja tanpa kendali dan hidayah-Nya, para nabi yang diutus untuk membimbing umat manusia, atau bahwa semua yang ada ini dari Allah dan akan kembali pada-Nya (ma’ad), tidak lain adalah pengetahuan dan pengenalan keberadaan dan rahasia alam semesta ini.

Para filosof ini dalam tafsir-tafsir mereka selalu menginterpretasikan iman sebagai pengetahuan, ma'rifah, dan hikmah. Mereka menyatakan bahwa iman adalah pengetahuan dan ma'rifah, dalam artian pengetahuan non ilmiah atau

p: 130

saintifik, yakni pengetahuan filosofis yang bersifat universal dan menyeluruh.

Pengetahuan ilmiah hanya bersifat partikular dan tidak menyeluruh, sedangkan filsafat bersifat unversal, artinya berfungsi menyingkap rahasia awal dan akhir keberadaan secara menyeluruh berikut susunan-susunan keberadaan dan perjalanannya dari awal sampai akhir.

Beberapa Paham yang Menentang Paham Akal

Para filosof Muslim ini dihadapkan pada berbagai paham lain yang selalu menyerangnya. Kelompok pertama yang menentang pandangan para filosof di dunia Islam dikenal sebagai kaum Isyraqiyyun, kaum 'Urafa, dan kaum Isyqiyyun yang pada kesempatan mendatang akan kita bahas lebih jauh.

Golongan lain yang menentang para filosof ini adalah kaum Ahlul hadis. Kaum Akhbariyyun dan Ahlul hadis mengingkari nilai akal dengan segala kelebihan dan keutamaan yang diberikan oleh para bijak. Mereka mengatakan kepada para bijak bahwa sesungguhnya nilai akal tidak sebesar apa yang mereka berikan.

Lebih dari itu semua, akhir-akhir ini muncul golongan Hissiyyun (kaum empiris) yang juga menentang paham Aqliyyun.

Dalam tiga atau empat abad terakhir ini pengaruh Hissiyyun bertambah luas dan mempunyai banyak pengikut.

Kaum Hissiyyun menyatakan: “Akal tidak memiliki nilai sebesar yang selama ini diberikan padanya; akal tidak begitu penting, akal tak lebih dari sekadar pelayan indra manusia. Yang merupakan pokok dan esensi dari manusia adalah indra dan hal-

p: 131

hal yang diindranya. Fungsi akal tak lebih dari sekadar pencerapan- pencerapan indrawi. Akal bagaikan pabrik yang mengolah bahan baku menjadi produk yang siap pakai. Tanpa adanya bahan baku, pabrik tidak akan menghasilkan apa-apa.” Namun kaum Hissiyyun tidak (sama sekali) membuang akal dari perhitungan. Hanya saja mereka mendahulukan indra daripada akal. Di sini kita tidak akan membahas pertentangan antara Aqliyyun dan non-Aqliyyun secara detail. Kita hanya akan menyinggung beberapa paham dan kelompok untuk dapat lebih jelas mengetahui pandangan Islam mengenai masalah ini.

Nilai Ma'rifah Aqliyah dalam Islam

Dalam filsafat skolastik terdapat beberapa dasar dan pokok yang menjadi obyek penelitian kita untuk menjawab pertanyaan apakah dasar-dasar tersebut sesuai dengan pandangan Islam atau tidak. Pokok pertama paham akal ialah masalah i’tibar dan ashalah (keabsahan dan kesejatian) pengetahuan akal. Maksudnya akal manusia memiliki potensi untuk menguak rahasia-rahasia alam ini dan hasil pengetahuannya itu pada gilirannya bisa dijadikan sandaran dan pegangan serta sekaligus dapat diperhitungkan.

Sementara itu, banyak paham yang tidak begitu memperhitungkan nilai-nilai pengetahuan aqliyah.

Sekarang, mari kita lihat apakah kita bisa mendapatkan dalil-dalil dari literatur Islam yang menegaskan bahwa kita dapat berpegang dan bersandar pada pengetahuan-pengetahuan aqliyyah. Secara kebetulan kita dapat melihat adanya dukungan yang luar biasa pada penggunaan akal dalam literatur-literatur Islam dan tidak ada satu agama pun yang memberi dukungan

p: 132

serupa pada potensi aqliyyah seperti dukungan yang diberikan oleh Islam.

Bandingkan antara Islam dan Masihi (Kristen!). Masihi sama sekali tidak memberi peluang walau sekecil apa pun kepada akal untuk ikut campur tangan dalam masalah-masalah akidah.

Mereka mengatakan ketika seseorang harus beriman pada suatu keyakinan, ia sama sekal tidak perlu berpikir mengenai apa yang diimaninya itu; pikiran adalah akal, dan akal tidak berhak ikut campur dalam masalah ini. Tugas utama seorang mukmin (orang yang beriman), khususnya seorang pendeta atau rahib ialah mencegah campur tangannya pemikiran, nalar, akal, dan argumentasi dalam dataran akidah dan iman. Sesungguhnya ajaran-ajaran Masihi didasarkan pada keyakinan dan iman tanpa penalaran dan pemikiran, atau dengan kata lain, berdasarkan iman dan keyakinan buta.

Sebaliknya, dalam dasar-dasar agama Islam (aqidah) tidak ada yang berhak campur tangan di dalamnya kecuali akal. Artinya, seandainya mereka bertanya pada kita: Apa salah satu fondasi agamamu? Kita akan menjawab “Tauhid”, adanya satu Tuhan yang Maha Esa. Kalau mereka bertanya lagi: Dengan dalil apa engkau beriman kepada-Nya? Maka, dalam menjawab mereka kali ini kita harus mendatangkan dalil aqli dan argumentasi rasional. Di sini Islam tidak akan menerima dalil dari kita melainkan dalil aqli.

Jika seorang Muslim berkata: Saya yakin dan percaya bahwa Tuhan itu satu dan Esa, dan saya tidak punya dalil khusus untuk keyakinan saya ini, saya meyakini hal ini karena ayah dan kakek saya mengajarkan untuk mengimani dan

p: 133

mempercayainya, maka Islam tidak akan menerima iman orang ini. Islam menolak iman yang didasarkan hanya pada taqlid (ikut-ikutan) kepada orang tua atau karena pengaruh lingkungan. Islam tidak menerima iman seseorang kecuali berdasarkan dalil dan burhan yang diperoleh akal dan nalarnya.

Fondasi “akidah Kristen” ditanamkan pada wilayah di mana tidak ada hak masuk bagi rasio dan nalar, dan merupakan tugas bagi setiap mukmin Masihi untuk menjaga daerah dan kawasan ini dari serangan dan rongrongan rasio serta nalar. Ini bertentangan dengan Islam yang memerintahkan penggunaan akal dan nalar secara khusus dalam wilayah akidah dan melarang apa pun selainnya untuk memasuki wilayah tersebut.

Islam sendiri dalam literatur-literaturnya banyak memuat ungkapan-ungkapan dan pernyataan-pernyataan yang menegaskan kemuliaan dan pentingnya rasio serta nalar. Selain Al-Quran sendiri, banyak riwayat dan hadis yang menekankan pentingnya tadabbur (merenung) dan ta'aqqul (berpikir).

Sedemikian pentingnya masalah ini sehingga jika Anda membuka kitab-kitab hadis, bab pertama yang akan Anda jumpai adalah bab yang khusus berbicara dan membahas tentang akal dan fikr.

Sebagai contoh, kalau Anda membuka kitab “Ushul al-Kafi” -sebuah kitab hadis yang memuat seluruh bab-bab hadis- bab pertama yang akan Anda jumpai adalah bab “Kitab al-Aql”. Dalam “Kitab al-Aql” ini dari awal sampai akhir meriwayatkan hadis- hadis Syi'ah Imamiyah yang memberikan dukunganya secara penuh pada akal.(1)

p: 134


1- Bab al-Aql dari kitab Ushul al-Kafi telah diterjemahkan dan ditelaah oleh Ustadz Husein al-Habsyi dan telah diterbitkan oleh penerbit YAPI dengan judul «Akal dalam Hadis-hadis al-Kafi».

Imam Musa bin Jaʼfar a.s. mempunyai sebuah ta'bir yang luar biasa hebatnya tentang akal. Beliau berkata:

“Allah SWT mempunyai dua hujjah, dua pembimbing.

Pertama, hujjah yang ada pada diri manusia, yaitu akalnya, dan kedua, para nabi yang diutus untuk menunjukkan jalan yang lurus pada umat manusia. Kedua hujjah Allah ini saling menyempurnakan satu dengan yang lain.” Artinya, jika manusia mengerahkan seluruh potensi akalnya tanpa petunjuk para nabi, ia tidak akan mampu menemukan jalan menuju kebahagiaan. Sebaliknya, jika para nabi diutus sedang manusia tidak mempunyai akal, maka manusia tetap tidak akan menemukan jalan menuju kebahagiaan. Akal dan nabi (baca: para utusan Allah SWT), keduanya harus ada untuk menuntun manusia ke jalan yang benar dan lurus. Inilah derajat dan kedudukan akal menurut pandangan Islam.

Beberapa ta’bir seperti di bawah ini mungkin sering kita dengar:

“Tidurnya seorang aqil lebih tinggi nilainya daripada ibadahnya seorang jahil”, “berbukanya orang aqil lebih tinggi nilainya dari puasanya orang jahil”, “diamnya orang aqil lebih tinggi nilainya ketimbang kerja dan geraknya orang yang bodoh”, “Allah SWT tidak mengutus seorang nabi melainkan terlebih dahulu menyempurnakan akalnya, sehingga akalnya lebih sempurna dari akal seluruh umatnya”.

Kita menyebut Rasulullah saw sebagai “al-'aql al-kul” atau dengan ungkapan lain “akal yang menyeluruh”. Hal yang demikian sama sekali tidak seusai dengan keyakinan agama Kristen, karena dalam agama tersebut peran akal dipisahkan jauh-jauh dari agama.

p: 135

Berdasarkan ini, masalah ashalah (keabsahan) akal dalam pengetahuan dan daya argumentasinya yang berarti bahwa akal dapat mengetahui sesuatu dengan benar –yang (juga) merupakan bagian dari pandangan kaum bijak- secara tegas didukung penuh oleh Islam.

Dua Keberatan terhadap Paham Akal

Menurut pandangan para filosof, esensi manusia hanyalah rasio dan akalnya, sedangkan bagian-bagian manusia yang lain hanyalah merupakan alat, perantara, dan pelengkap. Kalau manusia diberi badan, maksudnya adalah sebagai pendukung akalnya; jika ia diberi mata dan telinga, berarti mata dan telinga adalah pelengkap akalnya. Demikian pula halnya dengan kemampuan-kemampuan dan indra-indra yang lain yang terdapat pada diri manusia, semua itu hanyalah sebagai alat-alat dan pelengkap-pelengkap esensi dan inti manusia, yaitu rasio dan nalarnya.

Apakah paham akal memperoleh dukungan dari Islam tentang pandangannya ini? Tidak. Kita tidak akan menemukan dalil-dalil dari teks-teks Islam yang menguatkan pandangan para filosof bahwa esensi manusia hanyalah akalnya, dan menafikan yang lain. Islam justru mendukung dan menerima, bahkan menguatkan pandangan-pandangan lain yang menyatakan bahwa akal hanya merupakan bagian dari wujud manusia secara keseluruhan.

Biasanya, kitab-kitab filsafat kita hanya membatasi iman islami pada maʼrifah (pengetahuan). Mereka mengatakan, iman kepada Allah ialah mengetahui Allah (ma'rifatullah), iman

p: 136

kepada nabi ialah mengetahui nabi, iman kepada malaikat ialah mengetahui malaikat, iman kepada hari akhir ialah mengetahui hari akhir (ma'ad), dan di mana pun ditemukan kata iman dalam Al-Quran mempunyai arti ma'rifah dan pengetahuan.

Pernyataan kaum filosof ini sama sekali tidak sesuai dengan yang dimaksudkan Islam. Menurut Islam, iman ialah suatu hakikat yang lebih tinggi dari sekadar pengetahuan dan ma'rifah.

Ma'rifah memang berarti pengetahuan. Seseorang yang mengetahui suatu fonemena berarti ia mengerti, memahami dan jelas baginya fenomena tersebut. Adakah arti iman dalam Al-Quran hanya terbatas pada pengetahuan, pemahaman dan pengertian? Adakah arti iman kepada Allah hanya sekadar pengetahuan? Tidak. Memang benar bahwa pengetahuan adalah rukun iman, tapi pengetahuan sendiri bukan iman. Iman adalah suatu kecenderungan dan penyerahan. Di dalam iman terdapat juga unsur menyerah, pasrah, tunduk, cinta dan keterikatan, lain halnya dengan pengetahuan, yang tidak mengandung unsur- unsur di atas.

Kalau seseorang memiliki keahlian dan mengetahui masalah- masalah perbintangan, bukan berarti dia mempunyai keyakinan dan kecenderungan khusus pada masalah-masalah perbintangan.

Tidak. Dia hanya sebatas mengerti dan mengetahui.

Jika seseorang memiliki keahlian dan memahami ilmu pertambangan, bukan berarti ia mempunyai kecenderungan dan keyakinan khusus terhadap pertambangan. Bahkan, mungkin saja seseorang mengetahui suatu bidang ilmu namun dia membencinya pada saat yang sama. Boleh jadi dalam masalah- masalah politis, seseorang mengetahui musuhnya lebih dari musuh itu mengetahui dirinya sendiri. Misalnya, tidak mustahil

p: 137

terdapat individu-individu dan orang-orang di Israel yang memiliki keahlian dalam masalah ke-arab-an dan keislaman melebihi orang-orang Arab dan Islam sendiri.

Sudah pasti bahwa di Israel banyak orang-orang yang ahli tentang seluk-beluk negara Syiria atau Aljazair daripada orang- orang Iran. Mungkin di Iran kita tidak memiliki orang yang betul- betul mengerti dan mengetahui tentang negara Mesir, sementara di Israel terdapat beratus-ratus orang yang ahli tentang negara Mesir. Demikian pula di Mesir juga banyak orang yang mengetahui dan ahli tentang Israel. Akan tetapi, apakah pengetahuan orang- orang Israel tentang Mesir memastikan bahwa mereka cenderung dan cinta pada Mesir, atau orang-orang Mesir cenderung dan cinta pada Israel? Justru sebaliknya, mereka satu sama lain saling membenci dan memusuhi.

Ulama Islam mengatakan, dalil yang bisa dikemukakan sebagai bukti bahwa iman bukanlah sekadar ma'rifah, sebagaimana yang diyakini oleh para filosof, ialah sebuah contoh yang diberikan oleh Al-Quran. Al-Quran berbicara tentang suatu makhluk yang pengetahuannya mencapai tingkat yang tak tertandingi. Makhluk ini mengenal Allah, para nabi, hujjah-hujjah Allah, ma'ad (hari kebangkitan), dan para malaikat dengan baik. Namun, makhluk ini kufur dan ingkar. Siapakah makhluk yang dimaksudkan Al- Quran ini? Tidak lain, ia adalah iblis! Adakah iblis benar-benar mengenal dan memahami Allah? Sesungguhnya iblis mengenal Allah lebih dari kita semua (manusia) mengenal-Nya, bahkan selama ribuan tahun ia telah menyembah Allah (sebelum Adam).

Al-Quran juga memerintahkan kita untuk beriman kepada para malaikat. Apakah iblis juga mengetahui para malaikat? Selama ratusan atau bahkan ribuan tahun, iblis berada pada satu

p: 138

barisan dengan para malaikat, bekerja sama dalam melaksanakan perintah-perintah Allah SWT; ia lebih mengenal Jibril daripada kita semua. Bagaimana halnya dengan para nabi? Ya. Iblis pun mengetahui semua nabi. Demikian pula halnya dengan ma'ad, iblis selalu bertanya pada Allah mengenainya. Namun, dengan pengetahuan iblis yang sedemikian rupa, mengapa Al-Quran justru mengecamnya sebagai kafir.

Jika iman adalah seperti yang dikatakan para filosof, yakni hanya berarti ma'rifah, maka iblis seharusnya menjadi makhluk mukmin pertama. Tetapi kenyataannya tidak demikian, iblis tidak diakui sebagai makhluk yang beriman. Sebaliknya, iblis adalah makhluk yang kafir dan ingkar. Mengapa bisa demikian? Ya.

Karena walaupun iblis mengetahui dan mempunyai maʼrifah tapi ia jahid dan mungkir (ingkar). Ia mengetahui dan pada saat yang sama ia mengingkari apa yang diketahuinya; ia tidak menyerah pada hakikat yang diketahuinya dan sama sekali tidak memiliki kecenderungan pada hakikat itu. Ia tidak mempunyai keterikatan dengan hakikat itu dan sama sekali tidak bergerak ke arahnya.

Berdasarkan ini, maka iman bukan hanya sekadar ma'rifah. Jadi tidak benar yang dikatakan oleh kebanyakan filosof kita dalam menafsirkan surat At-Tin, yaitu (illal ladzîna âmanû) berarti hikmah nadhari dan (wa amilusshâlihât) berarti hikmah amali.

Terdapat sesuatu yang lebih tinggi dalam (illal ladzîna âmanû) dari sekadar hikmah nazhari. Hikmah nazhari sendiri hanyalah sebagian darinya, sebagai dasar dan pokoknya. Akan tetapi, iman bukan hanya sekadar hikmah, ilmu, ma'rifah, pemahaman, dan pegetahuan. Terkandung nilai yang lebih tinggi di dalam iman dari sekadar

p: 139

Sampai di sini kita telah membahas tiga masalah berkenaan dengan pandangan paham akal. Pertama, akal adalah hujjah dan dalil. Artinya, perolehan-perolehan akal dapat dijadikan sandaran dan pegangan. Akal juga menghasilkan ma'rifah dan pengetahuan yang benar. Sejauh ini Islam menerima bahkan mendukung pandangan mereka. Kedua, akal sebagai esensi dan substansi manusia. Pandangan ini sama sekali tidak dapat diterima Islam.

Dan yang ketiga, iman adalah ma'rifah dan pemahaman aqli. Ini juga tidak dapat diterima oleh Islam.

“Ashalah" Iman

Hal lain yang perlu kita bahas ialah, apakah iman dan ma'rifah -baik iman itu kita artikan dengan ma'rifah maupun kita artikan ma'rifah sebagai bagian dari iman- mempunyai ashalah atau hanya merupakan muqaddimah atau pendahuluan untuk sesuatu yang lain dan tidak mempunyai ashalah sama sekali? Di sinilah timbul dua pandangan yang saling bertentangan.

Apakah yang dimaksud “iman mempunyai ashalah”? Apakah alasan Islam memerintahkan kita untuk beriman? Adakah dari segi karena iman merupakan dasar i'tiqadi amal manusia, yakni karena manusia di dunia ini harus berusaha, bekerja, serta selalu sibuk beraktivitas, sedang aktivitasnya harus berdasarkan suatu rencana dan ia harus mempunyai tujuan, program, dan cara? Dengan ungkapan lain, apakah karena manusia tidak bisa mengingkari dirinya sebagai maujud yang aktivitasnya bersifat fikri dan tidak mungkin ia mempunyai tujuan-tujuan hidupnya tanpa adanya suatu dasar pemikiran dan i'tiqad tertentu, sehingga berdasarkan ini, ia harus memilih suatu dasar pemikiran dan

p: 140

i’tiqad untuk membangun program kerjanya, persis seperti orang yang hendak membangun sebuah rumah atau gedung? Seseorang yang hendak membangun sebuah gedung, yang menjadi tujuannya ialah gedung tersebut mempunyai empat dinding, satu atap, sekian banyak pintu, sekian banyak jendela, dan seterusnya. Adapun dasar dan fondasinya, yang harus dibuat terlebih dahulu dengan menggali tanah pada kedalaman tertentu, sesungguhnya tidak termasuk dalam tujuannya. Hanya saja agar bangunan itu kokoh dan tidak goyah atau roboh, maka ia harus menanam fondasi terlebih dahulu di dalam tanah.

Sebagai contoh, komunisme memiliki serangkaian dasar pemikiran dan i’tiqad yang bersendi pada materialisme serta kebendaan. Ia juga mempunyai serangkaian dasar-dasar sosial, politik, ekonomi, dan etika yang dari segi struktur pemikiran, sama sekali bukan merupakan tujuannya. Materialisme menurut pandangan mereka, bukan merupakan tujuan dan tidak mempunyai ashalah. Akan tetapi mereka berpikir-dan pikirannya salah- tanpa materialisme, dasar-dasar sosial, politik, ekonomi, dan etika ini tidak dapat dijelaskan dengan cara apa pun. Mereka menerima pemikiran itu hanya untuk menjelaskan dan memberi alasan pada dasar-dasar tersebut.

Akhir-akhir ini ditemukan banyak orang-orang komunis yang berusaha memisahkan materialisme dari komunisme.

Mereka mengatakan, menurut kami materialisme bukan saja tidak mempunyai ashalah, tetapi bahkan sama sekali tidak ada keharusan bagi kami untuk memandang materialisme sebagai dasar pemikiran kami. Kita tetap menghendaki komunisme sekali pun tanpa materialisme. Bukankah sekarang banyak dari pemimpin-pemimpin komunisme yang sedikit demi sedikit

p: 141

mengurangi intensitas penyerangannya terhadap agama dan madzhab? Ini semua terjadi karena mereka tidak meyakini bahwa dasar-dasar pemikiran itu mempunyai ashalah. Bagi mereka dasar- dasar pemikiran itu hanya merupakan sendi i'tiqad dan fondasi pemikiran. Mereka sadar tidak mungkin memiliki suatu ideologi tanpa didasari oleh pandangan dunia (world view) tertentu. Oleh karenanya, mereka harus mengimani pandangan dunia ini untuk dijadikan dasar dan fondasi bagi ideologi mereka. Akan tetapi, pada hakikatnya yang menjadi asas dan tujuan mereka ialah ideologi itu, bukan pandangan dunianya.

Di dalam Islam sendiri bagaimana? Adakah iman dan Islam -iman kepada Allah, iman pada malaikat, iman pada anbiya', dan iman pada ma’ad- diletakkan hanya sebagai dasar i'tiqad dan pemikiran, ideologi yang pada hakikatnya menjadi tujan utama? Ataukah tidak demikian? Apakah dasar-dasar i’tiqad dan pemikiran ini pun merupakan asas fikri-i'tiqadi ideologi Islam, namun nilainya bukan sekadar nilai fondasi dan dasar saja. Dengan ungkapan lain, apakah di dalam Islam iman juga merupakan tujuan dan mempunyai ashalah.

Pada sisi ini kebenaran berada di pihak para filosof yang meyakini bahwa iman mempunyai ashalah. Nilai iman bukanlah sekadar nilai muqaddimati (preface) bagi amal-amal serta aktivitas-aktivitas yang dianjurkan. Jika iman kita cabut dari amal, sama saja dengan merusak sebuah fondasi, demikian pula halnya jika kita membuang amal dari iman.

Al-Quran selalu menyebutkan (alladzîna âmanû wa amilusshâlihât). Kebahagiaan tidak berdiri di atas satu kaki iman atau amal saja, tetapi di atas keduanya, saling melengkapi satu dengan yang lain. Menurut pandangan Islam, iman mempunyai

p: 142

ashalah dan nilai esensial. Pada hakikatnya kesempurnaan manusia di dunia ini, juga di dunia lain, dapat diperoleh dengan iman, karena ruh pada dasarnya berdiri sendiri, memiliki kesempurnaannya sendiri dan kekal setelah kematian. Kalau ruh tidak sampai pada kesempurnaannya, maka ia akan menjadi fasid, naqish (kurang) dan tidak akan mencapai kebahagiaannya.

Dalil-dalil dari Al-Quran dan Nahjul-Balaghah

Lihatlah apa yang dikatakan Al-Quran tentang masalah ini! “Siapa yang di dunia buta, di akhirat pun ia akan buta lagi sesat' (QS. Al-Isra': 72).

Aimmah (para imam suci Ahlul Bait) dan yang lain, dalam tafsir mengatakan bahwa maksud dari ayat ini bukanlah mata yang ada pada kepala atau mata lahiriyah. Karena jika tidak, maka Abu Bashir, salah seorang dari sahabat Imam Ja'far Shadiq a.s.

akan sangat menderita di akhirat! (karena di dunia matanya buta).

Tidak. Yang dimaksud oleh ayat ini ialah:

Siapa yang di dunia, buta mata batinnya akan hakikat dan kebenaran Tuhannya, ayat-ayat Tuhan dan hal-hal yang harus diimaninya, maka ia akan dibangkitkan tetap dalam keadaan buta lagi sesat.

Kalau kita umpamakan seseorang yang di dunia telah mengerjakan semua amal baik yang semestinya dikerjakan oleh seorang manusia, melaksanakan seluruh amar ma'ruf dan nahi mungkar, hidup zuhud di dunia serta mewakafkan umurnya untuk kesejahteraan sesamanya, namun dia tidak punya iman kepada Tuhan, para nabi, hari kebangkitan dan tidak mengerti apa-apa tentang hakikat keberadaan, maka manusia seperti ini buta dan akan dibangkitkan dalam keadaan buta pula.

p: 143

Di dalam Islam, iman bukan hanya sebagai pengantar atau sekadar mukaddimah untuk semua amal, usaha, dan upaya, sehingga salah sekali bila dikatakan, yang penting amal seseorang harus benar dan baik, tidak peduli ia beriman atau tidak.

Fakhr ar-Razai berkata dalam sebuah ruba'i yang indah:

Aku takut pergi menuju alam ruh yang tak terlihat Keluar dari dunia, alam dunia yang tak terlihat Di alam ruh karena pergi dari alam badan Di alam badan alam ruh tak terlihat Aku takut pergi dari dunia ini, Sedang aku belum melihatnya.

Maksud melihat di sini tidak sama dengan melihat pintu, dinding, tanah, gunung, laut, bintang, dan seterusnya oleh mata- kepala lahiriyah. Akan tetapi, maksudnya ialah:

Aku takut pergi meninggalkan alam fisik ini sedang mata hatiku belum terbuka, belum memahami rahasia keberadaan, yang disebut di dalam Islam dengan istilah “iman”. Ia mengatakan bagaimana mungkin aku yang belum melihat alam ruh di alam badan, bisa keluar dari alam badan ini untuk menuju ke sana? Seharusnya, aku sudah melihat gambaran global tentang alam sana untuk dapat mengetahui apa yang mesti kubawa sebagai bekal dan pelita di sana. Ia dalam ruba'i ini mencoba mengartikan ayat tersebut di atas.

Al-Quran pada kesempatan lain menegaskan bahwa pada hari kiamat hamba yang dibangkitkan dalam keadaan buta ini akan menuntut, “Ya Tuhan! Mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta? Bukankah aku di dunia mempunyai mata? Mengapa Engkau butakan aku di sini?” Maka datanglah jawaban untuknya, “Mata yang dulu pernah kau miliki di dunia sama sekali

p: 144

tidak berguna di sini. Di sini diperlukan mata lain. Engkau sendiri yang telah membutakan mata itu di dunia, sehingga buta di sini.

(QS. Thaha, ayat 125-125) Ayat-ayat, bukti-bukti, dan tanda-tanda Kami telah datang dan sampai padamu di dunia. Sedang kamu, yang seharusnya menjadikan tanda-tanda itu sebagai petunjuk untuk melihat, mengenal, dan mengetahui Kami, malah melalaikannya. Maka sebagai akibatnya, di alam hakikat ini kamu dibangkitkan dalam keadaan buta. Di alam ini hanya penglihatan hakiki yang berguna dan bermanfaat, sedang yang lain tidak.

Dalam Surah Al-Muthaffifin Allah SWT berfirman:

“Lepas dan biarkan mereka! Pandangan mereka di hari itu akan terhalang tabir dan tirai dari Tuhan mereka, yang seharusnya mereka singkap (tabir dan hijab kelalaian ini) dari mata mereka sejak mereka masih di dunia.” (QS. Al-Muthaffifin: 15).

Inilah arti iman: Hai sekalian manusia! Kalian datang di dunia supaya mau berusaha melihat dunia sana dari dunia ini dan mendengar dunia sana dari dunia sini.

Imam Ali a.s. dalam Nahjul-Balaghah tentang “ahlullah” berkata:

“Mereka adalah orang-orang yang ketika menyeru dan memohon Tuhan mereka, ketika beristighfar dan tenggelam di dalamnya, dapat merasakan lembutnya angin ampunan Allah dalam dirinya.” (Nahjul-Balaghah khutbah ke-22).

Maksudnya, mereka dapat merasakan, apakah Allah telah mengampuni dosanya atau belum. Ruh mereka dapat merasakan itu.

Beliau a.s. berkata: “Pada setiap zaman terdapat pribadi- pribadi yang dalam diri dan pikirannya berbicara dengan Tuhan,

p: 145

mendengar perkataan dari-Nya, Tuhan berbicara dengan mereka melalui pikiran dan akal mereka.” Maka, jelaslah bahwa dalam Islam ma'rifatullah, ma'rifah malaikat-sebagai perantara-perantara alam wujud- ma'rifah para nabi dan rasul serta auliya Allah, yang dalam bentuk lain juga merupakan perantara sampainya faidh ilahi (anugerah Allah) pada kita, alasan datangnya kita di dunia ini, untuk apa kita datang, dan ke mana kita akan pergi setelah dunia ini, dan ma'rifah tentang kembalinya kita kepada Allah, karena semuanya akan kembali pada-Nya (maʼrifah tentang ma’ad), mempunyai ashalah, sekaligus menjadi dasar dan fondasi fikri-i'tiqadi ideologi Islam.

Iman yang murni seratus persen dapat menjadi dasar pemikiran yang baik dan kokoh untuk sebuah ideologi. Maka dari itu, jangan sampai seseorang mengorbankan amal demi imannya atau sebaliknya, mengorbankan iman demi amalnya. Jangan hanya mengejar yang satu dan mengorbankan yang lain.

Secara menyeluruh “insan kamil impian para filosof” bukanlah insan kamil, namun insan naqish, yaitu manusia yang hanya memiliki sebagian dari kesempurnaan. Ashalah yang mereka yakini untuk kamal aqli (kesempurnaan akal), memang benar, namun mereka melalaikan seluruh aspek kesempurnaan insaniyyah dan hanya menganggap kesempurnaan manusia hanya pada sisi akalnya.

Insan kamil para filosof hanyalah sebuah patung kepandaian yang hanya mengetahui dan mengerti. Ia adalah maujud yang hanya mengetahui mana yang baik dan buruk. Manusia, menurut mereka hanyalah makhluk yang dapat memahami banyak hal dengan baik, tetapi kosong dari syauq (rasa rindu pada Tuhan), kosong dari gerak, tanpa kehangatan dan keindahan, kosong dari

p: 146

semua nilai. Ia tidak lebih dari hanya mengetahui. Manusia ideal macam ini hanya berpengetahuan namun kering dan hampa dari nilai-nilai lain, ia bukanlah insan ideal yang diinginkan Islam.

p: 147

p: 148

Bagian 7

RINCIAN ALIRAN IRFAN

Point

p: 149

p: 150

sekarang kita sampai pada pembahasan yang lebih rinci tentang insan kamil menurut pandangan kaum 'irfân.

Pembahasan insan kamil menurut pandangan tasawuf dan ‘irfân merupakan nilai tambah bagi kita secara khusus.

Konsep insan kamil kaum filosof, seperti yang dijabarkan oleh Aristoteles dan Ibnu Sina, belum tersebar di masyarakat secara merata; masih berbentuk pembahasan-pembahasan yang terselip di antara tumpukan buku-buku filsafat dan tidak pernah keluar atau terbaca, kecuali oleh beberapa gelintir orang yang mendalami bidang filsafat. Lain halnya dengan insan kamil tasawuf dan ‘irfân yang telah sedemikian rupa tersebar luas di masyarakat, baik dalam bentuk nastr maupun syi’r (prosa dan puisi).

Kitab-kitab irfani selalu mencamtumkan pembahasannya lewat bahasa tamtsil dan sya'ir, sehingga sudah barang tentu lebih menguasai pemikiran masyarakat secara umum dan luas. Sebagaimana halnya aliran filsafat, aliran ini mempunyai pandangan-pandangan yang sesuai dengan Islam, namun pada beberapa bagiannya tidak luput dari kritikan Islam. Jelasnya , insan kamil Islam tidak seratus persen sama dan sesuai dengan insan kamil ‘urafa dan kaum Mutasawifah.

Isyq Menurut Pandangan “Urafa

Telah kita ketahui bahwa menurut para filosof esensi manusia adalah akal dan rasionya; selain akal, apa pun itu, hanyalah alat- alat dan perantara-perantara di luar substansi manusia. Keinsanan manusia tak lain dari kekuatan berpikirnya, kekuatan logikanya.

“Urafa tidak melihat dan meyakini akal dan pikiran sebagai nilai

p: 151

keinsanan manusia. Mereka memandang akal hanya sebagai alat dan perantara sekunder yang tidak begitu penting dan mu'tabar.

Nilai keinsanan hakiki manusia menurut mereka ialah qalb (hati). Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan hati di sini, bukan segumpal daging yang terletak di bagian perut sebelah kiri tubuh manusia. Berbeda dengan akal yang merupakan pusat pikiran, tafakkur, dan argumentasi, hati merupakan pusat rasa dan karsa manusia. Akal adalah pusat pikiran dan hati merupakan pusat perasaan dan kemauan.

Para sufi dan ‘urafa meyakini kelebihan nilai ihsas (rasa) dan isyq (cinta) manusia ketimbang nilai tafakkur-nya. Nilai apa pun yang diberikan oleh para filosof dan hukama’untuk akal, para sufi, dan urafa juga memberlakukannya untuk ihsas dan isyg. Perlu kita ketahui bahwa isyq yang dimaksud 'urafa di sini jauh berbeda dengan isyq atau cinta yang menjadi obrolan kita sehari-hari, yang hanya berputar di sekitar masalah seksual.

Isyq ‘urafa mempunyai ciri-ciri; pertama, isyq bergerak dari dalam diri manusia hingga sampai kepada Allah SWT. Kedua, isyq tidak terbatas pada manusia, tetapi mengalir di dalam setiap maujud. Dalam kitab-kitab ‘irfân dan kitab-kitab filsafat yang cenderung ke "irfân -seperti kitab Asfar karya Mullah Shadra- terdapat bab “fi sarayanil isyq fi jami’il maujudat”, yang menjelaskan bahwa mereka meyakini isyq sebagai suatu hakikat yang mengalir dan menembus setiap atom dan molekul pada setiap maujud. Isyq memenuhi udara, batu, air, gunung, pohon, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Setiap entitas adalah isyq, dan selain isyq, hanyalah bayangan yang salah dan keliru. Betapa indah dan agung doa Imam Sajjad as di awal Shahifah Sajjadiah.

p: 152

Setelah memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, beliau berkata:

“Allah menciptakan alam dari ketiadaan (Allah menciptakan semua ini tanpa contoh sebelumnya), kemudian la bangkitkan ciptaan-Nya dengan cinta dan isyq.”

Jalan Menuju Kesempurnaan

Hati menurut 'urafa adalah sentral dan inti bagi isyq ilahi.

Bagaimana seseorang dapat mencapai maqam insan kamil? Para filosof menjawab, dengan pijakan logika, argumentasi, silogisme serta sederet proposisi untuk sampai pada suatu natijah (kongklusi) yang luput dari kesalahan.

Tetapi ‘urafa berkata: Tidak, semua yang dipakai pijakan para filosof sama sekali tidak akan mengantarkan manusia menuju kesempurnaan. Dalam kitab sufi tidak terdapat tulisan dan kata.

Yang ada hanya hati putih suci bak salju. Alih-alih bertindak seperti kaum filosof, mereka berkata: Lakukanlah tazkiyah dan pembersihan diri (nafs). Jika seorang filosof berkata, berpikirlah, merenunglah, belajarlah, pergilah mencari guru, maka seorang sufi berkata, 'lakukanlah tazkiyah dan tahdzibun nafs, jauhkanlah akhlak-akhlak buruk dari dirimu, kurangilah perhatianmu pada selain Allah, tingkatkan perhatianmu pada-Nya dan kuasailah dirimu. Setiap bentuk pikiran kepada selain Allah yang menghantuimu tidak lain dari iblis. Selama ia ada, malaikat yang merupakan cahaya Allah tidak akan menerangi hatimu.

Alhasil, cara yang disodorkan aliran ini untuk mencapai maqam insan kamil ialah ishlah dan tahdzibun nafs, memusatkan perhatian kepada Allah, lebih banyak menyelami diri dan

p: 153

memutus hubungan diri dengan dunia luar. Dengan cara inilah seseorang akan bergerak mendekati maqam insan kamil.

Aliran ini sama sekali tidak memberi nilai barang sedikit pun bagi argumentasi dan logika. Maulawi berkata dalam syairnya:

Kaki para filosof terbuat dari kayu Kaki yang terbuat dari kayu pastilah mudah layu Sampai di mana akhir perjalanan manusia? Menurut para hukama dan filosof, manusia akan menjadi dunia, dunia akal dan pikiran. Akan tercermin dalam akal manusia gambar alam semesta secara universal. Akhir perjalanan seorang bijak adalah kepandaian dan melihat dunia dengan pemahaman, sedangkan akhir perjalanan seorang arif adalah “sampai” atau sebuah pencapaian, bukan sekadar “melihat” atau mengerti. Sampai pada apa? Sampai kepada Allah SWT.

Para sufi berkeyakinan, jika manusia telah berhasil melakukan pembersihan diri dan dengan kendaraan isyq meniti tangga menuju kesempurnaan di bawah bimbingan orang yang lebih sempurna (mursyid=guru tasawuf), titik akhir perjalanannya ialah tersingkapnya tabir dan hijab secara menyeluruh antara dia dengan Tuhannya atau menurut terminologi mereka “sampai kepada Allah” (liqa’ullah). Jika engkau pergi dan sampai di sana, kau akan menjadi semua dan segalanya. Kau akan sampai pada suatu maqam di mana segala sesuatu diperuntukkan bagimu, meski kau tidak mempedulikan semua itu kecuali Dia. Indah sekali ruba'i Abu Said Abul Khair:

Orang yang telah mengenal-Mu Tak tahu apa yang akan ia perbuat untuk dirinya Tak tahu akan ia apakan anak, keluarga dan hidupnya Kau gilakan dia pada-Mu

p: 154

Dan Kau berikan kedua dunia untuknya.

Apa lagi yang berharga dari dua dunia berikut isinya bagi yang tergila-gila pada-Mu? Siapa pun yang mengenal-Mu, kau buat ia tergila-gila pada-Mu. Kemudian Kau berikan padanya dunia, pada saat ia sudah tidak menginginkannya lagi. Selama ia belum mengenal-Mu, ia menginginkan semua yang tidak kau berikan saat itu. Ketika ia telah mengenal-Mu, Kau berikan padanya semua. Namun, pada saat itu dia sudah tidak menginginkannya lagi, karena dia telah menemukan-Mu; dia tidak tertarik lagi baik pada dunia atau pun akhirat. Dia hanya menghendaki-Mu, dan Kau berkedudukan jauh di atas dunia dan akhirat.

Sekarang marilah kita melihat bagaimana pandangan Islam mengenai aliran ini. Adakah insan kamil ‘urafa sesuai dengan standar Islam atau tidak? Sekali lagi perlu kita ingat, insan kamil ‘urafa ialah manusia yang telah sampai kepada Allah. Ketika sudah sampai pada-Nya, maka ia akan menjadi jelmaan sempurna dari semua asma (sebutan) dan sifat-sifat ilahi serta menjadi cermin di mana Zat Allah terjelma padanya. Adakah Islam memberikan perhatian pada tazkiyah? Tidak diragukan lagi masalah itu memang ada; di dalam Al-Quran dinyatakan, setelah tujuh sumpah secara berturut-turut, Allah SWT berfirman:

Beruntunglah mereka yang telah membersihkan dirinya dan celakalah mereka yang merusak dan mengotori nafs, ruh dan batinnya. (QS. Asy-Syams: 9-10).

Ilmu Ifadhi

Apakah menurut Islam tazkiyatun nafs adalah jalan menuju maʼrifah? Al-Quran telah menegaskan: “Beruntunglah siapa yang

p: 155

telah membersihkan diri”. Akan tetapi, apakah tazkiyatun nafs ini adalah satu-satunya jalan menuju ma'rifatullah? Ataukah jalan ma'rifah hanya dengan dalil, silogisme, dan argumentasi saja sebagaimana diyakini oleh hukama dan filosof? Telah diriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah saw, yang diterima baik di kalangan Syiah maupun Sunnah:

“Barang siapa mengikhlaskan dirinya untuk Allah selama 40 hari 40 malam, maka sumber-sumber maʼrifah dan hikmah akan memancar dari dalam dirinya dan akan mengalir melalui lidahnya”.

Artinya, tidak ada yang menguasai dirinya kecuali ridha Allah. Ia berbicara, makan, tidur, dan bangun demi ridha Allah; sedemikian rupa ia mengatur program kerjanya sehari-hari dan membangun jiwanya sehingga ia tidak akan bergerak dan bekerja kecuali untuk mendapatkan ridha Tuhannya. Dengan kata lain, ia berusaha menjadi seperti Ibrahim Khalilullah as selama 40 hari 40 malam, dengan berkata: 'Shalatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku, hanya demi dan untuk Allah?. Jika seseorang berhasil melampaui batas waktu tersebut dalam kondisi stabil, maka sumber-sumber ma'rifah dan hikmah akan memancar dari dalam dirinya lalu akan mengalir melalui lidahnya.

Maka, jelas Islam menerima suatu jenis ilmu yang secara terminologis disebut ilmu ifadhi (ilmu yang terpancar dari dalam diri). Di samping menganjurkan untuk menuntut ilmu aqli, Islam juga menghendaki ilmu ini.

Allah SWT berkata kepada Musa as: Kami mempunyai seorang hamba; pergi dan ambillah pelajaran darinya! Kami telah mengajarkan ilmu padanya. Ia tidak belajar ilmu dari seorang pun. Kami telah pancarkan ilmu dan hikmah dari dalam batinnya.

Hafizh, dalam puisi simboliknya, mengartikan hadis ini:

p: 156

Hai sufi! Arak akan jernih, bening dan nikmat rasanya Jika telah disimpan dalam botol selama empat puluh hari Di tempat lain Rasul saw berkata:

“Jikalau setan-setan tidak berputar, bergasing, dan mengepulkan debu kegelapan di hati anak-anak Adam, maka Bani Adam dengan mata hati mereka akan dapat menyaksikan malakut samawat." Dalam sabda yang lain Rasul saw berkata:

“Jika kalian tidak terlalu banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak perlu -karena lidah ini sering kali merugikan manusia- dan “tamrij” di hatimu, sehingga hatimu menjadi seperti padang rumput di mana semua hewan memperoleh makanan darinya, kalian akan dapat menyaksikan apa yang kusaksikan dan dapat mendengar apa yang kudengar”.

Artinya, seseorang tidak perlu menjadi nabi untuk dapat melihat dan mendengar apa yang bisa dilihat dan didengar oleh nabi. Terkadang manusia selain nabi pun dapat melihat dan mendengar hal-hal demikian, seperti Sayyidah Maryam as.

Ali as masih berumur tidak lebih dari sepuluh tahun ketika menyertai Rasul saw di gua Hira. Di saat wahyu pertama turun pada Rasul saw, Ali as juga mendengar suara-suara ghaib dan malakut yang didengar oleh beliau saw. Ali as sendiri menceritakan kejadian ini dalam Nahjul-Balaghah:

"Aku berkata pada Rasul saw bahwa aku mendengar suara jeritan setan ketika untuk pertama kalinya wahyu turun kepada beliau.” Kemudian Rasul saw berkata: “Hai Ali! Sesungguhnya engkau dapat melihat apa yang dapat kulihat dan dapat mendengar apa yang kudengar, hanya saja engkau bukan seorang nabi."

p: 157

Berdasarkan dalil-dalil di atas, pembersihan diri, ikhlas, menjauhkan diri dari pengaruh hawa nafsu, bukan hanya bisa memutihkan hati manusia, tetapi mempunyai pengaruh yang lebih besar dan tinggi, yakni sebagai penyebab terpancarnya ilmu dan hikmah dari dalam diri manusia.

Naik-Turunnya Ruh

Allamah Majlisi dalam kitab Al-Bihar meriwayatkan sebuah hadis. Sahabat-sahabat Rasul saw, merasakan adanya gejolak pada diri mereka yang menjadikan mereka risau. Mereka berpikir jangan-jangan tanpa disadari kita ini adalah orang-orang munafik.

Mereka datang menemui Rasul saw, ya Rasulullah! Kita merasa takut, jangan-jangan kita ini munafik! Mengapa, tanya Rasul. Mereka menjawab: “Ketika kami duduk di sisimu, sementara engkau memberi kami bimbingan dan nasihat, mengingatkan kami tentang Allah, hari kiamat, dosa-dosa, taubat, dan istighfar, maka iman kami menjadi tebal dan suasana hati kami terasa tenteram. Tetapi, segera setelah kami meninggalkan majlismu dan menjumpai kembali anak-istri, tiba-tiba suasana hati dan iman kami berubah seperti sedia kala. Ya Rasulullah! Bukankah ini yang disebut nifaq? Jangan-jangan ini benar-benar nifaq dan kami semua adalah termasuk orang-orang munafik! Rasul bersabda: “Tidak, ini bukan nifaq.Nifaq adalah bermuka dua. Sedang yang terjadi pada kalian adalah dua keadaan, bukan dua muka. Ruh seorang manusia terkadang naik dan meninggi, terkadang merendah dan turun. Memang benar, jika kalian berada di sisiku, kalian akan merasakan suasana hati yang telah kalian gambarkan.

p: 158

Kemudian beliau melanjutkan, “jika kalian mampu mempertahankan suasana hati seperti ketika berada di sisiku dan mendengarkan wejanganku, niscaya kalian akan didatangi oleh para malaikat dan diajak ber-mushafahah (berjabat tangan) oleh mereka. Kalian akan dapat berjalan di atas air semudah berjalan di atas tanah! Suasana seperti itu, bukanlah suasana yang secara terus-menerus dapat kalian pertahankan. Jika suasana itu sudah menjadi seperti malakah (sesuatu yang melekat pada diri seseorang/sudah menjadi karakter) bagi diri kalian, baru kalian akan dapat sampai ke maqam-maqam yang telah kusebutkan tadi.

Sa'di berkata dalam puisinya:

Seseorang bertanya Pada orang tua yang kehilangan anak lelakinya Hai orang tua yang cemerlang dan pandai (Nabi Ya'qub as) Kau dapat mencium bau pakaiannya dari Mesir Bagaimana mungkin kau tidak mampu menciumnya Ketika masih berada di sumur Kan'an? Yusuf as di Mesir memperkenalkan diri kepada saudara- saudaranya, ia berikan baju miliknya pada mereka seraya berkata, "Bawalah baju ini dan berikan pada ayah kalian”. Mereka belum lagi sampai di rumah, Ya'qub as sudah berkata, “Aku merasakan bau anakku Yusuf.” Seseorang berkata pada beliau dalam bahasa puisi; “Bagaimana kau dapat mencium bau Yusuf dari Mesir, sedangkan kau tak dapat menciumnya sewaktu ia masih berada di sumur Kan’an, yang tak begitu jauh dari rumahmu? Keadaan diri kita tak ubahnya seperti kilat Sebentar terang, sebentar menghilang Pada saat terang, Ya'qub as dapat mencium bau Yusuf walau ia berada di tempat yang jauh (Mesir). Di saat kilatan cahaya

p: 159

diri menghilang, Ya'qub as tak dapat mencium bau Yusuf meski berada sangat dekat dengannya (sumur Kan’an yang tidak begitu jauh dari rumahnya).

Suluk Insan kamil

Sebagai penjelasan tambahan atas pembahasan sebelumnya, saya akan menukil sebagian dari sabda Imam Ali as di Nahjul- Balaghah. Dalam beberapa pertemuan, telah berulang-ulang saya jelaskan bahwa Nahjul-Balaghah merupakan refleksi diri Ali as itu sendiri. Perkataan seseorang mewakili dirinya. Perkataan seseorang adalah suara dan jelmaan ruhnya. Ruh yang hina akan terjelma dalam kata-kata yang hina, sedang ruh yang mulia akan terjelma dalam kata-kata yang mulia pula.

Ruh berdimensi tunggal, akan muncul dalam bentuk perkataan satu dimensi dan ruh multidimensi akan muncul dalam bentuk perkataan multidimensi pula. Karena Ali as adalah sosok pribadi jamiul adhdhad (pribadi yang terkumpul di dalamnya hal- hal yang berlawanan), maka perkataannya juga bersifatkan jamiul adhdhad.

Dalam tutur katanya mengandung kearifan yang merupakan puncak irfan atau kebijakan yang merupakan puncak filsafat.

Terkadang darinya terdengar suara seorang pejuang, pada titik perjuangannya yang melampaui ketinggian kedudukan para pejuang yang lain. Ia juga berbicara tentang etika dan akhlak, yang mampu membungkam para moralis. (Begitulah sosok Ali bin Abi Thalib as yang unggul di semua bidang dan ilmu).

Demikian pula halnya dengan Nahjul-Balaghah. Ia tak ubahnya seperti Ali as, di dalamnya tercakup hal-hal yang

p: 160

berlawanan. Ketika beliau menerangkan tentang seorang salik, beliau berkata: “Ia telah menghidupkan akalnya dan membunuh nafsunya, sehingga taqarrub dan riyadhah yang ia lakukan telah menipiskan badan dan mencairkan (melumerkan) dagingnya.

Ruhnya yang semula kasar dan kaku berubah menjadi halus dan lembut. Pada saat itu secara tiba-tiba akan muncul suatu kilatan dari dalam dirinya yang menerangi jalannya. Ia pergi dari pintu ke pintu yang lain dan dari satu manzil ke manzil yang lain, sampai pada manzil akhir, yaitu manzil kebahagiaan sekaligus meupakan akhir dari perjalanannya.” Adakah insan kamil Islam adalah insan salik? Yakni manusia yang telah melalui tahapan demi tahapan, langkah demi langkah dalam pembersihan dan penyucian diri? Apakah ia manusia yang telah melakukan perjalanan sair- suluk dari manzil ke manzil? Benar. Ali as berkata, “Ia adalah orang yang pergi dari pintu ke pintu, hingga sampai pada Babussalamah (pintu keselamatan dan kebahagiaan).” (Nahjul Balaghah, khutbah ke-218) Ketika seseorang sampai di sana, tidak ada lagi hijab antara dia dengan Tuhannya. Dia dapat melihat Allah dengan mata hatinya. Ia tidak lagi seperti kita, yang masih perlu berargumentasi dengan langit, bumi, pepohonan, dedaunan, dan seterusnya untuk membuktikan Tuhan sebagai pencipta keberadaan ini.

Tuhan baginya lebih jelas dan lebih terang dari langit, bumi, dan seluruh isinya. Bukankah Imam Husein as telah berkata:

“Adakah maujud yang lebih jelas dan lebih terang dari-Mu?" Seseorang bertanya kepada Imam Ali as, “Pernahkah engkau melihat Tuhanmu?” Beliau menjawab; “Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak dapat kulihat!” Kemudian, beliau menjelaskan kepada si penanya agar tidak mengira bahwa beliau

p: 161

dapat melihat Tuhan dengan mata lahiriyah, seraya berkata: “Aku tidak melihat-Nya dengan mata kepalaku, melainkan dengan mata hatiku. Aku melihat-Nya secara syuhudi (kesaksian yang benar) dengan hakikat-hakikat keimanan (haqa'iqul iman).” (Nahjul Balaghah, khutbah ke-177).

Beberapa Kritikan Terhadap Aliran ‘Irfân

1. Menghina Akal Di dalam aliran irfani terdapat suatu bentuk penghinaan yang tidak dapat diterima oleh Islam dan sekaligus membuat insan kamil ‘irfân adalah manusia separuh sempurna.

Di dalam ‘irfân, seringkali dijumpai penghinaan terhadap ilmu dan akal. Sedangkan Islam, meskipun sangat menghargai dan menerima nilai hati, tidak pernah menghina atau merendahkan akal. Islam memang menerima hati, isyq, dan sair-suluk, namun ia tidak pernah, walau sekali saja, melecehkan akal, rasio, argumentasi dan logika. Islam menempatkan akal, rasio, argumentasi, dan logika pada suatu tempat yang mulia dan terhormat.

Pada abad-abad terakhir Islam, muncul suatu golongan yang menghargai kedua nilai akal dan hati, seperti Syaikh al-Isyraq Syihabuddin Suhrawandi dan Shadrul Muta’allihin Syirazi (Mulla Shadra), keduanya menjunjung tinggi nilai hati dan akal di bawah bimbingan Al-Quran. Tidak seperti Abu Ali Sina yang menghina hati, atau pun seperit sebagian 'urafa dan mutasawwifah (sufi) yang menghina akal, mereka menghormati keduanya.

Insan kamil Islam ialah manusia yang tidak hanya mencapai kesempurnaan akal, tetapi juga mencapai kesempurnaan hati.

p: 162

Islam tidak dapat menerima penghinaan sebagian ‘urafa terhadap nilai akal.

2. Kecenderungan Menyelami Diri Secara Mutlak Ada hal lain di dalam ‘irfân yang juga tidak dapat diterima oleh Islam, yakni pemusatan yang berlebihan pada diri secara pribadi, sehingga apa yang berada di luar diri terkesampingkan dan terlupakan. Islam menentang penitikberatan sisi individual sedemikian rupa sehingga sisi sosial menjadi kian kabur dan akhirnya terhapuskan.

Insan kamil ‘irfân bukan manusia sosial, melainkan manusia yang hanya terikat oleh dirinya sendiri. Tetapi konsep insan kamil Islam, di samping mendukung dan menerima semua yang berkenaan dengan hati, isyq, sair-suluk, ilmu ifadhi-ma'nawi dan tahdzib nafs, insan kamilnya adalah manusia yang jami’ (merangkap dan memuat seluruh nilai-nilai kesempurnaan), tidak hanya cenderung pada diri sendiri, tetapi mampu berinteraksi dengan dan di dalam masyarakat. Konsep insan kamil Islam adalah konsep manusia jami' (rangkap). Di malam hari ia menyelami dirinya dan melupakan dunia seisinya, dan pada siang hari ia mendekatkan hingga ke jantung masyarakat. Sebagaimana yang telah kita sebutkan tentang ashhab (para sahabat) Imam Mahdi as, mereka adalah contoh dan model insan kamil Islam. Mereka seperti pendeta atau rahib di malam hari dan seperti singa di siang hari.

Al-Quran sendiri menggabungkan dua nilai ini:

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat (mencari ilmu pengetahuan atau berjihad), yang ruku', yang sujud..."

p: 163

Ini adalah sisi yang bersifat internal. Kemudian dilanjutkan dengan:

"...yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar.” (QS. At-Taubah, ayat 112).

Inilah yang merupakan gerak eksternal dan sosial, yakni mereka adalah para pengabdi dan pembangun masyarakatnya.

Di tempat lain Al-Quran menyatakan (kali ini segi sosialnya yang disebut di awal):

“Mereka yang bersama Muhammad, dengan kuat dan gigihnya, bak tembok besi, menghadapi mereka yang mengingkari kebenaran (kuffar) dan sangat halus dan ramah, bila menghadapi ahli iman, saudara-saudara seimannya.” Kemudian dilanjutkan dengan:

“..mereka yang sedemikian rupa bergelut dengan lawan dan kawannya. Di malam hari, kalian akan melihat mereka dalam keadaan rukuk dan sujud, memohon fadhl (keutamaan) dan ridha dari Tuhan; mereka bukan orang-orang yang menginginkan untuk diri mereka dunia dan akhirat, bagi mereka ridha Allah lebih tinggi dan lebih besar dari segala-galanya. Terlihat di wajah- wajah mereka tanda-tanda bekas ibadah dan sujud.” (QS. Al-Fath:

29).

3. Pembunuhan Nafs (Diri) Masalah lain dalam aliran irfan yang tidak dapat diterima oleh Islam ialah masalah “imatatunnafs”, yang berarti membunuh, menindas, mengekang, meniadakan, melenyapkan, dan memasung diri. Terkadang, di dalam ‘irfân masalah ini begitu berlebihan, sehingga bertentangan dengan yang kita kenal dalam Islam dengan istilah “karamatunnafs” yang berarti kemuliaan

p: 164

diri. Islam menganjurkan kita untuk memuliakan diri dengan memenuhi segala kebutuhan, baik jasmani maupun rohani, melalui jalan-jalan syar'i (sesuai dengan tuntunan syariat), bukan malah mematikan dan mengekang keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan serta kebutuhan-kebutuhannya.

Inilah beberapa kritikan bagi aliran ‘irfân. Pada pembahasan berikut akan kami tambahkan beberapa penjelasan mengenainya.

p: 165

p: 166

Bagian 8

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN IRFANT

Point

p: 167

p: 168

telah kita ketahui bahwa manusia adalah maujud yang dapat terpisah dari keinsanannya, berbeda dengan maujud-maujud lain yang bagaimana pun tidak dapat terpisah dan lepas dari “siapa” dirinya yang sesungguhnya. Kita tidak dapat memisahkan sifat kebatuan dari sebongkah batu, kekucingan dari seekor kuncing, keharimauan dari seekor harimau.

Setiap maujud, selain manusia, tidak akan terpisah dari esensi dan kesejatian dirinya masing-masing. Manusialah yang harus bersusah payah mewujudkan keinsanan pada dirinya. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan keinsanan di sini, bukan dari segi biologis, namun yang oleh qudama' (para pendahulu) diistilahkan dengan “insaniyyah” atau “adamiyyah”.

Badan anak Adam menjadi mulia Jika membawa ruh adamiyyah Badan dan tubuh yang indah Bukan tanda adamiyyah Setiap manusia yang baru lahir boleh jadi disebut sebagai manusia dari segi fisik dan biologis. Tetapi sesungguhnya dia belum menjadi manusia seutuhnya. Untuk menjadi manusia yang utuh seseorang harus berusaha keras, melewati berbagai macam rintangan dan menyingkirkan kotoran-kotoran dari cermin fitrahnya, sehingga ia dapat melihat siapa dirinya sebenarnya.

Ketika manusia lahir ke dunia, semua sifat yang dimilikinya masih berupa potensi-potensi yang masih harus dipupuk dan dikembangkan. Demikian pula halnya dengan keinsanan, pada saat itu masih berupa potensi yang ada pada dirinya. Apa yang dimaksud dengan keinsanan di sini? Keinsanan tidak dapat dijelaskan oleh ahli biologi atau dokter. Namun, tidak satu

p: 169

pun paham materialisme (yang paling materialis sekali pun) mengingkari keinsanan ini walaupun tidak dapat mereka ukur dengan neraca materialisme.

Keinsanan adalah suatu pintu yang dapat membawa manusia menuju alam ruh, menjadikan manusia mengerti bahwa di balik hal-hal yang bersifat bendawi terdapat juga hal-hal lain yang tidak dapat dijangkau oleh indra lahirnya. Yakni hal-hal yang tidak dapat dipelajari dan diteliti di dalam laboratorium yang paling canggih sekalipun, suatu wilayah di luar ilmu hayat, kimia dan biologi, namun semua orang menerima dan meyakini keberadaanya.

Paham-paham materialisme dunia yang paling materialis pun meyakini hal-hal ini, dan mereka menyebutnya dengan “nilai-nilai insani” atau nilai-nilai non materi yang terdapat pada diri manusia.

Sekarang kita membahas nilai-nilai murni insani dari sudut pandang Islam. Apakah yang diterima Islam sebagai nilai-nilai murni insani? Sebelum kita memaparkan pandangan dari aliran- aliran non-Islam tentang masalah ini dan menyanggahnya satu demi satu, maka kita tidak akan dapat mengetahui dengan baik dan sempurna pandangan Islam yang benar mengenainya.

Sanggahan yang kita maksud adalah sanggahan dalam arti yang sebenarnya, yang tidak hanya akan berakhir dengan penolakan dan penyangkalan sama sekali. Kita akan melakukan sanggahan seperti seorang pendulang emas yang dengan teliti memisahkan emas dari pasir dan batu. Sanggahan dan kritikan, tidak harus selalu berarti penolakan. Kita akan menjadikan Islam sebagai pendulang yang akan memisah-misahkan emas-emas dari campuran pasir yang terdapat dalam sungai-sungai aliran irfan, filsafat, dan sebagainya. Tanpa pemaparan dan penyanggahan ini kita tidak akan tahu perbedaan dan pertentangan antara

p: 170

pandangan Islam dengan pandangan aliran-aliran non-Islam.

Memaparkan dan menyanggah aliran-aliran non-Islam dengan cara seperti ini, akan menjadikan kita dapat mempertahankan ideologi Islam secara logis dan argumentatif.

Penghinaan atas Akal oleh Sebagian ‘Urafa

Insan kamil menurut aliran ‘irfân, bahkan irfan Islami sekali pun -yang jauh berbeda dengan ‘irfân--irfân non-Islami dan sangat mendekati insan kamil Islam- tidak luput dari sanggahan dan kritikan. Tidak satu pun aliran, baik yang qadim (klasik) maupun yang jadid (kontemporer) dapat menandingi kekayaan khazanah ‘irfân tentang insan kamil.

Tidak diragukan lagi bahwa ‘urafa memandang derajat isyq lebih tinggi ketimbang derajat akal. Bahkan terkadang mereka terlalu berlebihan dalam merendahkan akal, sehingga menjurus sebagai suatu penghinaan. Begitu berlebihannya mereka dalam melecehkan peran akal, logika dan argumentasi, bahkan sampai- sampai mereka menyebutnya sebagai “hijab akbar”. Mereka akan sangat heran, jika melihat seorang hakim dan filosof dapat mencapai maqam yang tinggi.

Konon, Abu Ali Sina, filosof dan seorang aqli-massya'i (rasionalis konservatif), hidup sezaman dengan seorang sufi besar bernama Abu Said Abul Khair.

Abu Ali tinggal di Bukhara, yang juga tempat kelahirannya.

Untuk menghindari panggilan Sultan Mahmud ke istana, Abu Ali terpaksa melarikan diri dari tempat kelahirannya itu menuju Naisyabur. Di Naisyabur inilah beliau bertemu dengan Abu Said Abul Khair. Diriwayatkan, dua orang besar ini pernah mengadakan dialog yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Selama itu

p: 171

mereka tidak keluar dari rumah tempat mereka berdialog, kecuali untuk melakukan shalat jamaah di masjid. Setelah selesai berdialog, para filosof bertanya pada Abu Ali, “Apa pendapatmu tentang Abu Said?” Abu Ali menjawab, “Ia dapat melihat apa yang kita ketahui.” Di lain pihak, para ‘urafa bertanya pada Abul Khair: “Apa pendapatmu tentang Abu Ali sina?” Beliau menjawab: “Ke mana pun ketika pergi, orang buta ini mengikuti kita dengan tongkatnya.” Kaumʻurafa memang terlalu berlebihan dalam merendahkan dan menghina akal serta kaum filosof, sampai-sampai jika kita letakkan logika (mantiq) Al-Quran pada satu sisi dan logika irfan pada sisi lain dalam masalah akal, akan jelas terlihat pertentangan antara keduanya. Al-Quran sangat menghormati dan menghargai bahkan menjadikan akal, tafakkur, dan argumentasi rasional sebagai pegangan dan sandaran, sedang kaumʻurafa merendahkan, menghina, dan melecehkannya.

Semua ‘urafa, baik Syiah maupun Sunni (yang muta’asshib sekali pun), menyatakan bahwa ujung dari silsilah tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib as. Mereka mengatakan, dari enam puluh sampai tujuh puluh silsilah yang ada, semua menisbatkan silsilahnya pada Ali as. Hanya satu dari sekian banyak silsilah yang menisbatkan dirinya pada Abu Bakar. ImamAli as yang dijuluki oleh ‘urafa sebagai “Quthbul Arifin” (sumber dan pusat kearifan), merupakan sosok agung yang mempunyai otak irfan.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abil Hadid dalam syarahnya atas Nahjul-Balaghah, beliau as meringkas semua kata- kata 'urafa yang tertulis dalam kitab-kitab mereka hanya dalam empat baris kalimat.

Alias, yang dianggap sebagai penghulu irfan oleh semua‘urafa ini, di dalam Nahjul Balaghah, berbicara dengan bahasa filosofis

p: 172

dan argumentasi rasional, yang tidak akan tertandingi oleh filosof besar manapun. Yang pasti Ali as tak pernah merendahkan akal.

Berdasarkan ini, jelaslah perbedaan antara insan kamil Islam yang meletakkan akal pada kedudukan yang sangat terhormat dan insan kamil ‘irfân yang merendahkan dan menghina akal.

Memalingkan Diri dari Alam

Logika ‘irfân mengatakan:

“Mintalah segala sesuatu dari dirimu, dari hatimu”.

Maksudnya, ‘irfân adalah suatu aliran yang menitikberatkan pada kecenderungan internal manusia. Dalam aliran ini, hati diyakini sebagai dunia dan alam yang lebih besar dibanding seluruh alam semesta. Mereka menyebut alam semesta sebagai "insan saghir“ dan hati sebagai “insan kabir” atau dalam istilah lain, alam semesta sebagai “alam saghir” dan hati manusia sebagai “alam kabir”. Maulawi berkata dalam puisinya:

Apa yang terdapat di dalam kolam Yang tak dapat ditemukan di sungai? Apa yang terdapat dalam rumah Yang tidak dapat ditemukan di kota? Dunia ini hanyalah sebuah kolam Sedang hati adalah sumber air Dunia ini hanyalah sebuah rumah Sedang hati adalah kota yang menakjubkan Dasar ‘irfân adalah pemusatan total pada diri, hati, batin, dan memalingkan diri dari dunia luar, bahkan mereka menafikan kemampuan untuk meyakini keberadaan Tuhan melalui bukti- bukti yang ada di dunia luar.

p: 173

Sebuah Perumpamaan dari Maulawi

Maulawi, dalam Bab Keenam “Matsnawi”, mengisahkan sebuah cerita yang merupakan tamsil belaka:

Alkisah, ada seorang laki-laki yang kerjanya sehari-hari hanya meminta dan memohon kepada Allah supaya pada suatu hari ia menemukan harta karun yang tersimpan di bawah tanah.

Penganggur dan pemalas ini dalam hatinya menginginkan supaya kakinya suatu saat terperosok ke dalam lubang harta karun, kemudian ia dapat hidup tenang seumur hidup dengan harta temuannya itu.

Dalam doanya ia selalu berkata: “Ya Allah! Sekian banyak manusia datang di dunia ini dan menyimpan harta kekayaan mereka dalam perut bumi-Mu. Kini semua pemiliknya telah pergi meninggalkah dunia ini, sedang harta-harta itu tersimpan sia-sia di bawah tanah. Ya Allah! Tunjukkanlah satu saja tempat harta karun padaku dari sekian banyak harta karun yang ada.

Selama berbulan-bulan, dari malam sampai subuh, kerjanya hanya menangis, memohon, dan meminta agardoanya dikabulkan.

Hingga pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan seorang hatif (sebutan bagi orang tak dikenal yang biasa ditemui dalam mimpi). Si hatif berkata padanya: “Apa yang kau mohon dari Tuhanmu?” Ia menjawab: “Aku menginginkan harta karun.” Hatif berkata: “Aku diperintah Allah untuk menunjukkan tempat harta karun itu padamu. Aku akan segera menunjukkan tanda-tanda di mana letak harta karunyang kau minta dan inginkan selama ini.” Si Hatif kemudian menyuruhnya untuk pergi menuju suatubukittertentudenganmembawaanakpanahberikutbusurnya.

Hatif berkata: “Berdirilah pada tempat yang telah kuberikan

p: 174

tanda-tandanya. Selanjutnya, di mana anak panahmu terjatuh, di situlah tempat harta karun yang kau idam-idamkan selama ini." Setelah terbangun dari tidur, ia merasa sangat gembira dengan mimpinya yang begitu jelas. Dia berpikir jika tanda-tanda yang diberikan hatif padaku itu memang benar-benar ada, maka sudah dapat dipastikan aku akan mendapatkan harta itu. Ia pun menyiapkan semua peralatan dan pergi menuju bukit yang telah ditentukan, serta dengan teliti memperhatikan tanda-tanda yang diberikan hatif padanya.

Ia menemukan semua tanda-tanda itu dan berdiri tegak pada sebidang tanah sesuai dengan apa yang dikatakan dalam mimpinya. Ia mulai memasang anak panah pada busur dan bersiap-siap untuk melepaskannya. Namun, ia menjadi bingung karena si hatif hanya memerintahkan untuk memanah tanpa menunjuk ke arah mana ia seharusnya memanah. Ia mulai panik dan mulai berpikir untuk menggali seluruh tanah di sekitarnya.

Tiba-tiba ia berfirasat untuk mengarahkan anak panahnya ke arah kiblat, arah yang dianggapnya suci. Ia berkata: “Sebaiknya pertama-tama aku mengarahkan anak panah ke arah kiblat, insya Allah di situlah tempat harta karun itu. Tanpa banyak pikir lagi, dengan sekuat tenaga ia lepaskan anak panah itu dari busurnya ke arah kiblat. Anak panah itu jatuh di suatu tempat. Sambil membawa sekop dan cangkul, ia menggali dan menggali. Tetapi ia tidak menemukan apa-apa di sana. Ia menggali lebih dalam lagi, tapi tidak juga menemukan apa-apa.

Ia berkata: “Mungkin arah yang saya pilih salah. Aku harus mencoba arah lain. Maka, ia mencoba semua arah, tapi tak kunjung ia temukan harta yang ia idam-idamkan itu. Kerjanya siang dan malam hanyalah membuat lobang-lobang di segala

p: 175

penjuru arah sampai terbentuk sebuah parit melingkar. Akhirnya, ia merasa putus asa dan pulang dalam keadaan sangat kesal. Ia pergi ke masjid dan kembali merengek, menangis, memohon, dan meminta kepada Allah.

Dalam doanya ia mengeluh: “Ya Allah! Petunjuk macam apakah yang telah Kau berikan padaku? Siang dan malam aku membanting tulang, menekuk punggung, dan mengayun tangan tanpa hasil apa-apa.” Berhari-hari ia menangis dan mengeluh kepada Tuhannya.

Pada suatu malam, untuk kedua kalinya si hatif datang di dalam mimpinya. Tanpa banyak cakap, langsung ia tarik leher si hatif sambil berkata: “Petunjuk apa yang telah kau berikan padaku? Semua pemberitahuanmu itu ternyata salah!” Hatif berkata: “Apa yang telah kau lakukan?” “Aku pergi ke tempat yang kau berikan tanda-tandanya padaku. Aku berdiri tegak pada suatu titik yang kau sebut dan dengan sekuat tenaga kulepaskan anak panah dari busurnya ke segala arah” demikian ia menjawab.

Hatif berkata: “Kau salah dalam memahami petunjukku. Aku tidak memerintahmu untuk merentangkan busur dan melepas anak panah sekuat tenagamu. Aku hanya memerintahkan untuk meletakkan anak panah pada busurnya, dan di mana pun anak panah itu jatuh, maka di situlah tempat harta karun itu tersimpan.” Keesokan harinya, ia segera kembali ke tempat tersebut dengan peralatan lengkap, ia letakkan anak panah pada busurnya kemudain ia lepaskan begitu saja. Anak panah jatuh tepat pada kakinya sendiri. Tidak lama menggali, ia sudah dapat melihat harta karun yang selama ini diharapkan. Maulawi berkata dalam syairnya:

Tuhanmu lebih dekat dari "hablul warid” (urat leher)

p: 176

Tetapi kau terlalu jauh melepas panah akalmu Hai kau yang membawa panah dan busur Harta karun ada di dekatmu Mengapa kau lepas jauh dari busurmu Seorang pembaca kitab Maulawi ini berkata: “Setelah aku membaca kisah ini, aku masih belum mengerti apa sebenarnya pesan yang hendak disampaikan oleh Maulawi.“ Akhirnya, ia pergi pada seorang alim yang menguasai benar diwan sya'ir Matsnawi Maulawi dan menanyakan padanya apa yang belum dimengerti.

Si alim dalam jawabannya berkata:

“Sesungguhnya Maulawi dalam kisahnya ini hendak menerangkan ayat yang berbunyi “wafianfusikum afala tubshirun”; harta karun yang sesungguhnya terdapat di dalam dirimu sendiri.” Kaum ‘urafa tidak pernah menghargai dan mempedulikan alam di luar manusia walau sedikit pun. Mereka menisbatkan sebuah syair kepada Amirul Mukminin Ali as yang artinya sebagai berikut:

Obat yang kau cari ada pada dirimu Tapi kau tak melihatnya Dan penyakitmu datang darimu Tapi kau tak menyadarinya Engkau adalah “kitab nyata” Yang dengan huruf-hurufnya Akan nampak terang apa yang tersembunyi Adakah kau mengira Bahwa dirimu hanyalah tubuh kecil Padahal terkandung pada dirimu Alam yang lebih besar.

Sekarang, jika kita bandingkan logika ini dengan logika Al- Quran, walaupun terdapat banyak hal positif di dalamnya, namun

p: 177

kita akan melihat ada kepincangan. Al-Quran tetap menghargai alam di luar manusia. Bahkan, ayat-ayat afaq dan anfus selalu berdiri berdampingan, satu melengkapi yang lain, seperti firman Allah:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat: 53).

Memang benar, dari sekian banyak ma'rifah untuk manusia, diri manusia itu sendiri merupakan ma'rifah yang paing tinggi dan mulia. Namun, bukan berarti alam di luar manusia tidak patut diperhitungkan, yang berarti tidak dianggap sebagai ayat Tuhan atau cermin Tuhan. Tidak, hati adalah salah satu dari cermin- cermin Allah, sedang alam adalah cermin lain dari-Nya.

Hubungan Manusia dengan Alam

Di sini terdapat sebuah pertanyaan yang harus dijawab.

Bagaimana bentuk hubungan manusia dengan alam? Adakah hubungan antara manusia dan alam merupakan hubungan antara dua maujud yang asing satu dengan lainnya? Ataukah lebih dari pada itu, yaitu hubungan antara penjara dengan orang yang dipenjara dan hubungan antara burung dan sangkarnya? Ataukah seperti hubungan Yusuf dengan sumur Kan’an? Boleh jadi seseorang berkeyakinan bahwa hubungan manusia dengan alam tak ubahnya seperti seekor burung dalam sangkar, seorang tahanan dalam penjara, seorang Yusuf dalam sumur. Jika alam dianggap sebagai sangkar, penjara atau sumur bagi manusia, maka hubungan manusia dengan alam adalah hubungan antara dua maujud yang berlawanan. Jika demikian, langkah apa yang harus

p: 178

diambil manusia dalam menentukan sikapnya di dunia? Seekor burung yang terkurung, tiada lain kecuali menginginkan terlepas dari sangkar yang selama ini membatasi gerak bebasnya. Seorang tahanan tiada lain yang dipikirnya kecuali cara meloloskan diri.

Yusuf pun demikian, tiada lain yang dipikirkan kecuali datangnya para musafir yang mengulurkan timbanya untuk mengambil air dari dalam sumur, sehingga ia dapat keluar dari dalamnya.

Adakah Al-Quran dan Islam juga berpandangan demikian tentang hubungan antara manusia dan alam? Apakah Al-Quran, sebagaimana aliran irfan, menganggap hubungan antara manusia dan alam seperti burung dan sangkar, tahanan dan penjara serta Yusuf dan sumur?

Pandangan Islam

Menurut Islam, hubungan antara manusia dan alam tak ubahnya seperti hubungan antara petani dengan ladangnya, antara pedagang dengan pasar, antara abid dengan masjid.

Bagi petani, ladang bukan merupakan tujuannya, melainkan hanya sebuah perantara baginya. Tujuan petani adalah biji-bijian dan buah-buahan yang akan dihasilkan oleh ladang tersebut.

Demi tujuan itu, petani bersedia membajak tanah, menabur bibit, menyirami, merawat, danmenjaganyahinggatibawaktu menuainya.

Dunia adalah ladang untuk menuju akhirat. Jika seorang petani menganggap ladang sebagai tujuan, bukan sebagai perantara, maka dia telah membuat kesalahan besar. Seorang petani tidak semestinya keliru dalam membedakan antara perantara dengan tujuannya.

Demikian halnya dengan pasar bagi para pedagang, yakni pasar hanyalah perantara, tempat kerja, tempat di mana ia dapat

p: 179

memutaruangnya dalam bentuk produksi sehingga mendatangkan laba. Bagi manusia, dunia tak ubahnya seperti ladang dan pasar bagi petani atau pedagang. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as bersabda: “Dunia adalah pasar bagi auliya Allah.” Pernah di dalam majlis Ali as seorang dengan lantangnya menghina dan mencela dunia. Ia pernah mendengar Ali as menghina dunia, tetapi ia tidak memahami sudut pandang beliau ketika mencela dunia. Ia tidak mengerti bahwa penghinaan itu ditujukan kepada penyerahan dan pengabdian diri secara total pada dunia, atau dengan kata lain menyembah dunia.

Ketika orang itu dengan bodohnya menghina dan mencela dunia di depan Ali as dan berharap Ali as mendukungnya, justru ia dikejutkan oleh suara Ali as yang menentangnya:

“Hai pencela dunia! Hai, kau yang telah tertipu oleh dunia! Dunia tidak sekali pun pernah menipumu, tetapi kaulah yang tertipu olehnya." Benar-benar suatu ungkapan yang sangat indah dan menakjubkan.

Suatu hari seorang perempuan tua hendak menipu anak-anak muda dengan dandanannya yang membuat dirinya tampak begitu muda dan cantik menawan. Ia memakai gigi palsu; memasang rambut pirang palsu dan berdandan sedemikian rupa sehingga wajahnya tampak segar berseri. Penyair Arab mengatakan:

Wanita tua yang bermimpi menjadi belia Padahal kedua matanya tak lagi bening Dan punggungnya sudah bungkuk Seorang pemuda bodoh menyangka ia sebagai wanita muda yang cantik jelita. Pemuda bodoh itu jatuh dalam rayuannya dan menyatakan cinta padanya. Ia baru menyadarinya ketika wanita

p: 180

tua itu berterus terang dan mengaku siapa dirinya sebenarnya, seraya berkata: “Hai anak muda! Ketahuilah bahwa umurku sudah lima puluh sembilan tahun enam bulan dan enam hari, semua rambut dan gigiku palsu. Aku tidak memiliki rambut seindah ini dan tak satu pun gigi asli yang masih tersisa. Inilah diriku yang sesungguhnya. Bersediakah kau sekarang mengawiniku?” Tetapi yang sangat mengherankan, bagaimana pun wanita tua itu membuka kedoknya, menunjukkan segala kekurangannya, anak muda bodoh itu tetap ngotot untuk mengawininya. Siapakah wanita itu? Dialah dunia. Dunia tidak pernah menyembunyikan keterbatasannya. Dunia selalu terus terang akan serba kekurangan dan kefanaannya. Tetapi manusialah yang bersikeras menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Jadi, dunia tidak menipu manusia, tetapi manusialah yang tertipu olehnya.

Imam Ali as berkata: “Dunia tidak pernah menyembunyikan dirinya. Apa yang disembunyikan dunia sehingga kau mengatakan bahwa dunia telah menipumu?” Ketika kau menguburkan ayahmu dengan tanganmu sendiri, pada saat itukah dunia telah menipumu? Dunia selalu mengatakan, 'inilah aku. Aku bukanlah tempatyang kekal dan abadi. Ketahuilah! Inilah aku. Mengapa kau meyakini khayalanmu atas diriku? Manakah yang benar, kau yang menjinayahi dunia ataukah dunia yang telah menjinayahimu? Kau yang mengkhianati alam ataukah alam yang mengkhianatimu? Kapan dunia pernah menipumu? kapan dunia pernah membangkitkan hawa nafsumu? Sungguh, kau sendiri yang dengan hawa nafsumu mengejardunia.“ Kemudian beliau berkata: “Dunia adalah masjid bagi kekasih-kekasih Allah. Jika tidak ada masjid, dapatkan hamba Allah beribadah? Dunia adalah pasar bagi auliya Allah. Jika tidak ada pasar,

p: 181

dapatkah para pedagang melakukan transaksi jual beli mereka? Dapatkah mereka memutar uang sehingga menghasilkan laba? Pemikiran dan keyakinan bahwa dunia adalah penjara dan sangkar bagi manusia serta tugas manusia, tidak lain dari usaha menemukan cara melarikan diri dari penjara dan sangkar dunia ini, sebenarnya bersumberdari suatu dasar lain dari masalah ma'rifatun nafs (ma'rifaturruh) yang tidak dapat diterima oleh Islam.

Penyempurnaan Ruh di Dunia

Sebelum masa Islamdi beberapa negara seperti Yunani dan India, terdapat keyakinan bahwa ruh manusia sebelum turun ke dunia telah berada di alam lain dan telah tercipta dalam keadaan sempurna. Kemudian ruh itu, seperti seekor burung yang dimasukkan ke dalam sangkar, dikurung di dalam dunia yang menjadi sangkarnya, yang pada saatnya nanti ruh itu harus memecah sangkar ini.

Al-Quran dalam surat Al-Mu'minun ayat 11 menolak keyakinan ini. Shadr al-Mutaallihin Syirazi mengatakan, dari ayat inilah aku dapat menyingkap teori Jismaniyyatul huduts wa ruhaniyyatul baqa'-nya ruh? Al-Quran ketika menerangkan proses terciptanya manusia menyebutkan:

“Kami telah ciptakan manusia dari tanah; tahap demi tahap ia menjadi air mani, air mani menjadi segumpal darah, segumpal darah menjadi sepotong daging, sepotong daging menjadi tulang, kemudian tulang kami tutup dan bungkus dengan daging. Lalu materi yang berasal dari tanah ini, Kami ubah menjadi sesuatu yang lain (ruh). Artinya, ruh pada hakikatnya tercipta dari materi ini.

Memang benarruhitumujarrad,tapimujarradyanglahirdarimateri.

p: 182

Berdasarkan ayat ini, ruh manusia belum pernah sempurna di alam lain, sehingga ketika datang ke dunia ia merasakan dirinya seakan berada di dalam sangkar.

Manusia di dunia berada di pangkuan dan belaian ibunya sendiri. Alam adalah ibu ruh manusia. Karenanya, di dunia ini ia harus melalui tahap demi tahap menuju kesempurnaan. Bukan sebaliknya, ia telah sempurna terlebih dahulu dan terperosok ke dalam sumur dunia ini, lalu harus berusaha keluar dari dalamnya.

Yang demikian bukan pemikiran yang islami.

Memang benar, Islam tidak mengatakan kau harus selamanya berada di pangkuan dan merasakan belaian ibumu. Jika kau selalu ingin berada di pangkuan ibumu, maka kau tidak akan pernah dewasa danakanselalu menjadianakkecil. Jikakautakmau beranjak dan bangkit dari pangkuan ibumu terbang menuju kesempurnaan, maka kau selamanya akan tinggal di alam dunia dan selamanya menjadi materi. Kau akan menjadi 'tsumma radadnâhu asfalas sâfilin'dan tidak menjadi 'illal ladzîna âmanû wa amilus shâlihật'.

Jika manusia berada di asfalassafilin -alam materi- berarti ia telah terperangkap. Ia tidak akan dapat keluar darinya. Tempat terakhirnya tidak lain dari Jahannam (fa ummuhu hâwiyah), ibunya adalah jahannam yang luar biasa panas. Allah SWT telah melahirkan manusia dan menjadikan alam sebagai ibunya, jika anak alam ini tidak mau lepas dari induk semangnya, maka tak akan lebih tinggi darinya.

Suatu hal yang perlu saya tekankan di sini ialah: Benar bahwa sebagian ‘urafa terlalu memutlakkan penyelaman dalam diri, hati dan isyq, namun terdapat juga ‘urafa yang tidak terpeleset dalam pemutlakan ini dan menjadikan ayat-ayat afaq dan anfus keduanya sebagai jalan menuju

p: 183

kesempurnaan, seperti Syabistari (shahib Manzhumah/ penulis kitab Manzhumah), Syaikh Jami dan sebagainya.

Meninggalkan Ego

'Irfân menghormati dan menghargai hati, namun mencela dan menghina apa yang oleh Al-Quran disebut “nafs”. Sebagian dakwah ‘irfân adalah meninggalkan ego, menafikan diri, dan melenyapkan diri. Di dalam Islam ditemukan dua macam diri.

Islam, di samping menafikan dan menghancurkan satu macam khudi (ego), juga menghidupkan dan mengembangkan khudi lain. Dua khudi ini memang sulit dibedakan dan dipisahkan.

Untuk dapat membedakan keduanya diperlukan ketelitian dan kejelian yang sangat tinggi. Ketika seorang anak kecil naik ke atas pohon untuk memetik buah, dan tiba-tiba di sebelahnya terlihat seekor ular berbisa yang sewaktu-waktu dapat menyerangnya, diperlukan seorang pemanah yang mahir yang dapat melepaskan anak panah dari busurnya tepat mengenai kepala ular tersebut.

Mengapa ketepatan sangat dibutuhkan di sini? Ya, karena jika sedikit saja terjadi kesalahan, anak panah akan meleset dan ular akan menyerang si anak atau panah itu malah akan mengenai tubuh si anak.

Jika seorang kawan bertarung dengan seorang musuh, bergelut dan berguling satu ingin membunuh yang lain, kita harus benar-benar jeli untuk menusukkan pedang ke tubuh musuh kawan kita. Sedikit kekeliruan dapat mencelakakan teman kita sendiri.

Dua khudi dalam diri manusia ini begitu berdekatan sehingga diperlukan pemanah yang mahir, andal, dan jitu, pemanah yang

p: 184

harus membunuh khudi keburukan dan menyelamatkan khudi kebaikan.

Kehebatan ideologi Islam salah satunya terlihat dalam kepiawaian dan kejeliannya dalam memanah khudi keburukan dan menyelamatkan khudi kebaikan. Akan tetapi, dalam ‘irfân, walaupun hal ini tidak berlaku untuk seluruh ‘urafa, terkadang dalam membunuh khudi keburukan, panah mereka justru menyasar mengenai khudi kebaikan. Ketika mereka berusaha untuk membunuh nafs, mereka salah sasaran dan panah mereka justru mengenai apa yang mereka istilahkan dengan qalb (hati).

p: 185

p: 186

Bagian 9

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN IRFAN II

Point

p: 187

p: 188

«فَأَمَّا مَنْ طَغَی » «وَآثَرَ الْحَیَاةَ الدُّنْیَا » «فَإِنَّ الْجَحِیمَ هِیَ الْمَأْوَی » «وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَی النَّفْسَ عَنِ الْهَوَی » «فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِیَ الْمَأْوَی » “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggalnya.” (QS.

An-Nazi'at: 37-41).

salah satu dari masalah-masalah penting mengenai insan kamil dalam aliran ‘irfan ialah masalah mengenai manusia dengan nafs atau dirinya. Dalam bahasa ‘urafa dan ahli tasawuf, juga dalam ajaran (ta’limat) Islam, selalu dibahas masalah memerangi sifat egois dan kecenderungan pada hawa nafsu.

Dalam (pensucian) tazkiyatun nafs atau pembersihan diri (lebih sering diistilahkan dengan jihadunnafs), mereka menganggap nafs sebagai musuh internal manusia. Ta'bir mereka ini bersumber dari hadis nabawi:

“Musuhmu yang paling berbahaya ialah nafsumu yang berada di antara kedua bahumu.” Seseorang menanyakan hadis ini pada salah seorang arif, mengapa Rasul saw menganggap nafs sebagai musuh yang paling berbahaya? Si arif menjawab: “Biasanya, jika kau berbuat baik pada setiap musuhmu, kau turuti segala apa yang dimintanya, maka tidak lama musuh itu akan segera menjadi temanmu, kecuali jika

p: 189

musuh itu adalah nafs dan dirimu sendiri, semakin kau turuti kemauan-kemauannya, maka sejauh itu pula ia akan semakin memusuhimu".

Egoisme Tingkat Pertama

Tingkat pertama dari egoisme ialah menjadikan diri sebagai pusat dari segalanya. Artinya, bekerja hanya untuk diri sendiri.

Semua gerak-gerik manusia egois, kesibukan dan aktivitasnya dilakukan hanya untuk dirinya. Mulai bangun dari tidur sampai kembali ke tempat tidur, semua jerih payahnya hanya untuk kehidupan pribadinya, asal perutnya kenyang, badannya tertutupi, tersedia tempat tinggal untuk dirinya.

Disini timbul satu pertanyaan: “Adakah pemusatan perhatian kepada diri sendiri ini merupakan akhlak yang buruk dan bertentangan dengan etika? Jawabnya ialah: “Benar, pemusatan perhatian seperti di atas memang tidak etis dan tidak sesuai dengan akhlak, yakni bukan merupakan nilai insani, namun demikian, ia bukan sesuatu yang bertentangan dengan akhlak atau belum dapat dikatakan sebagai suatu penyakit dalam etika.” Di sini diperlukan sedikit penjelasan tentang etika dan non- etika. Al-Quran menjelaskan, ada tiga tingkatan untuk manusia:

Tingkatan di atas hewan, tingkatan di bawah hewan dan tingkatan di mana manusia dan hewan berdiri sejajar. Berdasarkan tiga tingkatan ini, terdapat juga tiga tingkatan atas perilaku manusia:

1) Akhlak: Perilaku manusia yang berada pada tingkatan di atas hewan.

2) Kontra akhlak : Perilaku manusia di bawah hewan.

3) Non-akhlak : Jenis perilaku manusia yang netral dan tidak mempunyai nilai positif untuk disebut sebagai akhlak, atau

p: 190

nilai negatif untuk disebut sebagai kontra akhlak, suatu perilaku biasa setaraf dan sejajar dengan hewan.

Jika kita menjumpai seseorang -kejadian semacam ini sangat sering- yang perilakunya sehari-hari tak jauh berbeda dari seekor burung dara atau kambing, dari pagi sampai malam hanya bekerja untuk perutnya, maka ia berada pada derajat yang sama dengan hewan. Perilakunya tidak dikategorikan sebagai akhlak, juga bukan kontra-akhlak.

Egoisme Tingkat Kedua

Terkadang egoisme tidak hanya berhenti pada batas pemenuhan kebutuhan hidup, tidak hanya berhenti pada kebutuhan sandang, pangan, dan papan saja. Di sini, egoisme sudah menjadi semacam penyakit jiwa, ketika derajat keinsanan seseorang tunduk dan patuh pada kehewanannya. Ia tidak puas dan merasa cukup dengan kehidupan sederhana. Ia ingin mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin, walaupun jauh melebihi kebutuhannya.

Jika seekor merpati mencari jagung untuk bertahan hidup, itu lumrah. Seekor kuda yang mencari rumput untuk mengenyangkan perutnya itu pun lumrah. Jika seorang manusia mencari nafkah untuk menghidupi diri, anak-anak, dan istrinya secukupnya, itu lumrah untuk kehidupan hewaninya yang memang harus dipenuhi dengan makan dan minum untuk bertahan hidup.

Namun, terkadang manusia terkena penyakit rakus dan tamak. Kalau sudah demikian, ia tidak akan puas dengan sekadar mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia akan selalu berkeinginan untuk menumpuk harta dan kekayaan sekuat tenaganya. Seluruh

p: 191

hidupnya dicurahkan hanya untuk mengumpulkan harta benda.

Orang semacam ini secara otomatis akan terkena sejenis penyakit bukhl (pelit). Tangannya tak pernah terbuka untuk memberikan kelebihan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bahkan ia merasa sayang untuk mengeluarkan harta sekadarnya bagi dirinya sendiri. Ia korbankan seluruh hidupnya hanya untuk menumpuk dan menumpuk harta tanpa sempat menikmatinya dengan tenang. Perilaku yang demikian sudah berada di bawah akhlak, kontra-akhlak dan sudah menjadi semacam penyakit jiwa yang harus segera diobati.

Egoisme Tingkat Ketiga

Penyakit nafs manusia, tidak hanya terbatas pada penyakit rakus, tamak, dan pelit. Masih banyak lagi penyakit-penyakit nafs yang lebih pelik dan lebih rumit ketimbang penyakit-penyakit fisiknya, penyakit-penyakit yang sama sekali tidak sesuai dengan logika dan akal sehat, penyakit yang sudah keluar dari batas kewajaran dan hanya sesuai dengan jiwa si penderita itu sendiri; seperti penyakit dengki dan iri hati (hasad).

Hasad dan kedengkian merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan logika dan akal sehat. Mengapa? Karena si penderita akan melupakan kebahagiaan dirinya sendiri dan pikirannya hanya terpusat pada cara menjatuhkan orang lain. Yang dicita-citakan dan didambakan bukan lagi kebahagiaan dirinya.

Kalau pun ia memiliki cita-cita untuk kebahagiaan dirinya, itu masih sepersepuluh dari keinginannya untuk menyengsarakan orang lain. Apakah keadaan seperti ini dapat diterima logika? Logika siapa dan logika macam apa? Tiada satu hewan pun yang

p: 192

pernah ditemukan menderita penyakit aneh ini. Hewan hanya memikirkan perutnya sendiri dan selesai. Akan tetapi, tidak jarang penyakit ini ditemukan pada manusia.

Tipuan dan Bujukan

Nafs manusia dapat menipu manusia itu sendiri. Sungguh, seseorang terkadang dapat mengecoh dirinya sendiri. Mengapa seseorang mengakali dan memperdaya dirinya sendiri? Dalam Al- Quran (Yusuf: 83) disebutkan:

...”Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu.” Taswil adalah sebuah ungkapan psikologis dari Al-Quran yang sangat tepat dan jeli. Manusia terkadang tertipu oleh dirinya. Tapi bagaimana? Jika nafs menginginkan sesuatu, ia akan menghias dan membuat apa yang diiginkannya itu tampak seolah- olah begitu indah dan menarik, sehingga manusia mengira dan menyangka hal itu benar-benar seperti yang terlihat.

Dengan kemajuan dan perkembangan ilmu kejiwaan dewasa ini, para psikolog kian menyadari bahwa fenomena ini ada pada diri manusia. Merekamengatakan, terkadangseeorangdapatmenderita kegilaan tanpa terdapat sebab dan gangguan pada saraf atau fisik.

Kegilaan itu hanya disebabkan oleh faktor internal atau jiwa manusia itu sendiri, seperti hilangnya ketabahan seseorang dalam menerima musibah yang beruntun. Dalam keadaan yang demikian, ia sudah tak tahan lagi menanggung keadaan yang serba berat, maka tidak heran jika ia lebih mendambakan ketidaksadaran, hilang pikiran atau kegilaan, untuk membebaskan dirinya dari penderitaan-penderitaan itu.

p: 193

Seorang penyair berkata:

Setiap orang sadar dan waras yang kutemui di dunia ini, Mereka selalu dalam kesedihan Hai kau yang sadar! Jadilah orang gila, Karena kegilaan mempunyai dunianya tersendiri

Penyakit-penyakit Jiwa yang Tersembunyi

Sekarang telah terbukti bahwa batin seseorang dapat terjangkiti penyakit-penyakit keji yang sama sekali tidak dapat dilihat dari luar, bahkan manusia itu sendiri tidak menyadari keberadaan penyakit-penyakit itu dalam batinnya. Pada situasi dan kondisi tertentu, kekejian ini akan keluar dan menampakkan sisi buruk seseorang.

Seseorang terkadang bisa sangat heran dan terkejut melihat apa yang telah dilakukannya sendiri, bahkan ia tidak percaya bahwa ada penyakit-penyakit batin yang selama ini tidak ia sadari. Mungkin seseorang menyangka dirinya bersih dari kotoran-kotoran, dari hasad dan dengki, dari takabbur dan ‘ujub.

Singkatnya, ia melihat dirinya suci dari segala macam kekejian, niat jahat dan penyakit-penyakit jiwa yang pelik. Akan tertapi, pada situasi dan kondisi tertentu bisa jadi akan keluar dari dalam dirinya sifat takabbur, ‘ujub, hasad, dendam yang membuat ia sendiri merasa bingung dan terheran-heran.

Nafs manusia tak ubahnya seperti ular. Pada musim dingin, ular akan membeku seperti es, tidak sedikit pun bergerak seakan ia mati beku. Jika anak-anak mengambilnya untuk dibuat bermain, ia tidak akan menggigit mereka. Orang akan mengira ular ini

p: 194

sudah benar-benar jinak. Tetapi, jika sengatan sinar matahari telah kembali menghangatkan tubuhnya, ia akan segera kembali menjadi makhluk berbahaya dan mematikan. Jangan sekali- kali kau mengira nafsumu telah mati. Sadarilah! Nafs bagaikan seekor ular di musim dingin yang jinak, tapi jika sinar matahari telah menghangatkan tubuhnya, ketika itu kau akan benar-benar mengenal nafs-mu yang kau kira telah mati.

Dalam sebuah perumpamaan tentang nafs, Maulawi mengatakan:

“Tidaklah kau pernah menyaksikan sekumpulan anjing tidur lemas di pinggiran jalan, meletakkan kepala di atas kaki depan, menutup mata dan tak banyak melakukan gerakan atau gonggongan. Mereka tiada bedanya dengan sekumpulan kambing atau domba. Namun, jika tercium oleh mereka bau bangkai, akan dengan cepat mereka meloncat dan berlari, dengan mata terbuka lebar, cakar siap menerkam dan suara yang menggetarkan, berbondong-bondong menghampiri dan menyerbu bangkai dengan rakusnya, seakan setiap bulunya berubah menjadi gigi- gigi tajam yang siap merobek-robek.” Inilah hakikat nafs manusia.

Jihad an-Nafs dalam Al-Quran dan Hadis

Kita memang diperintahkan untuk melakukan jihad an- nafs dan memerangi hawa nafsu, tetapi perintah ini tidak mutlak seperti yang diyakini oleh sebagian ‘urafa. Kita tidak diperintah untuk memerangi nafs ketika hendak memenuhi kebutuhan yang wajar dan lumrah, seperti kebutuhan untuk makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, menyalurkan gairah seksual, bersenang-senang, berekreasi, dan sebagainya.

p: 195

Kita diperintahkan memerangi nafs ketika ia telah berubah menjadi ammarah bissu', berubah menjadi ular musim panas atau anjing yang mencium bau bangkai.

Kita diperintahkan memerangi nafs ketika ia mulai menampakkan kekejian-kekejian batin yang terpendam dan mulai menguasai kita untuk bersikap hasud, dengki, rakus, tamak, dendam, takabbur, bangga diri, bukhl, dan sebagainya. Al- Quran sendiri memerintahkan kita untuk memerangi nafs dari jenis ammarah bissu':

“Maka barang siapa yang melampau batas dan lebih mengutamakan hidup di dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang yang takut akan kebenaran Tuhannya dan menahan dirinya daripada hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” Di tempat lain Al-Quran mengatakan:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya... (QS. Al-Jatsyiah: 23).

Dan di lain kesempatan, melalui lidah Yusuf as:

“Dan aku tiada membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS.

Yusuf: 53).

Jadi, berdasarkan ayat-ayat di atas, Islam juga mendukung Jihad an-Nafs. Bahkan kata Jihad an-Nafs itu sendiri adalah milik Islam. Kata itu mulai populer ketika serombongan sahabat pulang dari suatu peperangan dan mereka bersama-sama pergi menghadap Rasul saw. Pada kesempatan yang tepat ini Rasul saw berkata: “Selamat mereguk kemenangan bagi kaum yang baru saja melakukan jihad kecil dan masih tersisa bagi mereka jihad besar (akbar).” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah yang

p: 196

dimaksud jihad yang lebih besar itu?” Rasul menjawab, “Jihad an- nafs”.

Namun demikian Jihad an-Nafs dalam Islam tidak sama dengan Jihad an-Nafs dalam termonologi ‘irfan. Jihad an-Nafs dalam ‘irfan mengambil bentuk riyadhah-riyadhah dan latihan- latihan yang sangat berat yang dibebankan pada nafs manusia.

Jihad an-Nafs dalam ‘irfan adalah pencabutan hak-hak jasmani manusia. Islam tidak menyetujui dan menentang keras bentuk- bentuk praktik Jihad an-Nafs semacam ini.

Terdapat dua macam bentuk Jihad an-Nafs. Terkadang, Jihad an-Nafs mengambil bentuk riyadhah-riyadhah, yakni memberikan ujian-ujian berat pada fisik, antara lain mengurangi makan dan minum sampai batas minimal seseorang dapat bertahan hidup, juga mempersempit waktu tidur malam hingga tidak lebih dari beberapa menit saja. Memang badan manusia dapat menerima dan bertahan dalam kondisi-kondisi sulit dan berat ini dengan latihan-latihan rutin, sehingga seseorang dapat bertahan hidup bertahun-tahun hanya dengan beberapa biji kacang setiap harinya dan tidur selama 15 menit dalam sehari semalam. Latihan- latihan dan riyadhah-riyadhah macam ini banyak ditemui di kalangan para pertapa di India dan terkadang juga dapat ditemui di kalangan Muslimin.

Adapun Jihad an-Nafs yang lain tidak lagi mengambil bentuk ujian berat bagi fisik, namun berupa perlawanan langsung terhadap nafs dan jiwa, yakni usaha membendung keinginan dan kemauan nafs. Cara yang kedua ini disetujui oleh Islam selama tidak berlebihan dan melampaui batas-batas kewajaran.

p: 197

Bentuk Lain Jihad an-Nafs

Salah satu cara yang dilakukan oleh sebagian sufi dalam melakukan Jihad an-Nafs ialah suatu sikap dan usaha penampakan diri sedemikian rupa sehingga tampak buruk dan rendah di mata orang lain. Ini merupakan antagonis dari perbuatan riya'.

Riya' adalah suatu sikap pura-pura yang dilakukan seseorang untuk menutupi niat buruknya dengan menampakkan kebaikan lahiriyah. Akan tetapi, sebagian dari sufi ini dalam Jihad an-Nafs yang mereka yakini, justru berusaha menutupi batin baiknya dan menampakkan sisi lahir yang buruk. Mereka melakukan ini dengan alasan supaya mereka tidak dijadikan tokoh dan panutan oleh masyarakat.

Sebagai contoh, mereka tidak pernah minum arak setetes pun, tetapi menampakkan diri mereka seakan peminum arak, dengan cara duduk-duduk bersama peminum-peminum arak dan ikut memegang botol arak. Mereka tidak sekali pun pernah berzina, tetapi menampakkan diri seakan-akan mereka sering melakukan perbuatan zina.

Mengapa mereka melakukan semua ini? “Dengan cara inilah kami dapat membunuh dan menghinakan nafs”, demikian jawab mereka. Memang ini merupakan peperangan yang dahsyat antara manusia dengan dirinya sendiri, karena nafs selalu ingin punya muka dan kehormatan di mata masyarakat, sedangkan mereka melawannya dengan sengaja melakukan hal-hal yang dapat menghilangkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat terhadap diri mereka.

Adakah Jihad an-Nafs yang demikian disetujui oleh Islam? Tidak. Islam mengatakan bahwa harga diri dan kehormatan seorang mukmin bukan hak si mukmin itu sendiri. Seorang

p: 198

mukmin tidak berhak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya di hadapan masyarakat. Islam melarang manusia untuk berbuat riya', juga melarang seseorang berpura-pura melakukan perbuatan jahat untuk menjatuhkan harga dirinya di mata masyarakat.

Jihad an-Nafs yang dikemas dengan cara begini menjadi salah satu penyebab mengapa sebagian ‘urafa dalam puisi-puisinya seringkali memakai kata-kata najis dan lucah seperti wanita, arak, cawan anggur, dan lain sebagainya, sebagai isyarat untuk makna-makna suci.

Ibrahim Adham, salah seorang pemuka sufi mengatakan:

“Seumur hidup aku tidak pernah begitu bahagia dan gembira kecuali dalam tiga kesempatan.

Pertama, aku sangat bahagia ketika suatu hari aku sakit keras, tidur di pinggir masjid dan tak mampu berdiri lagi. Tiba- tiba datanglah khadim masjid yang dengan kasarnya mengusir para pengemis dan orang-orang fakir yang tidur di pinggiran masjid dan mengotorinya. Mereka semua bangkit dari tidurnya dan segera meninggalkan masjid, kecuali aku yang sudah tidak mampu bangun karena sakit keras yang kuderita. Khadim menghampiriku dan dengan hinaan yang bertubi-tubi memaksa aku untuk keluar dari masjid dan dengan keras ia menendangku.

Aku tetap tidak mampu bangkit. Kemudian, ia seret tubuhku seperti bangkai dan melemparku keluar masjid.

Kedua, ketika aku bersama beberapa orang berada di sebuah kapal. Seseorang di antara mereka dengan tujuan melucu, berkata:

“Dalam salah satu peperangan dengan kuffar, aku berhadapan dengan seorang kafir yang berjenggot panjang. Tanpa banyak bicara langsung aku tarik jenggotnya sampai jatuh tersungkur ke

p: 199

tanah. Ketika memperagakan ceritanya itu, ia jadikan aku sebagai orang kafir kotor yang berjenggot panjang dan menarikku sampai aku hampir terjatuh, sehingga disambut dengan tawa keras mereka yang mendengarnya.

Ketiga, pada suatu musim dingin aku berada di suatu tempat yang sama sekali tidak memenuhi syarat untuk berteduh! Karena sangat dingin aku keluar untuk mendapatkan sedikit sinar matahari. Kulihat kulit tanganku, begitu banyaknya kutu busuk yang menempel padanya sehingga aku tak tahu mana yang lebih banyak antara kutu busuk atau bulu tanganku. Pada tiga kesempatan inilah aku benar-benar merasa gembira dan bahagia, karena dapat melihat nafs dan diriku begitu rendah dan terhina." Islam tidak menyuruh bahkan melarang seseorang untuk menghina dan merendahkan harga dirinya. Jihad an-Nafs yang mereka lakukan dengan cara merendahkan harga diri bukanlah Jihad an-Nafs yang dianjurkan oleh Islam. Menjaga harga diri dan memuliakan nafs merupakan Jihad an-Nafs yang dianjurkan oleh Islam.

Keinsanan Hakiki Manusia

Menurut para filosof, keinsanan hakiki manusia terletak pada ruhnya. Ketika seseorang ditanya siapa dia sebenarnya, ia akan menjawab diriku adalah ruhku. Para psikolog berpendapat bahwa manusia selama ini hanya dapat merasakan sebagian kecil dari keseluruhan dirinya yang sesungguhnya, sedang sebagian besar yang lain masih terpendam dan belum dapat diketahui.

'Urafa berpandangan bahwa diri kita lebih dari sekadar ruh dan badan.

p: 200

Syabistari berkata dalam syairnya:

Aku dan kamu lebih dari sekadar ruh dan badan ini Ruh dan badan hanyalah bagian dari diri kita Menurut ‘urafa, seseorang akan mengetahui dirinya yang sebenarnya ketika telah mengenal Tuhannya. Penyingkapan diri tidak akan terpisah dengan penyingkapan Tuhan, seperti disebutkan dalam Al-Quran:

“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19).

Berdasarkan ayat ini, ruh dan hakikat ibadah yang berarti pemusatan perhatian kepada Allah, bertujuan untuk menyingkap dan mengetahui hakikat sesungguhnya manusia. Tidak terdapat jalan lain bagi manusia untuk mengetahui keinsanan hakikinya kecuali lewat ibadah dan khalwat dengan Rabbinya.

Izzat an-Nafs dalam Al-Quran dan Hadis

Walaupun di dalam Islam terdapat banyak ayat dan hadis yang secara sepintas seakan menghina dan merendahkan nafs, bukan berarti Islam tidak mempedulikan sisi mulia dari nafs.

Allah SWT berfirman:

...Bagi Allah kemuliaan dan bagi Rasul-Nya dan bagi orang- orang mukmin... (QS. Al-Munafiqun: 8).

Al-Quran tidak mengatakan Izzat an-Nafs adalah penyembahan diri yang cenderung pada egoisme. Tidak. Izzat an-Nafs bukan egoisme. Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kebutuhan-kebutuhanmu dengan tetap menjaga harga diri.”

p: 201

Merupakan sesuatu yang lumrah jika manusia satu sama lain saling membutuhkan. Rasul saw berkata: Jika kau membutuhkan sesuatu pada seseorang, janganlah engkau memintanya dengan cara dirimu terhina di hadapannya. Minta dan carilah kebutuhan- kebutuhan dengan tetap menjaga harga dirimu. Jangan sekali- kali demi suatu kebutuhan kau kotori kemuliaan dirimu! Jangan sekali-sekali manakala memerangi hawa nafsu dan demi terlaksananya Jihad an-Nafs, kau mengatakan: Sebaiknya aku mencari kebutuhan-kebutuhanku dengan cara mengemis. Jangan! Islam tidak membenarkan cara ini. Islam mewajibkan kita untuk menjaga harga diri kita sebagai seorang mukmin dan Muslim yang mulia.

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Imam Ali as di medan perang, ketika berbicara tentang kemuliaan dan harga diri. Beliau berkata (Nahjul Balaghah, khutbah ke-51):

“Janganlah kau mati pada saat kau masih hidup. Namun tetap hiduplah pada saat kau sudah mati.” Kematian yang disertai dengan tangisan kawan Lebih baik dari kehidupan yang diiringi tawa lawan Hinalah bagiku kehidupan ini Aku sebagai tuan tapi harus menghamba Imam Husein as berkata:

“Mati mulia lebih baik dari hidup terhina." Imam Husein as tidak mengatakan, untuk melakukan Jihad an-Nafs, kita sebaiknya menyerahkan diri dan tunduk patuh pada hukum Yazid dan Ibnu Ziyad, karena dengan ini berarti kita telah memerangi nafs! Beliau berkata: “Ibnu Ziyad, si anak haram berayah anak haram ini, meminta aku untuk memilih satu dari dua hal: Kuserahkan diriku pada kehinaan atau aku

p: 202

harus menghadapi tebasan pedang. Tetapi betapa jauh diriku dari kehinaan! Di manakah aku dan di mana pula kehinaan? Tuhanku tidak akan rela jika aku menyerahkan diriku pada kehinaan.” Imam Husein as hendak menegaskan, bukan egoku yang mencegahku untuk menyerahkan diri, tetapi agamakulah yang melarangku untuk menyerah pada kehinaan. Tuhanku, Nabiku, dan didikan serta ilmu yang aku terima selama ini menghalangiku untuk menyerah. Aku besar di pangkuan Ali dan Zahra alaihimassalam. Seorang anak yang pernah disusui Zahra as tidak akan pernah menyerah pada kehinaan. Beliau berkata:

“Demi Allah! Aku tidak akan menyentuhkan tanganku pada kehinaan dan aku tidak akan lari, seperti larinya seorang hamba yang takut pada ancaman tuannya, (atau dalam riwayat lain) aku tidak akan mengakui kesalahan di hadapanmu (Yazid bin Muawiyah) seperti seorang hamba.”

p: 203

p: 204

Bagian 10

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN KEKUASAAN

Point

p: 205

p: 206

«وَکَأَیِّنْ مِنْ نَبِیٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّیُّونَ کَثِیرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِی سَبِیلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَکَانُوا وَاللَّهُ یُحِبُّ الصَّابِرِینَ » “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama- sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.

Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS.

Ali-Imran: 146).

faham atau aliran lain yang juga ikut merumuskan K pandangannya tentang insan kamil adalah paham I kekuasaan (aliran qudrat). Menurut aliran ini, insan kamil adalah manusia yang memiliki kekuasaan. Atau dengan kata lain, kesempurnaan identik dengan kekuasaan sedangkan kekurangan identik dengan kelemahan, atau ketidakberdayaan. Yang lebih berkuasa berarti lebih sempurna. Kebenaran dan keadilan pada hakikatnya tidak lain dari kekuasaan dan kekuatan itu sendiri. Jika terjadi peperangan antara dua kekuatan, satu sama lainnya ingin saling menjatuhkan, kita berpikir bahwa di antara dua pihak itu pasti salah satunya benar dan lainnya yang salah. Tidak mungkin dua-duanya benar, walaupun mungkin keduanya salah. Pihak yang benar mungkin dapat menang atas pihak yang salah. Tapi tidak mustahil pihak yang salah dapat mengalahkan pihak yang benar, meski kemenangan itu bersifat sementara saja. Namun, aliran qudrah ini, memandang bahwa pihak yang benar adalah siapa pun yang menang dalam peperangan. Artinya, siapa yang menang, maka dialah yang benar.

p: 207

Sejarah Ringkas Aliran Qudrah (Kekuasaan)

Aliran ini sudah ada sejak dahulu, jauh sebelum periode Socrates. Socrates hidup kira-kira empat abad sebelum Masehi.

Pada saat itu terdapat suatu kelompok yang disebut dengan kaum Sophis, yang dalam masalah-masalah sosial berpandangan: Siapa yang dapat menaklukkan dan menguasai lawannya, maka ia berada pada pihak yang benar.

Pikiran semacam ini telah tumbuh di Yunani kira-kira 2400 sampai 2500 tahun sebelum periode Socrates. Dengan munculnya filosof-filosof, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, semua pemikiran ini terhapus, disusul dengan datangnya masihiyyat (agama Kristen) yang juga sama sekali tidak memberi tempat untuk pemikiran-pemikiran Sophis. Sejak masa itu pemikiran- pemikiran semacam itu hampir dapat dipastikan telah punah dan hilang sama sekali.

Kristen bukan hanya tidak mendakwahkan kekuatan, tapi lebih parah lagi, malah mendakwahkan kelemahan, sampai- sampai terkenal dengan suatu pedoman hidup yang berupa sikap terhadap lawan yang berbunyi: “Jika pipi kananmu dipukul, maka berikan juga pipi kirimu.

Ini sangat bertentangan dengan Islam yang datang dengan membawa suatu logika khusus tentang kekuatan dan kekuasaan.

Islam meyakini pentingnya kekuatan dan kekuasaan, tapi sama sekali tidak pernah memutlakkan dan menyamakannya dengan kebenaran.

Kini, untuk kedua kalinya paham kekuasaan ini hidup kembali di Barat. Ide'kebenaran adalah kekuatan’ini, untuk pertama kalinya muncul sebagai dasar dari filsafat poliltik. Seorang ilmuwan dan filosof terkenal Itali, Niccolo Machiavelli, meletakkan dasar filsafat

p: 208

politiknya pada kekuasaan. Ia mengatakan: “Di dalam politik, satu-satunya hal yang perlu diperhatikan adalah kekuasaan.

Dan untuk sampai pada tujuan-tujuan politis (kekuasaan), maka segala cara menjadi halal; dusta, tipu muslihat, sumpah-sumpah palsu, pengkhianatan, menginjak-injak kebenaran, merampas hak orang lain, dan seterusnya. Menurut pandangannya, manusia tidak boleh menganggap buruk hal-hal di atas.

Setelah Machiavelli, muncul filosof-filosof lain yang tidak hanya memutlakkan kekuasaan dalam politik sebagai etika umum yang memberi lampu hijau kepada para politikus untuk menipu, berkhianat, berbohong, dan menerjang hak-hak orang lain, tapi bahkan mereka meyakini kekuasaan dan penguasaan ini sebagai etika tinggi dan etika insani. Nietzsche, sebagaimana telah kita ketahui, secara umum meletakkan kekuasaan sebagai dasar etika.

Pandangan Bacon dan Pengaruh-pengaruhnya

Empat abad yang lalu, tepatnya pada abad ke-16, terjadi suatu perombakan besar dalam bidang ilmu dan logika yang dirintis oleh dua filosof besar dunia, Bacon dari Inggris dan Descartes dari Prancis. Keduanya kemudian dikenal sebagai perintis ilmu modern. Bacon mempunyai suatu pandangan tentang ilmu yang telah menggugurkan pandangan-pandangan terdahulu. Pandangan ini, yang merupakan awal dari berkembangnya ilmu-ilmu dan penguasaan luar biasa manusia terhadap alam, ternyata juga merupakan sebab kehancuran umat manusia. Pandangan Bacon memang telah memberi manusia kekuatan untuk memakmurkan alam. Namun, pada saat yang sama memberi manusia kekuatan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimanakah pandangan Bacon itu?

p: 209

Sebelum Bacon, para filosof, ilmuwan, dan pemuka agama menjadikan ilmu sebagai pelayan kebenaran, bukan pelayan kekuasaan dan kekuatan. Menurut mereka, tujuan dari mencari ilmu adalah mendapatkan kebenaran, ilmu hanyalah perantara untuk sampai pada kebenaran, karenanya ilmu memiliki kesucian.

Artinya, ilmu adalah suatu hakikat yang suci, di atas kepentingan- kepentingan material manusia.

Ilmu selalu dibandingkan dengan harta dan kekayaan.

Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta? Dalam sastra kita, baik Arab maupun Persia, sering terlihat perbandingan antara ilmu dan harta, di mana ilmu selalu diunggulkan atas harta.

Ilmu diberikan pada Idris, emas dan perak pada Qarun Harta terkubur dalam perut bumi dan ilmu berada di atas falak Berdasarkan kesucian dan kekudusan ilmu inilah Imam Ali as berkata:

“Siapa yang mengajariku satu (ilmu) berarti ia telah menjadikanku hambanya.” Lihatlah betapa tingginya Al-Quran memberikan maqam bagi ilmu, seperti yang terlihat dalam kisah penciptaan Adam as dan pengajaran asma’ padanya, Allah SWT berfirman:

"Hai para malaikat! Sujudlah pada Adam, karena Adam mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui.” Bacon, ketika menyajikan suatu pandangan baru, berkata:

“Pencarian ilmu dengan tujuan mencari kebenaran, sebenarnya tak lebih dari sekadar permainan untuk mengisi waktu kosong yang tidak memberikan sedikit pun manfaat bagi kehidupan manusia. Manusia harus menjadikan ilmu sebagai alat yang dapat

p: 210

menjamin berlangsungnya kehidupan. Ilmu yang baik adalah ilmu yang lebih bermanfaat untuk kehidupan dan menjadikan manusia penguasa atas alam. Ilmu yang baik adalah ilmu yang dapat memberi manusia kekuasaan.

Di sinilah ilmu telah kehilangan ruh samawinya dan hanya tersisa tubuh ardhi-nya, yakni arah dan tujuan ilmu telah berubah, yang tadinya bertujuan menguak dan menyingkap rahasia-rahasia alam, sekarang menjadi alat manusia untuk menguasai alam. Ini menjadikan manusia lebih banyak menikmati kekayaan tanpa peduli dari mana awal dan ke mana akhir perjalanan alam serta keberadaan ini.

Dilihat dari satu sisi, pandangan Bacon ini memang telah menyuguhkan kontribusi yang berarti dalam bidang keilmuan.

Bacon telah mendorong segala macam ilmu pengetahuan sebagai alat pendayagunaan alam demi berlangsungnya kehidupan manusia yang lebih baik dan lebih mudah. Dengan pandangannya ini, Bacon telah berhasil mempercepat laju perkembangan ilmu pengetahuan. Namun dilihat dari sisi lain, pandangan ini telah mencabut kesucian dan kemuliaan dari ilmu, yakni sejauh mana ia dapat memberikan manfaat bagi manusia (secara material).

Menurut pandangan ini, proses belajar mengajar harus lebih berorientasi kepada ekonomi ketimbang pencarian ilmu murni.

Jadi, ilmu telah menjadi alat perlombaan menimbun kekayaan dan uang.

Bacon berkata: “Ilmu (dipersembahkan) untuk kekuasaan dan sebagai hamba kekuasaan.” Pandangan ini pada mulanya memang tidak tampak mempunyai pengaruh yang buruk. Tapi secara berangsur menciptakan motivasi dalam pencarian ilmu

p: 211

semata-mata hanya untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan, sehingga semuanya akan menjadi hamba kekuasaan dan kekuatan.

Sekarang secara menyeluruh ilmu telah menjadi hamba kekuasaan dan berdasarkan inilah roda dunia ini berputar.

Dalam sejarah tidak pernah ilmu mengalami penghinaan seperti sekarang, menjadi tawanan dan hamba kekuasaan para penguasa.

Para ilmuwan dunia sekarang merasa menjadi orang yang paling terbelenggu di antara masyarakat di dunia. Bahkan ilmuwan hebat, seperti Albert Einstein, telah menjadi hamba Roosevelt.

Sekarang, di mana pun baik pada kubu sosialis maupun kubu kapitalis, tidak ada perbedaan bahwa ilmu telah menjadi hamba kekuasaan. Yang memegang kontrol dan kendali dunia sekarang adalah kekuasaan, bukan ilmu. Istilah dunia kita adalah dunia ilmu'sudah digantikan dengan dunia kita adalah dunia kekuasaan”.

Ilmutidakmemilikikebebasanlagi. Ilmusudahmenjadi hamba kekuatan dan kekuasaan. Setiap formula baru yang ditemukan oleh para ilmuwan, akan segera disuguhkan kepada para penguasa untuk diubah bentuknya menjadi senjata-senjata yang mematikan.

Ketika formula tersebut sudah betul-betul dimanfaatkan di bidang persenjataan, baru kemudian akan dimanfaatkan untuk hal-hal lain, bahkan jika perlu, formula itu akan dirahasiakan demi kehebatan senjata-senjata yang akan mempertahankan kekuasaan mereka. Jalan yang dilalui Bacon mau tidak mau akan berakhir pada jejak Machiavelli atau khususnya Nietzsche.

Pemanfaatan Teori Darwin oleh Nietzsche

Di dunia telah ditemukan sebuah prinsip baru, yang juga merupakan dasar lain bagi Nietzsche, yakni salah satu dari

p: 212

prinsip-prinsip Darwinisme. Darwin sendiri sebenarnya adalah seorang masehi (Kristen) yang taat, bukan seorang ateis yang anti-Tuhan. Beliau pun menghormati al-Masih dan banyak dari pernyataan-pernyataannya yang membuktikan kepercayaan dan pengakuannya akan keberadaan Tuhan. Akan tetapi, di luar keinginannya, teori-teori Darwin telah banyak dan sering disalahartikan, seperti yang dilakukan oleh kaum materialis ketika menjadikan teori takamul (evolusi) Darwin sebagai alat untuk mengingkari Tuhan.

Penyalahartian juga terjadi dalam filsafat etika Darwin, yakni tentang terciptanya manusia ideal dan teladan, manusia unggul dan manusia sempurna. Darwin merumuskan empat teori, di antaranya adalah prinsip cinta diri. Setiap hewan mempunyai rasa cinta pada dirinya dan selalu berusaha untuk mempertahankan dirinya. Teori “peperangan yang terus-menerus” juga termasuk salah satu teorinya. Ia berkata: “Dasar hayat dan kehidupan di alam ini adalah berperangnya hewan-hewan satu sama lain secara terus-menerus. Yang lebih kuat akan dapat melangsungkan kehidupan dan keberadaannya.” Nietzsche telah memanipulasi prinsip ini. Ia berkata: “Prinsip hidup semua hewan dan manusia adalah perang. Yang lebih kuat dan yang lebih berkuasa akan dapat bertahan. Alam selalu memihak manusia yang lebih kuat, bergerak ke arah terwujudnya manusia sempurna (superior).” Apa yang dimaksudkan dengan manusia sempurna di sini? Yaitu manusia yang lebih kuat, lebih perkasa, manusia yang sama sekali tidak mempunyai etika- etika yang melemahkan, seperti rasa kasihan, sifat menyayangi, mengasihi dan mencintai, sifat ingin berbuat baik kepada orang

p: 213

lain, sifat ramah-tamah, sifat ingin membantu dan menolong sesama, dan seterusnya.

Menurut Nietzsche, etika-etika inilah yang menjadikan manusia lemah, pasif, mati, dan tidak kreatif. Etika-etika inilah yang mencegah dan menghalangi gerak takamul (evolusi) manusia dan mencegah munculnya manusia unggul, insan kamil dan manusia yang lebih kuat. Pada titik inilah Nietzsche bertentangan dengn Socrates dan al-Masih juga.

Socrates dalam kitab etikanya menekankan pentingnya apa yang disebut Nietzsche sebagai “etika-etika lemah” dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia yang aman dan damai.

Al-Masih bahkan mendakwahkan kelemahan (terminologi Nietzsche). Nietzsche justru melihat etika-etika ini merupakan titik-titik lemah manusia. Sejauhmana manusia dapat menghilangkan etika-etika tersebut dari dirinya, sejauh itu pula ia telah melangkahkan kaki menuju kesempurnaan, karena kekuatan adalah kesempurnaan dan kelemahan adalah kekurangan.

Ringkasan dari Beberapa Pandangan Nietzsche

Furughi, dalam buku sejarah filsafat Eropanya yang berjudul Sair Hikmat Dar Urupo jilid ketiga, menulis:

"Semua ilmuwan-ilmuwan dan filosof dunia mencela sifat mementingkan diri sendiri dan memuji sifat mementingkan dan mengasihi orang lain. Tetapi Nietzsche bertentangan dengan mereka semua, membenarkan sifat egois dan mementingkan diri sendiri serta menganggap sifat mengasihi orang lain sebagai suatu kelemahan.” Benarkah sifat belas kasih itu merupakan bentuk kelemahan diri?

p: 214

“Dari teori Darwin, Nietzsche menerima prinsip ‘berjuang untuk bertahan hidup' dan mengartikannya dengan 'berperang untuk bertahan hidup. Jadi, menurutnya (setelah menyalahartikan prinsip tersebut), manusia harus berperang satu dengan yang lain untuk memperoleh kekuatan, kekuasaan, dan kemenangan.

Mereka yang menginginkan kebaikan di dunia ini pada umumnya lebih mementingkan dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Kepentingan mayoritas harus didahulukan, baru kemudian kepentingan minoritas, Nietzsche menentang arus ini. Ia memandang hina mayoritas dan hanya menganggap mulia kaum elite minoritas. Ia hanya melihat kaum elite minoritas yang berhak lebih dahulu mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Harapan dan tujuan Nietzsche, ialah terciptanya suatu golongan elite minoritas yang kekuatan dan kekuasaannya melebihi masyarakat mayoritas.

Kalau kebanyakan orang mengatakan, jangan kau kerjakan ini dan itu karena pekerjaan tersebut bertentangan dengan etika dan akhlak, Nietzsche justru mengatakan, kerjakan dan lakukan apa saja yang menjadi tuntutan nafsumu (apa saja yang kamu inginkan), karena inilah etika yang benar dan hanya inilah pekerjaan yang baik. Prinsip hidup Nietzsche adalah bagaimana kita di dunia dapat menikmati lebih banyak tanpa sedikit pun berkorban atau hanya dengan sedikit pengorbanan.

(Nietzsche mengatakan): “Apa saja yang dapat membantu terlaksananya tujuan ini, walaupun itu berupa kekerasan, kekejian, penipuan, perang, debat, dan sebagainya, wajib dan baik hukumnya. Sebaliknya, apa saja yang mencegah dan menghambat terlaksananya tujuan ini, walaupun itu kebenaran, belas kasihan, kemuliaan etika, taqwa dan sebagainya, harus segera diperangi dan

p: 215

dilawan. Pernyataan yang menggembar-gemborkan persamaan hak antara umat manusia, bangsa-bangsa, kabilah-kabilah, suku- suku, dan golongan-golongan, adalah pernyataan yang salah dan tak ada bedanya dengan omong kosong." Menurut Nietzsche, salah besar jika semua manusia disamakan hak-hak mereka satu sama lain, karena berarti kita meletakkan orang-orang lemah sejajar dengan orang-orang kuat, dan dengan demikian kita telah menyia-nyiakan kekuatan mereka. Biarlah yang lemah tersungkur dan tertindas di bawah kaki yang lebih kuat, supaya lahan terbuka untuk mereka yang lebih kuat, sehingga pada gilirannya akan muncul manusia unggul, insan kamil, dan manusia yang tak seorang pun dapat menandingi kekuatan dan kekuasaannya.

Nietzsche memandang bahwa masyarakat harus terbagi menjadi dua bagian: Para tuan atau penguasa dan para hamba atau yang dikuasai. Martabat dan kemuliaan hanya diperuntukkan bagi tuan dan penguasa, karena merekayang menjadi tujuan keberadaan ini. Sedang para hamba hanya merupakan alat dan perantara untuk terlaksananya tujuan mereka. Tatanan sosial dan kenegaraan pada hakikatnya dibentuk dan ditegakkan untuk perkembangan kerja masyarakat kelas atas, bukan supaya masyarakat atas menjaga dan melindungi hak-hak masyarakat bawah.

Baginya, kemasyarakatan dibentuk hanya supaya para penguasa dapat menikmati kehidupan yang mewah, sedang mereka yang dikuasai tak ubahnya seperti kuda dan keledai yang harus memikul beban untuk para penguasa.

Berikutnya Nietzsche mengatakan “Para tuan dan penguasa harus mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang tinggi,

p: 216

karena hanya dari merekalah akan lahir manusia-manusia unggul, bukannya dari kaum lemah.” Mengenai perbaikan keturunan manusia dan peningkatan kualitasnya, beberapa pemikir barat seperti Alexis Carel, penulis buku berjudul “Manusia Makhluk yang Misterius”, mengusulkan untuk tidak memberi hak mengembangkan keturunan pada golongan manusia lemah.

Prinsip-prinsip etika yang sampai sekarang diikuti masyarakat umum, yang telah disusun untuk kepentingan bersama antara masyarakat atas dan bawah, harus segera dibuang dan diganti dengan prinsip-prinsip etika baru yang hanya mempedulikan kepentingan masyarakat atas saja, demikian Nietzsche memberikan pendapatnya.

Artinya, menurut keyakinan Nietzsche, kebaikan, kebenaran, dan keindahan bukanlah hal-hal yang hakiki dan mutlak. Yang hakiki dan mutlak ialah keinginan semua orang memperoleh kekuatan dan kekuasaan.

Kemudian, ia mengecam keras agama-agama. Ia berkata:

“Agama telah mengkhianati manusia karena mengajak dan menganjurkan pada manusia untuk berlaku adil dan melindungi mereka yang lemah, di saat belum satu pun agama muncul, di mana hukum rimba masih berlaku, itulah sebenarnya masa yang baik. Siapa yang lebih kuat, boleh memakan yang lemah sehingga sedikit demi sedikit yang lemah akan punah.

Nietzsche kemudian mengecam Socrates, Isa al-Masih, dan Budha. Ia berkata:

“Etika Kristen adalah etika kehambaan, ia telah merusak etika ketuanan. Slogan persaudaraan, persamaan hak, perdamaian, menjaga hak-hak wanita dan orang-orang lemah, dan seterusnya

p: 217

yang sekarang memenuhi dunia, bersumber dari etika kehambaan tersebut. Ini semua adalah penipuan dan pengelabuan yang mengakibatkan kemiskinan, kelemahan, dan kemunduran.

Prinsip (kehambaan) ini harus segera diubah dan diganti dengan prinsip ketuanan.

Apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip ketuanan itu? Yaitu mengesampingkan pemikiran dan keyakinan tentang adanya Tuhan dan kehidupan ukhrawi. Manusia harus membuang jauh- jauh rasa kasihan dan belas kasih dari hatinya. Rasa belas kasih bersumber dari kelemahan; ketaatan dan rendah hati berasal dari kehinaan jiwa; kesabaran, sifat memaafkan, dan pengampunan kesalahanoranglainbersumberdariketiadaantekaddankelemahan.

Penekanan harus senantiasa berlaku. Manusia harus sampai pada tingkat manusia unggul (superman). Manusia unggul ialah manusia yang berada di atas kebaikan dan keburukan, penuh kemauan yang keras dan tekad yang kuat.

Tentang wanita, Nietzsche berkata: “Persamaan hak antara wanita dan laki-laki serta keharusan menjaga dan menghormati hak-hak wanita juga termasuk kata-kata kosong. Laki-laki adalah pokok dari segalanya. Lelakilah yang harus pergi berperang, wanita tak lebih dari sekadar penghibur mereka yang pulang dari perang dan alat untuk melahirkan”.

Inilah gambaran manusia ideal, insan kamil dan manusia unggul, jika dilihat dari kaca mata kekuatan dan kekuasaan.

Sebagai lawan paham kekuasaan adalah paham kelemahan, yang justru melihat kesempurnaan manusia terletak pada kelemahannya. Kelemahan ini sangat ditekankan dalam etika Kristen dengan prinsip “bila dipukul pipi kanan, maka berikan

p: 218

pipi kiri”. Kelemahan dapat menjanjikan perdamaian bagi dunia yang penuh konflik dan telah tergenang darah ini.

Logika Islam tentang Kekuasaan

Apa logika Islam tentang kekuasaan? Adakah Islam mendakwahkan kekuatan dan kekuasaan? Ataukah sebaliknya, Islam mendakwahkan kelemahan? Atau tidak dua-duanya dan memberikan alternatif lain? Jawabannya ialah: Islam mendakwahkan kekuasaan, namun bukan kekuasaan ala Nietzsche, melainkan kekuasaan yang darinya tumbuh sifat- sifat mulia manusia, belas kasih, cinta sesama, membantu yang membutuhkan pertolongan, ramah, kasih sayang, dan sebagainya.

Tidak diragukan bahwa Islam telah mendakwahkan kekuatan dan kekuasaan. Kita dapat menemukan banyak nash dari Al-Quran dan hadis yang menguatkan hal ini. Mereka yang mengadakan telaah tentang Islam akan berkesimpulan bahwa tak satu agama pun di antara sekian banyak agama yang mendakwahkan kekuatan dan kekuasaan seperti Islam.

Will Durant dalam jilid kesebelas kitab sejarah peradabannya, (bab yang memang ia khususkan pada pembahasan mengenai sejarah peradaban Islam), menyatakan:

“Tak satu agama pun kecuali Islam yang mendakwahkan kekuatan dan kekuasaan bagi para pengikutnya.” Berikut ini adalah serangkaian ayat Al-Quran yang berbicara mengenai kekuatan.

"Hai Yahya! Ambillah kitab (Taurat) dengan kekuatan (sungguh-sungguh).(QS. Maryam: 12).

p: 219

“Berapa banyak nabi, yang berperang bersamanya kaum ribbiyyun (ilahiyyun) sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa. Mereka itu tidak takut pada (bahaya) yang menimpa mereka di jalan Allah dan tiada lemah dan tiada pula tunduk (kepada musuh), Allah mengasihi orang-orang yang sabar.” (QS.

Ali `Imran: 146).

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaff: 4).

“Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersamanya (mukminin) sangat keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang terhadap sesama mereka...” (QS. Al-Fath: 29).

“Hendaklah kau kerahkan seluruh kekuatanmu untuk melawan mereka dan sediakan juga kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya” (QS. Al-Anfal: 60).

“Perangilah pada jalan Allah orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah:

190).

Ayat-ayat itu merupakan bukti bahwa Islam memuji dan memberi nilai tinggi pada qudrah dan kekuatan.

Keberanian (syaja'ah) dalam Islam adalah suatu hakikat yang terpuji. Izzah yang berarti kemuliaan dan kehormatan, merupakan suatu nilai mulia dalam Islam yang menjadikan seorang mukmin tidak akan dengan mudah atau seenaknya bisa dipermainkan.

Kekuatan pada diri seseorang atau masyarakat yang dikerahkan untuk melawan semua unsur-unsur yang bertujuan menghina

p: 220

atau menguasai, juga mengantar kepada suatu maqam yang sangat terpuji dan tinggi dalam Islam.

Islam memang memerintahkan pengikutnya untuk memerangi musuh-musuhnya. Namun demikian, Islam juga memperingatkan mereka agar tidak melupakan kebenaran dan keadilan (tidak melampaui batas).

Dalam tafsir mengenai ayat tadi dijelaskan: Ketika kalian berperang, teruslah berperang dan jangan sekali-kali mengalah selama musuh-musuh kalian tidak berhenti menyerang. Namun, ketika musuh kalian sudah menyerah dan meletakkan senjata, kalian juga harus menghentikan peperangan. Jika tidak, maka sesungguhnya kalian telah melampaui batas yang telah digariskan oleh Islam. Janganlah kalian membunuh orang-orang tua, anak- anak, dan wanita, jangan ganggu mereka. Jangan serang mereka yang lari dari peperangan. Kalian hanya berhak berperang dengan mereka yang juga memerangi kalian. Inilah serangkaian aturan- aturan yang terdapat dalam Al-Quran dan masih banyak lagi ayat- ayat yang senada.

Kekuatan dan Kekuasaan dalam Hadis

Di bawah ini ada beberapa hadis yang mengecam sifat pengecut, lemah, dan penakut, di samping memuji kekuatan dan kekuasaan. Namun, pujian Islam terhadap kekuatan dan kekuasaan, sama sekali tidak berbau filosofi hutan rimba suguhan Nietzsche.

Rasulullah saw bersabda: “Ada dua hal yang tidak layak bagi seorang mukmin, yang pertama kebakhilan dan yang kedua sifat pengecut.”

p: 221

Dalam doanya beliau berucap: “Ya Allah! Aku berlindung pada-Mu dari dua hal, yaitu bukhl (kikir) dan sifat pengecut.” Manakala berbicara tentang siapa sebenarnya orang mukmin, Imam Ali as berkata, “Mukmin adalah pribadi yang ruhnya lebih keras dan lebih kuat dari lempengan-lempengan baja.” Imam Shadiq as berkata: “Allah SWT telah memberikan ikhtiar seluruhnya kepada seorang mukmin, kecuali dalam satu hal, yaitu menghina dan merendahkan harga dirinya. Tidakkah kau mendengar firman Allah SWT yang berbunyi (wa lillahil izzatu wa li rasulihi wa lil mu'minin)?” Kemudian beliau melanjutkan:

“Mukmin lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya dari gunung, karena bagaimanapun batu-batu gunung masih bisa dipecahkan dengan besi pencukil. Namun, tak satu besi pencukil pun yang dapat memecah-belah ruh (agama) seorang mukmin.” Imam Baqir as berkata: “Allah SWT telah memberi tiga khislah dan ciri untuk seorang mukmin: (kemuliaan) izzah di dunia dan akhirat, keuntungan di dunia dan akhirat dan haibah, yaitu rasa takut di hati orang-orang zalim terhadapnya.” Rasulullah saw berkata: "Nabi Ibrahim adalah seorang pemberani, sedangkan aku lebih berani darinya. Semoga Allah memotong hidung orang yang tidak cemburu pada mukminin dan muslimin.” Iqbal Lahore pernah mengucapkan suatu ungkapan yang sangat indah, seakan ia mengatakannya dengan tujuan meralat ungkapan Musolini yang berbunyi “Siapa yang punya besi, maka dia punya roti.” Maksudnya, jika kau ingin roti, maka kau harus terlebih dahulu memiliki senjata dan besi. Siapa yang mempunyai kekuatan, maka dia akan dengan mudah memiliki roti. Iqbal berkata: “Siapa yang dirinya itu besi, maka sudah barang tentu

p: 222

ia punya roti.” Musolini bersandar pada kekuatan materi, sedang Iqbal bersandar pada kekuatan ruh dan jiwa. Sebagaimana Amirul Mukminin Alias mengatakan bahwaruh mukmin itu lebih kuat dari besi, Iqbal mengatakan ruh mukmin itu adalah besi baja yang kuat.

Lihatlah bagaimana Ali as mendakwahkan kekuatan dan menyatakan bahwa kelemahan tidaklah layak bagi masyarakat Islam. Beliau berkata: “Demi Allah! Tidak akan diperangi suatu kaum di tengah-tengah negeri mereka kecuali mereka itu lemah dan hina." Di tempat lain beliau berkata, “Tidak akan diraih hak, kecuali dengan semangat dan usaha keras”. “Seorang pengecut tidak akan dapat memerangi kezaliman dan mencegahnya.” Hak: Pemberian atau Hasil Usaha? Orang-orang Barat mengatakan bahwa hak adalah sesuatu yang harus diraih, yakni apa saja yang dapat diraih oleh seseorang dalam hidupnya akan menjadi miliknya. Sebagian paham berkeyakinan bahwa hak adalah suatu pemberian, dengan pengertian bahwa setiap orang yang lahir di dunia ini, akan memiliki serangkaian hak-hak yang tidak boleh direbut oleh orang lain. Karenanya, orang-orang zalim harus mengembalikan hak-hak kaum terzalimi (madzlumin). Wajar bila mereka menolak untuk mengembalikan hak-hak madzlumin, jika mereka berkeyakinan bahwa hak adalah sesuatu yang harus diraih dan diambil, bukan suatu pemberian.

Kristen terbentuk berdasarkan keyakinan: “Kita menyarankan pada si zalim untuk mengembalikan hak-hak kalian yang madzlum, tapi jangan sekali-kali memberontak untuk merebut hak-hak kalian darinya. Karena yang demikian ini bertentangan

p: 223

dengan kemanusiaan dan akhlak. Jadi, menurut Kristen hak merupakan pemberian.

Sebagian lain berkeyakinan bahwa hak adalah sesuatu yang harus diraih. Mungkinkah si zalim yang telah merebut hak-hak si madzlum mau begitu saja mengembalikan hak-hak tersebut pada mereka? Golongan ini mengingkari dan tidak percaya pada rasa belas kasih, kemanusiaan, naluri insani, dan rasa kasihan.

Menurut Islam, hak adalah sesuatu yang harus diraih dan sekaligus merupakan suatu pemberian. Maksudnya, kita harus berjuang dalam dua front untuk mendapatkan hak-hak kita. Kepada mereka yang merampas hak orang lain, Islam dengan pengajaran dan pendidikannya berusaha menyadarkan mereka agar mengembalikan hak-hak yang mereka rampas dari pemiliknya yang sah. Di samping itu Islam juga memerintahkan kepada mereka yang hak-haknya dirampas untuk merebut kembali hak-hak mereka dari tangan-tangan serakah para perampas yang zalim.

Imam Ali as dalam suratnya kepada Malik al-Asytar, menukil dari Rasulullah saw: “Suatu umat dan kaum tidak akan mencapai maqam kesucian dan kekudusan kecuali jika yang lemah dari mereka, berani meminta kembali haknya dari mereka yang kuat tanpa rasa takut.”.

Islam tidak menerima si dhaif (lemah) yang tidak dapat (mampu) menuntut kembali haknya dari si zalim. Suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang begitu lemahnya sehingga tidak dapat menuntut hak-hak mereka dari kaum zalim bukanlah masyarakat Islam.

p: 224

Kekuatan Ruh dan Fisik Rasulullah saw

Lihatlah pribadi Nabi besar kita. Manusia yang bagaimanakah beliau itu? Salah satu dari kelebihan-kelebihan beliau ialah kekuatan ruh dan badannya, beliau memiliki keduanya.

Penulis kitab “Muhammad adalah seorang Nabi yang harus dipelajari lagi” mengatakan: “Muhammad adalah sebuah contoh kepribadian yang tidak pernah putus asa. Keteguhan hatinya di segalasuasana bakgunungyang kokoh, tak sedikitpuntergoyahkan.

Walaupun beliau berada pada situasi dan kondisi yang secara sosial politis tidak memberikan harapan apa pun padanya, ia tetap teguh, berdiri dengan keberaniannya untuk meraih kemenangan.

Sungguh mengherankan kekuatan ruhi Muhammad saw dalam masa 23 tahunperjuangannya, sehinggasiapapunyang mempelajari sejarahnya akan tercengang melihat kebesaran pribadi beliau saw.

Hassan bin Tsabit dalam syair pujiannya kepada baginda Rasul saw berkata:

Beliau memiliki cita-cita yang tak terbatas keagungannya Cita-cita kecilnya saja lebih luas dari masa dan waktu Lebih dari itu, kekuatan zhahiri (fisik) beliau tercermin dalam seorang laki-laki yang berbadan bak seorang panglima perang, kuat, dan kekar. Beliau tidak kurus dan tidak gemuk.

Beliau berbadan atletis, sangat lincah, dan gesit. Memang akan mengagumkan jadinya, jika seseorang memiliki dua kekuatan, ruh, dan badan sekaligus.

Keberanian beliau begitu besarnya sampai Imam Ali as berkata: “Dalam situasi dan kondisi yang sangat genting dan menakutkan di peperangan, kita semua berlindung pada Rasul saw.”

p: 225

Dari gambaran pribadi Rasul saw ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam menganggap kekuatan sebagai suatu nilai yang harus dimiliki oleh setiap muslim.

Islam memandang kekuatan hanya merupakan satu nilai dari serangkaian nilai-nilai insani yang jika semuanya itu terkumpul pada satu pribadi, maka yang muncul adalah insan kamil Islam.

Kekuatan yang dipuji dalam Islam jauh berbeda dengan kekuatan yang didambakan oleh Nietzsche, yang menganggap kekuatan adalah satu-satunya nilai bagi manusia.

Sedangkan menurut Islam kekuatan hanya merupakan salah satu hal dari serangkaian nilai-nilai insani yang harus dikejar dan dicapai oleh setiap muslim. Dengan kata lain, dalam aliran Nietzsche manusia hanya punya satu nilai tidak lebih, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Tapi Islam hanya akan menganggap kekuatan sebagai nilai jika telah bergabung dengan nilai-nilai lain yang juga akan memberi arti lain pada kekuatan itu sendiri.

p: 226

Bagian 11

STUDI KRITIS ATAS ALIRAN QUDRAH DAN MAHABBAH

Point

p: 227

p: 228

«إِنَّ اللَّهَ یَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِیتَاءِ ذِی الْقُرْبَی وَیَنْهَی عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْکَرِ وَالْبَغْیِ یَعِظُکُمْ لَعَلَّکُمْ تَذَکَّرُونَ » Sesungguhnya Allah menyuruh melakukan keadilan dan berbuat kebajikan, serta memberi karib kerabat, dan melarang berbuat yang keji dan yang mungkar serta kezaliman. Dia mengajarkan kepadamu, mudah-mudahan kamu mendapat peringatan. (QS. An-Nahl: 90).

kita telah mengetahui bahwa para penganut aliran “qud- rah” (mazhab kekuatan) meyakini bahwa kesempurnaan Lidentik dengan kekuatan dan kekuasaan, sedangkan kelemahan identik dengan kekurangan. Bahkan kebaikan dan keburukan secara menyeluruh ditimbang dan dinilai berdasarkan neraca ini. Artinya, kekuatan berarti kebaikan, yakni yang kuat adalah yang baik. Sedangkan keburukan berarti kelemahan, yakni yang lemah adalah yang buruk.

Para filosof biasanya memusatkan arah pembahasan- pembahasannya pada kesempurnaan dan kekurangan, sedang mutakallimin mendasarkan pada kebaikan dan keburukan. Dalam aliran ini (kekuatan dan kekuasaan), keduanya (kesempurnaan dan kekurangan juga kebaikan dan keburukan) diukur dan dinilai dengan strandar kekuatan serta kelemahan.

Ketika para filosof dan mutakallimin mengatakan kesempurnaan dan kebaikan, yang mereka (aliran qudrah) maksudkan adalah kekuatan, dan ketika mengatakan kekurangan dan keburukan, yang mereka maksudkan adalah kelemahan.

Dalam aliran qudrah, sudah barang tentu kebenaran dan kebatilan serta keadilan dan kezaliman dinilai dan diukur

p: 229

berdasarkan neraca kekuatan dan kelemahan juga. Artinya, kebenaran bukanlah sesuatu yang terpisah dari kekuatan, dan kebatilan juga bukanlah sesuatu yang terpisah dari kelemahan.

Berdasarkan pengertian di atas, jika terjadi perkelahian antara dua orang di mana yang satu lebih kuat dari yang lain sehingga ia menang. Maka menurut penilaian, aliran ini orang yang lebih kuat dan menang itu harus dibenarkan, karena ia lebih sempurna, lebih baik dan dianggap lebih adil, walaupun pada hakikatnya ia sebagai pihak yang salah. Sedang orang yang lemah dan kalah adalah orang yang patut disalahkan karena dinilai kurang, buruk, batil, dan zalim, walaupun pada hakikatnya ia berdiri pada pihak yang benar dan terzalimi.

Kesalahan-kesalahan Aliran Qudrah

Kesalahan pertama: Aliran ini telah mencampakkan seluruh nilai-nilai insani kecuali kekuatan. Memang tidak diragukan bahwa kekuatan merupakan salah satu nilai insani dan suatu kesempurnaan bagi manusia. Juga tidak disangsikan bahwa kekuatan sama dengan kesempurnaan. Namun, bukan berarti kesempurnaan mesti disamakan dengan kekuatan. Karenanya, para hukama' dan filosof, setelah membuktikan bahwa Zat “Wajibul wujud” (Allah) adalah wujud murni (dan wujud murni sama dengan kesempurnaan), berkesimpulan bahwa setiap sesuatu yang sama dengan kesempurnaan berarti ada pada Zat Allah SWT, termasuk kekuatan dan kekuasaan. Qudrah sendiri pada dasarnya terpisah dari segalanya. Qudrah merupakan suatu sifat kesempurnaan, tak ubahnya seperti ilmu, iradah, ikhtiar, hayat, dan seterusnya.

p: 230

Berdasarkan ini, tidak boleh diragukan bahwa kekuatan itu sendiri merupakan suatu kesempurnaan bagi manusia.

Berdasarkan ini pula, aliran yang cenderung pada kelemahan dan mendakwahkan kelemahan telah benar-benar melakukan kesalahan besar. Namun, yang sangat perlu ditekankan di sini bahwa kekuatan dan kekuasaan bukanlah satu-satunya kesempurnaan bagi manusia. Sebagaimana juga pada Zat Allah, kekuatan (qudrah) bukan merupakan satu-satunya “sifat kamaliyyah” dan “Asma al-Husna” yang salah satu di antaranya adalah qudrah (kekuatan). Sifat kamaliyyah Allah SWT tidak hanya tertumpah pada qudrah saja.

Kesalahan Kedua: Kesalahan kedua dari aliran ini, yang kalau tidak lebih besar maka tidak lebih kecil dari kesalahan pertama, terletak pada pengertian qudrah itu sendiri. Yang lebih memprihatinkan, bukan hanya pengabaian seluruh nilai-nilai insani kecuali kekuatan, aliran ini ternyata belum memahami dengan baik apa sebenarnya qudrah dan kekuasaan itu. Aliran ini hanya mengenal satu aspek dari seluruh dimensi kekuatan, yaitu "kekuatan hewani”, yakni kekuatan yang terletak pada otot-otot hewan (tenaga hewan), di mana seluruh kekuatan hewan berpusat pada kekuatan otot-ototnya dan semua kehendaknya bersumber dari nafsu.

Kelebihan manusia dari hewan sesungguhnya terletak pada terdapatnya sumber-sumber kekuatan pada diri manusia selain kekuatan otot. Jika disebutkan bahwa kita mendukung aliran qudrah, maka yang dimaksud adalah berbeda dengan aliran qudrah Nietzsche yang mendakwahkan antara lain:

“Manusia harus meraih kekuatan dan kekuasaan kemudian membasmi mereka yang lemah, menuruti kemauan diri tanpa

p: 231

pernah menahannya dan sedapat mungkin meraih semua bentuk kenikmatan material di dunia”. Tidak demikian dengan pengertian qudrah di dalam Islam. Aliran qudrah kita tidak akan menganjurkan hal-hal seperti di atas, karena definisi mereka memang terbatas pada dimensi materi.

Qudrah Ruhi

Di sini kita akan melihat qudrah berdasarkan tolok ukur Islam. Ada sebuah kisah tentang Rasulullah saw dengan beberapa anak muda Madinah.

Pada suatu hari, ketika berjalan melewati lorong-lorong kota Madinah, beliau saw melihat sekumpulan pemuda yang sedang mengadu kekuatan mengangkat batu. Setiap dari mereka berusaha mengangkat batu yang lebih berat dari yang lain, tak ubahnya seperti olahraga angkat besi sekarang. Beliau saw menghentikan langkahnya dan berkata pada mereka. “Bagaimana jika aku yang menjadi juri dalam pertandingan ini?" Dengan gembira mereka berkata, “Alangkah baiknya, ya Rasulullah! Jika Anda mau menjadi wasit dalam pertandingan ini untuk menentukan siapa yang terkuat di antara kami.” Beliau berkata “Baiklah! Jika kalian telah menerimaku sebagai wasit, maka aku putuskan tidak perlu mengangkat batu dan aku akan memberi kalian suatu tolok ukur untuk menentukan siapa yang terkuat di antara kalian.” Mereka bertanya, “Siapa yang terkuat di antara kita?” Beliau menegaskan, “Siapa yang hawa nafsunya mengajaknya pada suatu maksiat dan dirinya terdorong keinginan yang sangat untuk melakukannya, tapi kemudian ia berhasil mengalahkan kemauannya, maka dialah yang sebenarnya paling kuat di antara kalian.”

p: 232

Rasulullah saw memandang kekuatan kehendak dan iradah harus diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari sekadar keinginan dan kemauan nafsu. Menurut beliau saw, kekuatan manusia tidak hanya dimiliki orang yang mampu mengangkat beban berat atau orang yang dapat mengangkat batu lebih berat dari yang lain. Jika hanya satu dimensi dari kekuatan manusia yang ditonjolkan, yaitu dalam hal ini kekuatan otot, maka manusia pada taraf ini sama sekali tidak berbeda dengan hewan. Kekuatan otot atau fisik memang merupakan salah satu unsur kesempurnaan bagi manusia. Namun, ada yang lebih tinggi dari kekuatan ini, yaitu kekuatan iradah. Kekuatan iradah memberi manusia kemampuan untuk tidak mengikuti hawa nafsu secara membuta, yang dapat menjerumuskannya ke dalam jurang kegelapan dan kesesatan. Iradah dapat memberi manusia kekuatan untuk bersabar, bertahan, dan berjuang menghadapi godaan serta rayuan hawa nafsunya.

Berdasarkan logika ini, Akhlak Islami dan sastra-sastra irfani menyebut masalah menentang hawa nafsu yang buruk sebagai qudrah.

Rasulullah saw berkata: “Manusia yang paling berani adalah yang dapat mengalahkan hawa nafsunya.” Kegagahan (yakni kekuatan dan qudrah) tidak bisa ditunjukkan dengan kepalan tangan yang mampu memukul serta meremukkan rahang lawan. Kegagahan yang sebenarnya tampak dari kondisi ketika kemauan-kemauan nafsani seseorang menuntut sesuatu, ia mengutamakan untuk memaniskan mulut orang lain sebagai ganti dari mulutnya sendiri. Maulawi berkata:

Di mana dapat kutemukan laki-laki Pada saat syahwat dan kemarahan datang?

p: 233

Aku mencari laki-laki yang begini Mana? Di mana dia? Menurut Maulawi, laki-laki yang sesungguhnya ialah orang yang ketika amarahnya memuncak dan menyala bak api unggun, ia masih mempunyai iradah kuat dan mampu meredamnya, atau pada saat syahwat bergejolak, berkobar, dan hendak memperdayakannya, ia masih mampu bangkit untuk menghadapinya. Inilah sebenarnya kekuatan, keperkasaan, dan kegagahan yang sejati.

Seluruh kemuliaan akhlak yang menurut Nietzsche merupakan kelemahan, jika benar-benar dilihat dengan mata kebenaran, pada hakikatnya dialah kekuatan dan qudrah. Memang benar, dalam beberapa masalah terkadang hal-hal yang pada kenyatannya bukan kekuatan melainkan merupakan kelemahan, dirancukan (dikacaukan) dengan kekuatan.

Karenanya, Ulama Akhlak menegaskan: “Belas kasih harus disertai dengan akal dan iman.” Artinya, tersentuhnya rasa belas kasih atau emosi seseorang saja tidak bernilai apa pun tanpa terlebih dahulu diukur dengan standar rasio, adakah perasaan dan emosi itu logis dan pada tempatnya atau tidak?

Belas Kasih pada Tempatnya dan yang Tidak pada Tempatnya

Sa'di dalam syairnya berkata:

Berbelas kasih kepada harimau yang bergigi tajam Sama dengan berbuat zalim Pada sekumpulan kambing dan domba

p: 234

Mengasihi singa atau serigala pemangsa berarti menzalimi kambing dan domba secara tidak langsung. Artinya, sikap mengasihi (tarahhum) terhadap seekor serigala yang telah memangsa beratus-ratus domba, berarti permusuhan dan kekerasan (qasawah) terhadap domba-domba.

Perkataan Sa'di ini hanyalah sebuah matsal (perumpamaan), yang maksudnya ialah: Mengasihi orang yang zalim berarti secara tidak langsung menzalimi orang-orang lemah dan yang dizalimi.

Al-Quran ketika membicarakan hukuman untuk pezina (zani) dan zaniyah (pezina perempuan) menegaskan: Jika seorang laki-laki yang telah beristri berbuat zina, hukumannya adalah rajam, demikian juga halnya dengan wanita yang telah bersuami. Hukumlah mereka dan seyogyanya sekelompok dari muslimin hadir untuk menyaksikan perajaman mereka. Pada saat ini biasanya jiwa-jiwa yang lemah, yang tidak memikirkan kemaslahatan masyarakat luas, terusik perasaan belas kasihnya dan timbul keinginan untuk mengampuni dan membebaskan mereka berdua dari hukuman rajam.

Dalam Al-Quran surat an-Nur ayat 2 dijelaskan:

“Jangan sekali-kali kamu merasa kasihan terhadap mereka dalam menjalankan agama Allah, jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari kemudian.” Betapa pun menyakitkan, hukuman Allah harus dijalankan.

Hukuman ilahi telah disusun dan dirancang berdasarkan mashalih (kebaikan) umat manusia itu sendiri, dan tidak ada tempat bagi ampunan atau belas kasih. Belas kasih dan ampunan di sini secara tidak langsung berarti kezaliman terhadap masyarakat luas.

Pada saat ini, kita sering menjumpai individu-individu yang menentang berlakunya hukuman mati (i’dam). Mereka

p: 235

berpendapat bahwa eksekusi adalah suatu hukuman yang tidak manusiawi. Buat mereka seorang penjenayah atau pelaku kejahatan tidak seharusnya dihukum mati, tak peduli apa pun kejahatan yang telah dilakukannya. Apa pun alasan dan dalihnya, yang jelas mereka bersikeras bahwa penjenayah harus di-ishlah (diperbaiki), dibimbing, dan dibenahi, bukan dihukum.

Mereka benar-benar telah jatuh dalam jurang mughalathah (kesesatan penalaran, fallacy) yang sangat dalam! Tidak ada yang meragukan bahwa manusia itu harus dibimbing serta diberikan ta'lim dan tarbiyah. Namun demikian, perbaikan itu harus dilakukan sebelum ia melakukan kejahatan. Dengan kata lain, manusia harus dibenahi agar tidak melakukan kejahatan. Jika ia telah melakukan suatu kejahatan, maka ia harus dihukum lebih dulu untuk kemudian dibenahi kembali. Seandainya hukuman mati dihapus, maka mereka yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan, seperti pembunuhan misalnya, dan ia belum mendapatkan pembenahan, atau mereka yang memang berjiwa kriminil, akan berani dan tak segan-segan melakukan kejahatan tanpa ada hukuman yang perlu ditakutkan. Kondisi seperti ini merupakan lampu hijau bagi yang berpotensi untuk melakukan kejahatan atau penyebab sejati untuk berbuat segala macam tindakan kriminal sesuka hatinya tanpa ada yang mencegah mereka. Bahkan, secara tidak langsung berarti kita telah mendorong terjadinya kriminalitas.

Mengapa tangan pencuri harus dipotong? Hukuman yang sepintas kelihatan keji dan sadis ini terkadang betul-betul mengusik rasa kasihan dan menimbulkan perasaan tidak tega.

Reaksi yang demikian hanya terjadi pada mereka yang berpikiran dangkal.

p: 236

Coba lihat dan bacalah kembali kolom-kolom kriminalitas di surat-surat kabar! Akibat kejahatan pencurian saja, bukan hanya terjadi kerugian berupa sekian banyak harta yang telah digarong, tapi lebih pada dari itu, bahkan sangat banyak pembunuhan- pembunuhan yang terjadi sebagai bentuk dari pencurian.

Jika hukuman potong tangan diberlakukan dan pencuri yakin bahwa jika ia mencuri akan kehilangan tangannya, maka untuk selamanya ia tidak akan berani mencuri lagi. Demi Tuhan! Jika beberapa pencuri atau satu pencuri saja dihukum potong tangan di depan khalayak ramai, maka pintu peristiwa pencurian akan tertutup untuk selamanya.

Para jamaah haji yang pergi ke Makkah sekitar lima puluh atau enam puluh tahun yang lalu pasti mengetahui betapa dahsyatnya peristiwa pencurian yang terjadi di Hijaz (Saudi Arabia sekarang) yang selalu terjadi pada saat itu. Setiap rombongan haji yang menuju Makkah dengan onta atau sejenisnya (saat itu belum tersedia fasilitas transportasi udara atau kendaraan bermotor), hampir selalu bisa dipastikan akan ditodong dan dijarah di tengah perjalanan. Bahkan pernah sebuah kafilah besar yang terdiri dari dua ribu orang dan dikawal oleh tentara dirampok sehingga lenyaplah sejumlah besar uang dan semua barang-barang berharga mereka. Akhirnya, pemerintah Saudi menjalankan hukuman potong tangan bagi para penodong dan pencuri. Setelah berselang tidak lebih dari dua tahun sejak berlakunya hukuman ini, di sana setiap pencuri digiring ke Arafah, Mina, atau tempat yang dihadiri oleh banyak jamaah haji untuk dipotong tangan mereka di depan khalayak ramai, akhirnya mereka yang biasa menodong dan mencuri serentak meninggalkan pekerjaan ini dan tidak pernah terjadi lagi peristiwa pencurian. Begitu amannya jalur-jalur

p: 237

perjalanan haji menuju Makkah, sehingga barang-barang yang sudah berhari-hari terjatuh dalam perjalanan, tak seorang pun berani menyentuh atau bahkan hanya menggoyangnya dengan kaki sebelum pemiliknya diketahui. Ini semua dikarenakan hukuman yang benar telah diberlakukan pada tempatnya.

Rasa kasihan atau tarahhum yang mencegah pelaksanaan hukuman pada mereka yang melakukan kejahatan adalah rasa kasihan yang tidak logis dan sepenuhnya tidak berdasar. Ini tiada lain adalah kekerasan, kekejaman, dan kezaliman yang bertopeng perasaan belas kasih yang pada hakikatnya tidak dapat dianggap tarahhum.

Berdasarkan ini, aliran qudrah yang selalu menyebut-nyebut kekuatan dan mengatakan bahwa insan kamil adalah manusia yang kuat, memiliki kekuatan yang sempurna, dan berhasil membuang aspek-aspek lemahnya, sebenarnya di samping tidak mengenal semua nilai-nilai insani, mereka juga tidak tahu dan tidak mengerti apa hakikat kekuatan yang sesungguhnya.

“Kekuatan Hakiki" dalam Hadis

Kekuatan ditandai oleh terdorongnya seseorang untuk menolong dan membantu orang lain. Ruh yang kuat adalah ruh orang yang berpesan kepada anak-anaknya (Nahjul Balaghah, surat ke-47):

“Jadilah kalian lawan bagi orang-orang zalim dan kawan orang-orang yang dizalimi.” Imam Ali as menasihati kedua anaknya Hasan dan Husein as, “Hai anak-anakku! Jadilah musuh orang-orang zalim dan pembela yang dizalimi.”

p: 238

Sikap seperti ini adalah tanda dari kekuatan. Dendam, hasad, iri hati, niat jahat, dan semua kemauan-kemauan nafsu yang kejam yang diusulkan oleh Nietzsche, semuanya itu bertolak, bersumber, dan berasal dari kelemahan. Seseorang yang hatinya selalu ingin membalas dendam kepada semua orang, selalu menginginkan kejelekan menimpa orang lain, selalu ingin menyakiti orang, dan berjiwa sadis, semua perbuatannya tidak bertolak dari kekuatan -seperti anggapan Nietzsche-, tapi sebaliknya, bersumber dari kelemahan yang hina. Bertambahnya kekuatan seseorang akan ditandai dengan berkurangnya dendam, hasad, dan semua niat jahatnya.

Imam Husein as berkata: “Kekuatan akan menghilangkan dendam dan amarah.” Betapa indah dan jelinya kata-kata beliau as! Ucapan ini benar-benar keluar dari mulut seorang yang benar-benar menguasai masalah-masalah psikologis. Orang yang kuat adalah orang yang tidak menyimpan dendam pada siapa pun. Sebaliknya, orang yang lemah selalu mendendam dan iri hati kepada setiap orang.

Ali as pernah ditanya: “Siapa sebenarnya mereka yang suka meng-ghibah selalu ingin mengumpat, gemar menceritakan keburukan-keburukan orang lain, dan menikmati kebiasaan buruknya ini?” Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orangyang dha'if dan lemah, karena ghibah merupakan usaha maksimal dari orang-orang yang lemah. Bagi orang yang kuat, yang merasakan adanya kekuatan dalam ruhnya, meng-ghibah adalah suatu perbuatan yang sangat hina dan memalukan. Mereka mengetahui dan yakin bahwa meng-ghibah adalah kebiasaan orang-orang yang rendah, hina, dan lemah. Orang yang kuat tidak akan pernah

p: 239

meng-ghibah, bahkan tidak bersedia duduk mendengarkan orang lain yang sedang mengumpat dan membicarakan keburukan orang.” Ali as juga mengatakan bahwa orang yang berzina adalah orang yang lemah.

Orang yang memiliki atau mempunyai sedikit ghirah (harga diri), sama sekali tidak akan berzina dan menginjak-nginjak kehormatan diri sendiri serta masyarakatnya. Orang yang tidak mempunyai ghirah adalah orang yang merasakan kelemahan pada dirinya, yakni orang yang jika diusik kehormatannya tidak memberikan sedikit pun reaksi untuk melawannya.

Nietzsche sama sekali tidak mengenal qudrah-qudrah jenis ini. Menurutnya, qudrah hanyalah kekuatan fisik, materi, dan senjata; kekuatan besilah yang dapat menaklukkan orang lain.

Seseorang yang lebih kuat tak ubahnya dengan seekor hewan besar yang memiliki kekuatan otot luar biasa tapi kosong dari qudrah ruhi atau bahkan tak tahu-menahu tentangnya.

Di dalam Islam qudrah merupakan suatu nilai dan kesempurnaan insani. Islam tidak menyukai orang yang lemah.

Dalam Al-Kafi (juz 5, hal, 59) diriwayatkan bahwa Allah SWT membenci mukmin yang lemah. Namun, Islam tidak hanya melihat nilai manusia pada sisi qudrah, karena Islam juga meyakini eksistensi serangkaian nilai lain. Pengertian Islam tentang qudrah itu sendiri jauh berbeda dengan pengertian qudrah menurut Nietzsche, kaum sophis, Machiavelli, dan orang-orang seperti mereka.

Islam melihat adanya kekuatan-kekuatan tertentu pada diri manusia yang berpotensi menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat luas, jauh bertentangan

p: 240

dengan apa yang diharapkan oleh Nietzsche. Islam berusaha mengembangkan kekuatan semacam ini pada diri manusia.

Nietzsche mengatakan: “Adalah suatu kelemahan jika pada diri seseorang timbul rasa kasihan pada orang lain.” Kita mesti memberitahu Nietzsche bahwa masalahnya bukan terletak pada rasa kasihan kepada orang lain, melainkan kedermawanan dan berbuat baik pada orang lain. Mengapa kita tidak melihat permasalahan dari sudut pandang ini? Tuan Nietzsche! Adakah orang lemah yang seharusnya memberi bantuan, atau orang yang kuat? Pemberian berasal dari kekuatan atau kelemahan? Sudah pasti pemberian datang dari yang kuat pada yang lemah dan bukan sebaliknya.

Aliran Mahabbah

Aliran yang banyak tersebar di India dan di antara sebagian umat Kristiani adalah aliran mahabbah (cinta dan kasih sayang).

Meskipun orang-orang Kristen menyebut keyakinannya sebagai "aliran mahabbah”, mereka keliru dalam mengartikan cinta, sehingga tidak pantas disebut sebagai aliran mahabbah dan lebih pantas disebut “aliran pemuja kelemahan”. Lain halnya dengan paham yang dianut oleh orang-orang India, yang masih pantas disebut aliran mahabbah.

Apa yang dimaksud dengan aliran mahabbah itu? Yaitu aliran yang memandang bahwa kesempurnaan manusia ditandai oleh kecintaan dan pengabdian kepada masyarakat, merupakan antitesa dari keyakinan Nietzsche. Apa saja yang dinafikan oleh Nietzsche, dipandang aliran ini sebagai nilai. Jadi (menurut aliran ini), Insan kamil adalah manusia yang kebaikannya dapat

p: 241

dirasakan oleh masyarakat. Dan kemanusiaan itu sendiri adalah berbuat baik terhadap hamba-hamba Tuhan. Tak ubahnya seperti humanisme yang dianut oleh paham-paham Barat, manakala mereka menyebut kemanusiaan dan insaniyyah, yang mereka maksud adalah mengabdi dan mencintai masyarakat.

Ringkasnya, sesuatu itu dapat dikatakan insani dan manusiawi ketika bermanfaat bagi masyarakat, dan tidak manusiawi ketika tidak bermanfaat.

Di kalangan para penyair kita juga, dapat ditemukan beberapa ungkapan yang berlebihan, seperti yang dikatakan oleh Sa'di:

Ibadah tidak lain kecuali mengabdi pada hamba Allah Bukan hanya dengan tasbih, sajadah, dan jubah Sa'di dalam puisinya ini memang bertujuan menyindir sekolompok sufi dan ‘urafa, yang hanya sibuk dengan tasbih, sajadah, dan jubahnya saja serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Sa'di sendiri adalah seorang sufi (darwisy), tapi beliau tidak mengucilkan diri dari masyarakatnya. Sayangya pada bait pertama syair di atas, Sa’di terlihat terlalu berlebihan dalam mengartikan ibadah.

Terdapat juga penyair lain yang menggunakan ungkapan yang jelas-jelas salah, seperti:

Minumlah arak! Bakarlah mimbar! Tapi jangan kau ganggu dan sakiti masyarakat Menurut mereka, di dunia ini hanya ada satu nilai keburukan dan kejahatan, yaitu mengganggu, menyakiti, dan merugikan masyarakat. Di lain pihak, hanya ada satu nilai kebaikan, yaitu berbuat baik kepada mereka. Inilah yang menjadi prinsip dan pegangan aliran mahabbah.

p: 242

Ajakan Al-Quran pada “Ihsan" dan “Itsar"

Tidak diragukan lagi, menurut Al-Quran bahwa mengabdi dan ihsan (berbuat baik) pada masyarakat merupakan salah satu dari nilai-nilai insani dan ilahi, yakni suatu kebaikan dan kesempurnaan yang mengandung nilai sangat tinggi. Namun demikian, Islam tidak setuju dengan penitikberatan nilai-nilai hanya pada pengabdian dan ihsan pada masyarakat.

Dalam Al-Quran surah An-Nahl ayat 90, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku adil dan berbuat baik, yang dari sudut pandang etika-bukan sosial- lebih tinggi dari keadilan. Allah SWT tidak hanya melarang kita menginjak-injak hak masyarakat, tetapi juga memerintah kita untuk memberikan sebagian dari hak-hak masyru' kita kepada mereka.

“Itsar” adalah sebuah nilai qurani yang berarti mendahulukan orang lain dari diri sendiri dalam hal kepemilikan dan kebutuhan.

Dengan kata lain, walaupun seseorang itu sangat memerlukan sesuatu yang sudah menjadi miliknya, ia tetap mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri. Itsar merupakan salah satu dari tanda-tanda insaniyyah yang agung dan Al-Quran sangat menghargainya. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang mendiami kampung (Madinah) dan beriman sebelum mereka (al-Anshar), mereka mengasihi orang- orang yang hijrah kepada mereka dan tidak ada dalam hati mereka iri hati (dengki) karena orang-orang al-Muhajirin mendapat harta rampasan, bahkan mereka mengutamakan (al-Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun pada sesuatu yang mereka berhajat padanya. Barang siapa yang memeliharakan dirinya daripada kikir, maka mereka itulah orang-orang yang menang.

(QS. Al-Hasyr: 9).

p: 243

Pernah Ali dan Zahra as bernadzar puasa selama tiga hari jika Hasan dan Husein sembuh dari sakit. Setelah keduanya sembuh, beliau dan istrinya mulai berpuasa. Pada hari pertama di waktu mereka ingin berbuka, datanglah seorang miskin meminta-minta.

Melihat si miskin yang kelaparan, maka hidangan pembuka puasa mereka (yang memang tidak banyak) diberikan semua kepadanya.

Hari kedua, juga pada saat yang sama, datang seorang anak yatim. Pada hari ketigamerekadidatangiolehseorangtawanan.Pada hari ketiga inilah turun ayat 8 dan 9 dari surah Ad-Dahr (Al-Insan):

Dan mereka memberikan makanan yang dikasihinya (dibutuhkannya) kepada orang miskin, anak yatim, dan orang tawanan. (Mereka berkata): Kami memberi makan padamu, hanya karena mengharap keridhaan Allah, tiada kami menghendaki daripadamu balasan dan tidak pula terima kasih. (QS. Ad-Dahr:

8-9) Dari beberapa ayat di atas telah kita ketahui betapa Al- Quran memuji pengabdian dan pengorbanan seseorang kepada sesamanya. Dalam sejarah Islam banyak sekali peristiwa-peristiwa yang melambangkan itsar/pegorbanan yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw.

Sebuah Contoh dari Kasih Sayang

Kasih sayang, cinta kasih, dan keramah-tamahan adalah hal yang selalu dianjurkan dan digalakkan dalam Islam.

Suatu ketika salah seorang dari pemuka Arab jahiliyyah datang menghadap Rasul saw. Pada saat itu ia melihat beliau saw sedang memangku salah satu anaknya dan berkali-kali

p: 244

menciumnya sebagai ungkapan perasaan cinta kasih beliau padanya.

Tiba-tiba pemuka Arab jahiliyyah itu berkata: “Aku mempunyai sepuluh anak dan sampai sekarang aku belum pernah mencium mereka, walau untuk sekali saja” (sikap seperti inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh Nietzsche, karena cinta, rasa sayang, dan kasihan pada seseorang menurutnya merupakan bentuk kelemahan; merupakan suatu aib bagi orang kuat apabila ia sampai mencintai, menyayangi, atau menaruh rasa kasihan pada orang lain).

Dalam salah satu riwayat, disebutkan Rasulullah saw begitu marah mendengar jawaban si badui itu, sehingga wajah beliau memerah. Beliau saw berkata:

“Barang siapa tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” Dalam riwayat lain disebutkan Rasul saw menjawab:

“Jika Allah SWT telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu, maka apa lagi yang dapat kau perbuat?”

Rasa Belas Kasih di Barat

Terdapat perbedaan besar antara ruhiyyah (mentalitas) orang-orang Barat dan orang Timur. Pada umumnya mental orang Barat sangat keras, dan mereka adalah orang-orang yang berhati keras. Mereka sendiri mengakui dan menerima kenyataan ini, bahkan mereka menamakan rasa kasihan, belas kasih, ihsan, pengorbanan untuk orang lain (itsar), dan seterusnya sebagai sifat-sifat atau ciri-ciri ketimuran, sampai-sampai cinta seorang ayah terhadap anak-anaknya, atau sebaliknya cinta anak-anak

p: 245

terhadap kedua orang tua mereka, antara sesama saudara, sangat sulit ditemukan di sana.

Orang-orang Timur pun dapat merasakan apa yang terjadi di sana. Mereka tahu bahwa kehidupan di sana begitu kering dan gersang dari kasih sayang serta cinta kasih. Di sana hanya terdapat keadilan sosial -yang berlaku di antara mereka sendiri, tidak dengan yang lain-yang kering dari belas kasih dan cinta kasih.

Salah seorang teman saya pergi ke Austria untuk menjalani operasi lambung. Kebetulan ia mempunyai seorang anak laki-laki yang sedang belajar di sana. Ia menceritakan pengalamannya:

“Setelah operasi selesai dan aku mendapat izin untuk meninggalkan rumah sakit, aku bersama anakku memasuki sebuah restoran. Di restoran itu anakku betul-betul menjamuku.

la pesankan segala apa yang kuminta, pokoknya ia duduk dan bangun berkali-kali demi memberikan jamuan yang istimewa dan nyaman untukku.

Di meja lain, aku melihat sepasang pria dan wanita yang tampaknya adalah suami istri sedang duduk menikmati santapan mereka. Mereka selalu melihat kearah kami. Ketika anakku bangun mengambilkan sesuatu untukku dan melewati meja mereka, mereka menyapa anakku dan sepertinya memberikan beberapa pertanyaan dan ia pun menjawabnya. Setelah perbincangan itu selesai, ia kembali duduk bersamaku. Aku bertanya padanya:

‘Apa yang mereka katakan padamu?' Anakku menjawab: ‘Mereka bertanya, siapa orang yang kau layani dengan setia itu?' yang kemudian kujawab: ‘Dia ayahku? Mereka berkata, 'Baiklah, kami percaya ia ayahmu! Tapi haruskah kau melayaninya seperti itu?' Aku langsung menjawab dengan logika mereka, 'Bagaimana lagi, dialah yang selama ini mengirim uang untuk biaya sekolah dan

p: 246

pemenuhan segala kebutuhanku di sini. Jika ia tidak mengirim uang untukku, maka aku tidak dapat belajar. Mereka tampak keheranan dan berkata, “Jadi, uang hasil keringatnya ia berikan begitu saja padamu untuk kaugunakan?' Aku mengatakan, “Ya, dari hasil jerih payahnya.

Mereka sangat terkejut dan heran mendengar jawaban anakku, seakan mereka melihat kami seperti manusia-manusia bertanduk yang dapat mencengangkan mereka. Kemudian keduanya datang menghampiri kami dan kami pun berbincang- bincang dengan mereka. Ketika kami menanyakan apakah mereka berdua adalah sepasang suami istri, mereka menjawab: “Sudah tiga puluh tahun kami bertunangan untuk saling mengenal watak masing-masing. Jika kami berdua sudah benar-benar cocok, baru kami akan melaksanakan perkawinan. Tapi sampai sekarang, kami belum dapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakannya! Almarhum Muhaqqiqi bercerita: “Di Jerman kami mempunyai seorang teman profesor dan ilmuwan besar yang telah memeluk agama Islam. Ia menderita kanker dan dirawat di sebuah rumah sakit. Kami sering pergi menjenguknya. Di hari- hari terakhir menjelang kematiannya, ia mengeluh tentang putra dan istrinya kepadaku, ia berkata, “Putra dan istriku datang sekali menjengukku dan mengatakan bahwa aku telah terkena kanker yang sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan, maka mereka mengucapkan selamat tinggal dan selamat berpisah.

Mereka pergi begitu saja meninggalkan si tua yang sudah tak berdaya ini. Mereka tidak menyadari bahwa pada saat-saat seperti inilah ia sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari mereka. Almarhum Muhaqqiqi melanjutkan: “Karena ia sudah tidak punya lagi kerabat yang bersedia membesuknya,

p: 247

maka sebagai gantinya kamilah yang sering menengoknya.

Suatu hari pihak rumah sakit memberitakan bahwa ia telah meninggal. Kami juga ikut dalam upacara pemakamannya. Pada saat itu kami menyaksikan kehadiran anaknya. Kami bergumam:

Oh, rupanya ia masih punya perasaan, paling tidak ia mau menghadiri pemakamannya. Namun, kami segera tahu bahwa mereka sebelumnya sudah menjual jenazah pada rumah sakit dan sekarang datang untuk mengambil uangnya.

Keadilan Lebih Utama daripada Itsar

Banyak dari perbuatan-perbuatan yang kita anggap sebagai ungkapanbelaskasih, tapiternyatatakubahnyamerupakanegoisme dan keakuan yang bertopeng kemanusiaan serta rasa kasih sayang.

Apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘athifah (rasa belas kasih dan kasih sayang) itu? Atihifah ialah kondisi ketika seseorang memberikan hak masyru'-nya untuk kepentingan orang lain. Sebelum melakukan hal seperti ini seseorang harus melalui beberapa tahapan, seperti menghormati dan tidak merampas hak orang lain. Jika ia telah lulus dari tahapan ini, baru bisa menggunakan hak masyru'-nya untuk kepentingan orang lain. Orang semacam inilah yang dapat dikatakan sebagai pribadi yang “berkepedulian sosial”.

Sebaliknya, kita dapat melihat orang-orang yang tidak pernah merasa puas dengan haknya sendiri. Hidupnya senantiasa dijalani dengan mencari uang dengan segala cara yang mungkin ditempuh. Mereka sama sekali tidak menghormati, bahkan sudah terbiasa merebut dan merampas hak orang lain. Jangan heran, orang-orang semacam ini terkadang demi seorang temannya, rela

p: 248

mengeluarkan jutaan rupiah secara cuma-cuma. Apakah perbuatan mereka ini dapat disebut sebagai kedermawanan, cinta sesama, rasa belas kasih, atau setia kawan? Tidak. Ini bukan belas kasih atau setia kawan, tapi keakuan, egoisme, dan sekadar cari muka.

Sebagian dari kita memiliki suatu sifat yang biasa disebut dengan sifat “suka dan ramah kepada tamu”. Kita biasa mengucapkan bahwa “pintu rumah kita selalu terbuka untuk tamu”, “para tamu selalu keluar masuk rumah kita”, “makan siang dan malam kita senantiasa dihadiri oleh tamu”, “tiap malam pasti ada yang tidur di rumah kita”, dan seterusnya.

Sifat suka dan ramah kepada tamu ini pada dasarnya memang baik jika kita tidak melihat ke sisi yang lain. Namun, seringkali kita membebankan pada istri -yang menurut syari'at kita tidak berhak untuk memerintahnya, dan ia bebas untuk mau mengerjakan pekerjaan rumah atau menolaknya-semua pekerjaan serta tetek-bengeknya, semata-mata agar kita mendapat julukan sebagai orang yang suka dan ramah kepada tamu, atau supaya kita mendapatkan pujian bahwa pintu rumah kita selalu terbuka untuk siapa saja dan kapan saja. Sifat terbuka dan ramah pada tamu yang justru menyebabkan teraniayanya orang lain, pada hakikatnya bukanlah suatu kebaikan, tapi malah sebaliknya.

Imam Ali as selalu siap bekerja sama dengan istrinya, Zahra as, dalam menyelesaikan segala macam pekerjaan rumah tangganya.

Namun, Zahra as sendirilah yang meminta untuk menanggung sebagian besar pekerjaan rumah tangganya tanpa dipaksa atau diperintah oleh Sang suami, karena pada dasarnya Ali as sendiri tidak mau merepotkan istri yang tercintanya.

Jika seseorang ingin berkorban untuk orang lain, maka sebelumnya ia harus adil dan bijaksana dulu, yakni harus sudah

p: 249

terhindardarimerampashakoranglain.Apaartinyaberkorbanuntuk oranglain, kalaupadawaktuyangsamakitamenzalimihakoranglain? Dalam hal ini, kita dapat melihat beberapa sosok ulama besar, seperti Imam Khomeini, yang tidak pernah sekali pun meminta sesuatu dalam bentuk perintah dari istri atau anak-anaknya.

Athifah akan berarti ‘athifah dan itsar dapat disebut itsar ketika betul-betul bersih dan jauh dari niat mencari muka, keakuan, dan egoisme.

Contoh dari Sebuah Itsar yang Nyata

Telah diriwayatkan sebuah peristiwa mencengangkan yang terjadi di antara para sahabat Rasul saw. Pada peperangan Mu'tah terdapat beberapa pejuang dan tentara Islam yang jatuh terluka.

Dalam kondisi kehabisan darah, lumrah jika rasa haus menyerang dengan dahsyatnya, karena tubuh sangat membutuhkan air untuk memproduksi darah baru.

Pada saat itu, di antara beberapa mujahid yang terkapar kehausan, datanglah seorang laki-laki dengan membawa kantong air untuk diminumkan secara bergilir kepada mereka yang terluka. Ketika ia menghampiri salah satu dari mereka dan mendekatkan kantong air ke mulutnya, tiba-tiba mujahid itu menolak seraya berkata, “Berilah air ini pada teman yang ada di ujung sana, karena ia lebih haus dariku!” Lelaki itu langsung menghampiri orang kedua yang ditunjuk oleh orang pertama tadi.

Namun, pemberiannya juga ditolak dan ia disuruh memberikan air kepada orang ketiga. Ia pun pergi menghampiri orang ketiga.

Tetapi sebelum ia sampai di tempat itu, orang ketiga yang hendak diberinya minum, telah menghembuskan napas terakhirnya dan

p: 250

gugur syahid. Cepat-cepat ia kembali pada orang kedua, dia pun telah syahid. Ia langsung menuju orang pertama, dilihatnya dia juga telah menemui Tuhannya.

Sikap dan tindakan para syuhada inilah yang benar-benar dapat disebut sebagai itsar serta pengorbanan untuk orang lain. Walaupun ia sangat membutuhkan, tapi mereka tetap mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.

Kritik Terhadap Aliran Mahabbah

Aliran mahabbah dan khidmah (pengabdian yang disebabkan oleh rasa cinta) mempunyai dua kelemahan. Dua kritik yang tertuju pada aliran qudrah juga tertuju pada aliran ini.

Kritikan pertama, aliran ini adalah aliran dengan satu nilai (bernilai tunggal) yang menghapus serta melalaikan nilai- nilai yang lain. Ia hanya berpegang pada suatu nilai, yaitu nilai mahabbah dan khidmah.

Sebagaimana kesalahan pokok pada aliran qudrah terletak pada kesalahpahaman terhadap pengertian qudrah (yang hanya diartikan dengan kekuatan fisik dan materi tanpa mempedulikan kekuatan jiwa dan ruh), aliran khidmah ini juga menyalah-pahami makna khidmah.

Apa yang dimaksud dengan khidmah pada masyarakat? Pada sisi apa? Jika dikatakan bahwa insaniyyah itu adalah khidmah dan pengabdian pada masyarakat, maka akan timbul pertanyaan, bagaimana kita mengabdi kepada mereka? Mungkin Anda menjawab, pada kebutuhan primer mereka, yakni mereka lapar, maka kita sesama manusia bertanggung jawab untuk mengenyangkan perut mereka. Kalau mereka telanjang dan

p: 251

tak mempunyai tempat tinggal, maka kita harus memberikan mereka pakaian dan tempat tinggal agar terlindung dari panas, dingin, hujan, dan sengatan matahari. Jika mereka tidak punya kebebasan, maka kita beri mereka kebebasan.

Cara-cara tersebut di atas bisa dibenarkan dan memang merupakan bentuk pengabdian kepada sesama. Namun, di sini timbul pertanyaan, apa yang menjadi hasil akhir jika telah kita lakukan semua pekerjaan di atas? Apakah dengan sekadar memenuhi kebutuhan primer masyarakat dapat disebut sebagai kebaikan dan ihsan? Jika masyarakat berada dalam suatu kondisi yang tidak lagi mau mengabdi pada diri mereka sendiri, telah menjadi musuh diri mereka sendiri, hidup terikat pada kebodohan dan kejahilan, dan berada pada jalan yang bukan saja terhalang menuju kebahagiaannya, bahkan jalan yang akan membawa mereka menuju kehancuran dan kebinasaan, masihkah kita akan menutup mata dan bersikeras untuk tetap mengabdi kepada mereka, yang penting dapat memenuhi kebututuhan materi mereka tanpa mempedulikan akhlak dan moral mereka? Akankah kita mengatakan, “Apa urusan kita dengan jalan, tujuan, dan ideologi mereka yang telah kita kenyangkan perutnya?' Atau kita berpendapat lain, yaitu bahwa perbuatan mengabdi pada masyarakat dapat disebut sebagai pengabdian yang sesungguhnya, jika tidak terbatas pada kebutuhan materi manusia, melainkan juga mencakup pengabdian pada nilai- nilai kemanusiaan. Artinya, pengabdian pada masyarakat baru mempunyai arti dan nilai, jika pengabdian itu berada pada jalan pengembangan nilai-nilai insani yang lain.

p: 252

Pengabdian pada Masyarakat Merupakan Pendahuluan dari Iman

Mungkin ada sebagian orang yang beranggapan demikian:

Bukankah seluruh ajaran yang datang dari Allah tentang pokok iman dan ibadah bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai pengabdi kepada sesamanya? Bukankah kita harus memiliki iman, karena dengan imanlah kita akan dapat mengabdi pada sesama? Menurut mereka, seluruh ajaran Islam dan agama lain.

Termasuk ajaran dan pemikiran orang-orang besar, merupakan pendahuluan dari tujuan utama yaitu pengabdian kepada sesama.

Mereka tidak berpikir bahwa masyarakat ini mau jadi apa. Jika mereka mengharuskan pengabdian pada masyarakat, ke manakah arah yang harus ditentukan sehingga yang dituju bisa dijadikan pegangan oleh mereka? Mungkinkah mereka hidup tanpa tujuan dan ideologi? Karenanya, tidak dapat dibenarkan bahwa iman, atau ibadah, dan lain-lain merupakan pendahuluan dari pengabdian.

Sebaliknya, pengabdian merupakan pendahuluan dari iman, ibadah, keberakalan, dan pendahuluan dari seluruh nilai-nilai insani. Jikatidakdemikian, makakitatidakakandapatmembedakan antara mengabdi kepada orang yang baik atau buruk, sebab dua- duanya juga manusia, punya perut, bisa lapar, memerlukan pakaian dan tempat tinggal. Dengan kata lain, keduanya sama sekali tidak mempunyai perbedaan secara biologis. Akhirnya, kita terpaksa memandang manusia tanpa mempedulikan kemanusiaannya.

Alhasil, terdapat dua kepincangan dalam aliran mahabbah.

Pertama, mahabbah diyakini dan dianggap sebagai satu-satunya nilai. Kedua, mahabbahdijadikansebagainilaipuncakkemanusiaan.

Islam tidak dapat menerima pendapat yang demikian, meskipun Islam memuji dan menyanjung nilai mahabbah dan

p: 253

pengabdian. Islam menetapkannya sebagai suatu nilai yang tinggi, suatu nilai yang berada pada awal perjalanan, bukan pada puncaknya. Sesungguhnya tujuan dari perjalanan hidup ini bukanlah mahabbah dan pengabdian semata.

Sebagai penutup, mungkin pernyataan di bawah ini akan memperjelas permasalahan: “Mendekatkan diri kepada Allah bukan merupakan pendahuluan dari mengabdi pada hamba- hamba-Nya. Tapi sebaliknya, mengabdi pada hamba-Nya merupakan pendahuluan dari mendekatkan diri kepada Allah dan taqarrub menuju maqam ilahi.

p: 254

Bagian 12

STUDI KRITIS ATAS PANDANGAN SOSIALISME

Point

p: 255

p: 256

«قُلْ یَا أَهْلَ الْکِتَابِ تَعَالَوْا إِلَی کَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَیْنَنَا وَبَیْنَکُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِکَ بِهِ شَیْئًا وَلَا یَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ » Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. (QS. Ali `Imran:

64).

satu lagi paham yang menyumbangkan ide tentang insan kamil adalah sosialisme. Dalam paham ini, kekurangan dan kesempurnaan manusia dapat diringkas dalam pernyataan berikut: Kekurangan manusia terletak pada semakin besarnya aspek individu dan keakuannya, sedang kesempurnaan manusia terletak pada semakin besarnya aspek sosial dan kemasyarakatannya. Selama seseorang masih menjadi “aku”, maka ia belum sempurna. Seseorang dikatakan sempurna jika “aku” nya telah hilang, namun bukan dalam pengertian hilang atau lenyapnya “aku” menurut para sufi dan urafa? Urafa menghendaki sirnanya “aku” ke dalam dan untuk Dia, yakni melebur dan bersenyawanya “aku” pada-Nya (Allah).

Paham ini mempunyai kesamaan dengan pandangan ‘urafa dari segi bahwa keduanya sama-sama mengharapkan kehancuran dan lenyapnya “aku” serta keakuan. Hanya saja, paham ini menghendaki terbenamnya “aku” untuk terbit dan munculnya “kita”, bukan Dia (Tuhan).

p: 257

Manusia sempurna bukanlah manusia yang mengatakan:

“Tidak ada dalam jubahku selain Allah?. Manusia sempurna adalah manusia yang telah berhasil meleburkan “aku” nya dalam masyarakat. Manusia seperti ini tidak lagi merasakan kesenangan dan kesedihan berdasarkan pribadinya, karena “aku” nya sudah tidak lagi menjadi ukuran atau penentu perasaan gembira atau sedihnya. Dirinya sudah tidak lagi menjadi patokan dalam segala urusan. “Aku” dan dirinya yang dulu pernah menjadi ukuran, patokan, dan penentu nilai dalam hidupnya telah digantikan oleh “kita” dan masyarakat.

Sejauh ini tidak sedikit paham lain yang juga menerima teori tersebut. Bahkan, kaum ‘urafa yang berusaha menghancurkan "aku” untuk munculnya “Dia” pun tidak menentang kemunculan “kita”, malahan mendukung perubahan aku menjadi kita ini.

Ringkasan Paham Sosialisme

Paham ini berpijak pada teori yang berbunyi: Setiap sesuatu yang tidak berhubungan dengan “aku” akan tetapi berhubungan dengan “kita” adalah sebab dari meng’kita’nya individu-individu.

Jika Anda melihat hubungan antara sesuatu dengan manusia, maka Anda akan menemui dua hal (yang berbeda). Pada satu sisi ada serangkaian hal yang pada setiap masyarakat berhubungan dengan “kita”. Misalnya, apakah bahasa Persia itu milik ‘aku’? Tidak. Bahasa Persia tidak menjadi milik seseorang, tapi milik suatu masyarakat. Milik siapa tanah air itu? Ia bukanlah milik seseorang, tapi milik suatu bangsa dan masyarakat.

Jelasnya, apa pun yang berhubungan dengan atau menjadi milik masyarakat, akan berfungsi dalam mempersatukan invidu-

p: 258

individu. Karena bahasa, kita dapat bersatu dengan mereka yang satu bahasa dengan kita. Karena hidup dalam satu tanah air dan sebagai satu bangsa, kita dapat menyatu dengan yang lain. Budaya danagama juga sangat berperan dalam persatuan dan kesatuan kita.

Alhasil, setiap yang berhubungan dengan kita dan tidak berkaitan dengan ‘aku, atau setiap yang bersifat sosial dan bukan individual, maka akan sangat berfungsi dalam mempersatukan kita.

Di sisi lain, kita dapat melihat adanya hal-hal yang secara terpisah berhubungan dengan individu-individu, seperti rumahku, hartaku, pakaianku, perabotku, mobilku, dan seterusnya. Berdasarkan itu rumahku sudah bukan lagi rumahmu, hartaku juga bukanlah hartamu, dan seterusnya. Menurut mereka, hubungan manusia dengan sesuatu yang bersifat individual akan berakhir pada pemilikan individual atau pemilikan perseorangan.

Sebaliknya, hubungan manusia dengan sesuatu yang bersifat sosial akan membuahkan kepemilikan bersama. Neraca kesempurnaan manusia terletak pada “kita”, sedangkan “kita” ditandai dengan hilangnya individu atau pribadi yang diganti dengan kebersamaan yang bersifat sosial.

Mereka berkeyakinan bahwa pada awal terwujudnya masyarakat manusia, kehidupan mengambil bentuk sistem sosialisme dan kebersamaan mutlak, di mana tidak pernah dikenal istilah pemilikan pribadi atau individu, seperti tanahku atau tanahmu, hartaku atau hartamu. Segala sesuatu menjadi milik bersama dan umat manusia hidup bahagia dalam satu surga kebersamaan.

Cerita tentang nenek moyang manusia yang diriwayatkan oleh berbagai agama, yakni manusia pada mulanya tinggal di surga

p: 259

dan karena maksiat yang mereka lakukan akhirnya mereka terusir dan tersiksa dalam kehidupan di bumi ini, menurut mereka, yang dimaksud dengan surga itu adalah surga sosialisme yang di dalamnya hanya terdapat 'kita' dan tak ada tempat bagi ‘aku'.

Karena dosa yang mereka perbuat, akhirnya manusia terusir dari surga kebersamaan dan sosialisme, lalu jatuh ke dalam neraka pemilikan pribadi. Ketika muncul pemilikan individu, masyarakat manusia terusir dari surga kebahagiaan menuju kesengsaraan yang masih mereka rasakan sampai sekarang. Yang dapat mengembalikan manusia ke surga adalah taubat dari dosa kepemilikan, surga yang menurut keyakinan berbagai agama akan lebih baik dan lebih sempurna dari yang pertama. Setiap kali masyarakat manusia bertaubat dari dosa-dosa besar ini dan memalingkan diri dari pemilikan individu untuk menggantinya dengan sosialisme, maka mereka akan kembali pada level insaniyyah dan kemanusiaannya lagi.

Mereka mengatakan, ketika kepemilikan muncul dalam kehidupan, maka kezaliman akan muncul juga; kezaliman bersumber dari kepemilikan. Dengan adanya kepemilikan, masyarakat terbagi atas kaum penjajah dan kaum yang terjajah.

Selama masih terdapat ketidaksejajaran, ketidaksetaraan dan ketidaksamaan di antara individu-individu dalam suatu masyarakat, di mana sebagian begitu tingginya bak puncak gunung dan sebagian lain begitu rendahnya hingga terperosok ke dalam lembah keterbelakangan dan kemiskinan, maka masyarakat manusia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan ketenteraman dalam hidup mereka.

Mereka akan merasakan kebahagiaan, jika mereka sudah seperti padang pasir yang rata, satu tidak melebihi yang lain.

p: 260

Jika kebersamaan dan kesamarataan terwujud, maka persatuan dan persaudaraan akan terwujud pula. Pada saat itu masyarakat manusia mencapai kamal dan kesempurnaannya.

Ringkasnya, paham ini memandang kesempurnaan manusia terletak pada penafian atau pelenyapan ikatan-ikatan individual dan pribadi beserta semua atributnya seperti imperialisme, (kapitalisme) dan penjajahan, karena penjajahan pada kedua sisinya (penjajah dan yang dijajah) akan mendatangkan beribu- ribu kekurangan dan cela. Pada satu sisinya, imperialisme akan menimbulkan rasa dendam dan kedengkian, sedangkan pada sisi lainnya akan menimbulkan keserakahan dan kerakusan. Jika akar dan sumber penyebab segala malapetaka ini telah terputus dan tersumbat, maka kesempurnaan manusialah yang akan lahir.

Letak Kesalahan Paham Sosialisme

Perubahan aku menjadi 'kita' bukanlah merupakan tujuan khusus paham sosialisme, melainkan kesimpulan yang mereka tunjukkan, yakni faktor-faktor pencipta keakuan adalah kepemilikan pribadi, dan faktor-faktor pencipta kekitaan adalah kepemilikan bersama.

Mereka yang berkeberatan terhadap ide kaum sosialis berkata demikian: Tuan sosialis! Manakah yang menciptakan keakuan:

Keterikatan benda-benda pada manusia ataukah terikatnya manusia pada benda-benda? Di sinilah letak permasalahannya. Adakah benda-benda yang terikat pada manusia, yakni ia sebagai pemilik sedangkan benda-benda tersebut sebagai yang dimiliki, akan menciptakan keakuan, memisah dan membatasi interaksi satu individu

p: 261

dengan yang lain, dan menghancurkan persatuan serta kesatuan, ataukah sebaliknya, semua akibat buruk di atas dapat terjadi jika manusianya yang terikat dan dimiliki oleh benda-benda itu, sebagaimana ungkapan ‘urafa: Manusia itu mempunyai ikatan hati terhadap benda-benda dan menjadi hamba benda. Selama menjadi pemilik uang, manusia tidak akan berubah menjadi ‘aku' dan tidak akan terlepas ‘kita’ darinya.

Sosialisme mengatakan: Hilangkan segala macam bentuk pemilikan, agar ‘aku' berubah menjadi 'kita'.

Sedang Islam mengatakan: Ciptakan manusia yang sesungguhnya, bimbing dan didiklah ia dengan baik dan ajarkan padanya nilai-nilai yang mulia, sehingga pada suatu saat ketika ia menjadi pemilik harta benda dan harta itu terikat padanya, dirinya tidak akan ikut terikat oleh harta itu atau menjadi hambanya, tapi ia tetap bebas dan menjadi tuannya.

Dalam hal ini, Nabi Sulaiman a.s. dapat dijadikan sebagai contoh dan tauladan. Meski hidup sebagai manusia yang sangat kaya raya bergelimang harta, beliau a.s. tidak pernah menjadi hamba atau diperbudak oleh harta kekayaannya. Inilah zuhud dalam arti yang sebenarnya, yaitu hidup bebas dari ikatan dunia dan tidak menjadi hamba dunia.

Dunia Dilihat Melalui Kaca Mata Ali a.s.

Imam Ali a.s. berkata:

“Wahai dunia! Aku telah menceraikanmu dengan talak tiga. Menjauhlah dariku! Demi Tuhan, aku tidak akan pernah menyerahkan diri ini padamu untuk kemudian kau hinakan. Aku juga tidak akan menyerahkan kendali diriku padamu, sehingga kau dapat dengan mudah mengacaukan jalan hidupku.”

p: 262

Ali a.s. selalu mengambil sikap menolak dengan tegas dan tak mengenal kompromi bila berhadapan dengan dunia. Beliau sama sekali tidak pernah memberi jalan pada dunia untuk membenamkan kuku cengkeramannya pada ruh serta akalnya.

Sekali lagi, inilah yang dimaksud Islam dengan zuhud atau menjauhi dunia, yang berarti hidup bebas dan tidak menjual diri pada kenikmatan-kenikmatan duniawi.

Pada kesempatan lain beliau a.s. berkata:

“Dunia adalah persinggahan bukan tempat tinggal dan menetap. Manusia (yang hidup) di dalamnya terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang menjual diri dan menerima uang sebagai hasilnya. Kedua, mereka yang menebus diri mereka dari dunia untuk dibebaskan.” Pada suatu saat Imam Ali a.s. memandangi uang satu dirham (atausatudinar) miliknyadan berkata, “Haiuang!Selamakau berada di tanganku, kau tidak akan menjadi milikku.” Apa yang beliau utarakan itu sangat bertentangandenganapayang bisa kita katakan.

Kita seringkali mengatakan: “Hai uang! Selama kau berada di tanganku, kau adalah milikku. Ketika aku belanjakan, baru kau akan menjadi milik orang lain.” Mengapa beliau a.s. berkata demikian? Ya, karena selama uang itu berada di tangan kita, pada hakikatnya bukan milik kita, tapi kitalah yang menjadi miliknya, karena kita harus setia melindungi dan menjaganya.

Suatu hari beliau as berjalan melewati tempat penjualan daging. Ketika si penjual melihat Ali as, segera saja ia menyapanya, “Hari ini aku menjual daging yang sangat istimewa. Jika Anda mau beruntung, maka belilah sekarang juga!” Beliau menjawab, “Aku tidak punya uang.” Penjual berkata: “Aku akan bersabar menunggu uangnya.” Lalu dijawab: “Terima kasih, lebih baik aku

p: 263

menyuruh perutku untuk bersabar daripada kau harus bersabar menunggu uangnya.”

Pembenahan Batin adalah Jalan untuk Bebas dari Keakuan

Islam mengatakan, jika kau ingin mengeluarkan manusia dari keakuannya, maka jalan satu-satunya adalah dengan membenahi dan menbersihkan batinnya. Jangan biarkan ia menjadi hamba materi, kalau tidak, dengan menghapus pemilikan individu sekali pun, penyakit ini tetap tak akan tersembuhkan.

Mengenai hal ini terdapat dua pandangan:

Yang pertama mengatakan, jangan pedulikan pemilikan individu. Selebar apa pun kesenjangan atau ketimpangan yang ada di luar, tidak menjadi masalah. Yang penting, perhatikanlah batinmu!.

Adapun yang kedua (Islam) mengatakan: Memang benar yang menjadi masalah pokok dan mendasar adalah batin. Namun, tanpa adanya pembenahan yang di luar, yang di dalam juga tidak akan dapat dibenahi. Karenanya, Islam juga memberikan perhatian yang cukup pada yang di luar atau zhahir dan menginginkan agar kesenjangan dan ketimpangan yang ada di luar dapat dikurangi tanpa secara membabi buta menghapus pemilikan.

Islam membawakan solusi untuk terciptanya persamaan dan kebersamaan, dan pada waktu yang sama tujuannya tidak berhenti sebatas berubahnya ‘aku' menjadi 'kita, namun lebih jauh lagi, yaitu pembenahan ruh dan batin dari dalam.

Menurut Islam, ruh dan batin manusia memegang peranan penting. Jika ruh seorang terikat pada hal-hal yang bersifat

p: 264

individual dan terbatas, maka ia akan terjerumus dalam keakuan dan egoisme. Tetapi, jika ruh dan batinnya terikat pada hal-hal yang tidak terbatas, seperti ideologi, iman dan Tuhan, maka sudah pasti ia akan terbebas dari belenggu keakuannya. Dengan kata lain, kalau ruh dan jiwa seseorang sudah tidak terikat pada benda- benda, maka baik ia tidak memiliki apa-apa maupun memiliki segalanya, ia tetap menjadi 'kita' dan tak akan pernah berubah menjadi ‘aku.

Imam Ali a.s. dapat dijadikan contoh sebagai manusia yang berjiwa demikian. Beliau a.s. baik ketika masih menjadi rakyat biasa yang bekerja membanting tulang setiap harinya yang hanya cukup untuk dimakan sehari semalam maupun sewaktu berada di puncak kepemimpinan tertinggi Muslimin, tidak pernah sama sekali jatuh dalam jurang keakuan. Bahkan, ia selalu mengabaikan dirinya dan memikirkan orang lain. Berdasarkan itu semua, menjadi semakin jelas sudah ketidakbenaran paham sosialisme, yang untuk mengubah “aku menjadi 'kita mengharuskan penghapusan pemilikan individu.

Tidak Terbatasnya Faktor-faktor Pencipta Keakuan dalam Pemilikan

Keberatan lain yang tertuju pada paham sosialisme adalah kenyataan akan tidak terbatasnya keinginan-keinginan manusia dalam masalah ekonomi. Mereka berharap dengan terhapusnya pemilikan individu secara otomatis ‘aku' akan berubah menjadi 'kita'.

Ekonomi memang merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang padanya terketengahkan masalah pemilikan.

p: 265

Namun, masih banyak aspek lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan ekonomi maupun pemilikan, seperti pangkat, jabatan, pasangan dan lain sebagainya. Pangkat dan wanita adalah dua hal yang nilainya bagi manusia kalau tidak bisa dibilang lebih dari masalah ekonomi, maka sudah pasti tidak kurang darinya. Tidak sedikit orang yang sanggup mengeluarkan semua uang dan hartanya untuk mendapatkan seorang wanita yang ia cintai atau suatu jabatan tinggi yang dengannya ia dapat tenar dan terkenal.

Bagaimana mereka menjawab semua ini? Mungkinkah kita kumpulkan semua wanita, untuk diproses sedemikian rupa sehingga keluar kumpulan wanita cetakan pabrik yang sama antara satu dengan lainnya tanpa sedikit pun perbedaan? Kalau masalah sosialisasi wanita itu tidak ada -sampai sekarang pun belum pernah ada di negara komunis mana pun- maka mau atau tidak, mereka harus menerima kenyataan pemilikan individu yang menurut mereka akan mengakibatkan semakin suburnya keakuan.(1) Bagaimana pula dengan jabatan dan kedudukan? Samakah orang yang duduk di puncak pemerintahan suatu negara sosialis dari segi makanan dan kendaraan serta fasilitas-fasilitas hidup lainnya, dengan rakyat jelata? Samakah seorang perdana menteri sebuah negara sosialis dalam pemanfaatan hasil-hasil ekonomi dengan seorang yang bekerja sebagai buruh pabrik atau ladang? Tidak.

Setiaporang hanyadapat menikmati jabatan dan pekerjaannya sendiri-sendiri. Jelas mereka tidak dapat disamaratakan. Tidak

p: 266


1- Masalah

mungkin jabatan sebagai perdana menteri dicampur dengan buruh kemudian dibagi sama rata. Mau tidak mau kepemimpinan partai harus dikuasakan pada satu orang, demikian halnya dengan wakil pimpinan dan pengurus umum, tak ubahnya seperti jabatan- jabatan dalam suatu departemen.

Karenanya, untuk mengubah “aku menjadi 'kita' tidak cukup hanya dengan menghapus pemilikan individu. Sebab, kita sering melihat dalam beberapa kasus di mana pemilikan telah dihapus, tapi aku' tetap tidak berubah menjadi 'kita'. Peperangan, pertarungan, dan kompetisi internal yang terjadi antara mereka, bahkan antara dua kubu besar (Cina dan Rusia) untuk saling berlomba dalam merangkul lawannya, yaitu kaum imperialis, adalah bukti nyata bahwa ‘aku' belum berubah menjadi 'kita' dan ini semua hanyalah omong kosong belaka.

Kami mengalami bahwa ketidakterkendalian dan ketidakselarasan dalam pemilikan akan berpengaruh banyak pada 'penciptaan aku' yang bergerak berlawanan dengan arah 'penciptaan kita'. Islam pun memberikan perhatian yang luar biasa pada pemerataan kekayaan dan pemilikan, namun demikian, Islam memandang bahwa penghapusan pemilikan dan pemerataan kekayaan tidaklah cukup untuk mengubah ‘aku' menjadi 'kita? Kebersamaan dan 'kita' yang mereka gembar- gemborkan hanyalah sebatas slogan, suara dan kata-kata kosong, sehingga ketika kebutuhan menuntut, segala macam idealisme itu akan terinjak-injak.

Kita menerima bahwa salah satu syarat untuk menjadi insan kamil adalah berubahnya ‘aku’ menjadi 'kita? Namun tidak benar jika ada yang mengira bahwa dengan itu sudah cukup untuk menjadikan manusia sebagai insan kamil. Masih banyak

p: 267

nilai-nilai lain yang telah diyakini oleh berbagai paham, di mana setiap paham paling tidak telah meyakini satu nilai yang memang menjadi syarat bagi kesempurnaan manusia. Paham sosialisme ini juga merupakan paham yang hanya bernilai satu dan tunggal.

Iman adalah Jalan Meng-kita-nya ‘Para Aku'

Hal lain yang perlu diperhatikan di sini ialah, ‘aku’ akan benar-benar berubah menjadi 'kita' ketika sebelumnya sudah berubah menjadi 'Dia', sebagaimana yang diyakini oleh para sufi dan ‘urafa. Tanpa melewati fase 'Dia' maka ‘aku' tidak akan mungkin menjadi 'kita'. Artinya, ‘aku' harus beriman kepada Allah SWT terlebih dahulu.

Ayat surat Ali `Imran di atas menegaskan:

Hai Ahli Kitab! Marilah kita semua berkumpul dan bersatu dalam satu kalimat, suatu hakikat yang bukan dari aku atau kamu; bukan dari kami atau kalian, suatu hakikat yang kami dan kalian sama di dalamnya. Aku sebagai Nabi tidak berhak mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Tuhanku dan bukan Tuhanmu, baik kalian orang orang Nasrani, Yahudi, Majusi, penyembah berhala dan seterusnya. Bahkan aku tidak dapat mengatakan bahwa Dia bukan Tuhannya batu, udara, air, api; Dia adalah Tuhan sekalian alam. Jika manusia telah benar-benar beriman kepada-Nya, berarti ia telah berhubungan dan berkaitan dengan suatu Zat yang tak terbatas, yang juga tidak akan menjadikannya terbatas pada diri (keakuannya) atau batasan-batasan lain. Ia bukan berwujud uang, di mana jika aku dan kamu bergantung padanya maka di antara kita akan terjadi perebutan serta peperangan. Ia adalah

p: 268

suatu hakikat yang dalam waktu yang sama dapat mengumpulkan segala sesuatu pada dirinya.

Marilah menjadi 'kita', dengan perantara satu iman, satu ide dan satu kata, yaitu Allah SWT. Marilah menuju satu hakikat dan satu kata yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu.

Kalau seandainya Rasulullah saw mendakwahkan: Marilah semua mempelajari bahasa Arab supaya semua dapat menjadi 'kita', maka mereka yang berbahasa Persia akan memprotes: Mengapa harus bahasa Arab dan bukan bahasa Persia? Orang Prancis juga berkata:

Mengapa harus bahasa Arab dan bukan bahasa Prancis? Bahasa Arab tidak akan dapat menjadi sesuatu yang semua masyarakat bisa bersama dan bersatu dengannya. Bahasa Arab, Persia, Turki, Prancis, dan seterusnya, berkaitan dan berhubungan dengan masyarakat tertentu. Masih banyak juga hal lain yang (berkaitan secara khusus dengan masyarakat tertentu) seperti bahasa.

Suatu hakikat yang menjadi milik semua dan bukan milik kelompok tertentu adalah Tuhan kita, suatu hakikat universal yang telah menciptakan kita semua, suatu Zat yang menciptakan alam dan alam akan kembali pada-Nya. Marilah semua bergegas kepadanya, menyembah-Nya dan tidak sekali-kali menyekutukan- Nya. Jangan sebagian menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhannya. Di sini semua sama. Tidak ada lagi pembicaraan tentang tuan dan selain tuan, penjajah dan yang terjajah, yang di atas dan yang di bawah dan seterusnya. Berdasarkan ayat inilah kita meyakini bahwa Al-Quran mendukung 'kita' dan selalu berbicara tentang 'kita'.

Dalam shalat, setelah memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, kita menjadikan Allah sebagai mitra diaolog. Manakala sedang melaksanakan shalat sendirian (tidak berjamaah)

p: 269

sekalipun, kita tidak mengatakan pada-Nya: “Aku hanya menyembah pada-Mu dan meminta pertolongan dari-Mu.” Tapi kita berkata: “Ya Allah! Kita hanya menyembah-Mu dan meminta pertolongan dari-Mu.” Di akhir shalat pun kita mengatakan:

“Selamat atas kita semua dan hamba-hamba Allah yang shaleh."

Kekurangan Dalam Makna Puisi Sa'di

Sa'di berkata:

Sebagian Bani Adam merupakan anggota tubuh sebagian yang lain Karena dalam penciptaannya Mereka berasal dari jauhar yang sama Jika pada suatu saat Sebagian anggota tubuh itu merasa sakit Maka anggota-anggota yang lain pun akan merasakannya Kau yang tidak ikut susah ketika melihat kesusahan orang lain Maka kau tidaklah layak menyandang nama sebagai anak Adam Syair Sa'di yang benar-benar hebat dan mempunyai arti tinggi ini merupakan terjemahan dari sebuah hadis nabawi, hanya saja sedikit kurang dan tidak sesempurna hadisnya. Hadis nabawi itu berbunyi demikian:

"Perumpamaan ahli iman dalam kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka adalah perumpamaan anggota- anggota badan suatu tubuh." Apakah ketika satu bagian tubuh merasakan sakit, semua anggota yang lain dapat tidur nyenyak dan berkata biarlah anggota

p: 270

itu merasakan sakitnya sendiri? Ataukah anggota-anggota yang lain juga ikut merasakan sakitnya? Rasul saw berkata: “Seluruh anggota tubuh akan ikut merasakan sakit dengan dua cara, yaitu dengan menaiknya suhu badan dan tidak bisa tidur”.

Jika seseorang terkena sakit gigi, maka ia tidak akan dapat tidur dengan nyenyak yang akan disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Seluruh anggota tubuh tidak akan dapat beristirahat karena ada satu anggota yang sakit. Naiknya suhu tubuh adalah reaksi tubuh terhadap rasa sakit yang terjadi pada suatu anggota.

Rasul saw memperhatikan suatu hal ketika berkata “perumpamaan orang-orang mukmin adalah perumpamaan satu tubuh”. Beliau memperhatikan bahwa tubuh memerlukan ruh.

Ruh harus ada terlebih dahulu, karena ruhlah yang memproses tubuh itu menjadi 'Dia' dan kemudian menjadi 'kita'. Apakah jasad yang mati dapat merasakan sakit, jika anggotanya dipotong- potong? Tidak, sebab ia tidak mempunyai ruh. Ruhlah yang mempersatukan seluruh mukminin, karena mereka dalam ruh yang satu. Dengan demikian, mereka telah berubah menjadi 'kita' dan saling merasakan sakit. Ruh yang dimaksud di sini adalah iman, yakni sebuah kata di mana tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu. Karena mukminin memiliki iman dan 'diri-diri’ mereka telah menjadi 'Dia, maka dengan sendirinya mereka akan menjadi sehati dan sependeritaan.

Sa'di telah melakukan kesalahan ketika berkata: Sebagian Bani Adam merupakan anggota tubuh dari sebagian yang lain.

Padahal, tanpa suatu kata di mana tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, mereka tidak akan merasa menjadi anggota dari

p: 271

satu tubuh. Adalah kebohongan belaka jika dikatakan bahwa Bani Adam merupakan anggota dari satu tubuh.

Banyaknya peperangan di antara anak-anak Adam adalah bukti nyata dari kebohongan tersebut.

Dari beberapa keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam paham sosialisme terdapat dua kelemahan.

Pertama, paham ini hanya melihat satu nilai saja (kekitaan dan kebersamaan) tanpa mempedulikan nilai-nilai yang lain.

Dan yang kedua, penganut paham ini mengira bahwa yang menciptakan keakuan hanyalah pemilikan individu, sehingga dengan dihapusnya pemilikan tersebut maka ‘aku-aku’ akan segera berubah menjadi 'kita'.

Kisah Onta dan Serigala

Alkisah suatu hari seekor serigala dan seekor onta telah menjadi teman. Serigala mengusulkan pada onta tentang kebersamaan dalam hidup dan menghapus segala yang berbau pemilikan di antara mereka berdua. Serigala berkata, “Mulai sekarang kita tidak boleh membicarakan ‘aku' lagi tapi 'kita'.

Bahkan pada anak yang kulahirkan, aku tidak boleh memanggilnya dengan sebutan ‘anakku' tapi aku harus memanggilnya dengan sebutan ‘anak kita', demikian pula halnya dengan anakmu.” Mendengar usulan yang nampaknya bersahabat itu, akhirnya onta mau menerima. Beberapa hari mereka hidup dalam kebersamaan mutlak, sampai akhirnya terjadilah suatu peristiwa tragis. Sudah beberapa hari serigala tidak mendapatkan mangsa.

Suatu hari ia pulang dari berburu dalam keadaan marah, lalu masuk ke ʻrumah kita' nya dalam keadaan lapar yang sudah tak

p: 272

tertahankan sampai-sampai diungkapkan dengan kalimat ‘usus besarnya sudah mulai memakan usus kecilnya. Tiba-tiba matanya tertumpuk pada anak onta yang masih kemerah-merahan. Tanpa berpikir banyak langsung ia seret bayi-bayi onta itu ke suatu sudut dan dengan rakus dilahapnya habis. Tak lama kemudian datanglah si induk onta yang kebingungan mencari anaknya. Ia sampaikan permasalahannya pada serigala, temannya. Serigala pura-pura tidak tahu. Si induk mencari dan mencari, tiba-tiba ia dikejutkan oleh tulang-tulang anaknya yang berserakan. Ia tak tahan dan memukul-mukul kepalanya sendiri, lalu bergumam, “Siapa yang tega melakukan ini terhadap anakku?". Ketika ia menyebut ‘anakku, serigala langsung memprotesnya, “Rupanya kau belum benar-benar memahami. Jangan sekali-kali kau mengatakan ‘anakku, tapi katakanlah ‘anak kita'!”. Inilah akibat dari bentuk kebersamaan yang tidak didasari oleh iman dan ketuhanan.

p: 273

p: 274

Bagian 13

STUDI KRITIS ATAS PANDANGAN EKSISTENSIALISME

Point

p: 275

p: 276

«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِیرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ » «وَلَا تَکُونُوا کَالَّذِینَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِکَ هُمُ الْفَاسِقُونَ » “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan hendaklah tiap-tiap orang memperhatikan apa yang telah diusahakannya untuk esok (hari kiamat), dan takutlah kepada Allah, Sungguh Allah Maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18- 19) Paham yang sekarang sangat terkenal ini, yaitu (eksistensialisme) dari segi nilai-nilai insani dan ide-ide yang ia sodorkan untuk terwujudnya insan kamil, dapat dikatakan sebagai kebalikan dari sosialisme. Menurut pandangan sosialisme, manusia akan menjadi sempurna pada saat terciptanya suasana kebersamaan, persatuan, dan kesejajaran di antara mereka.

Namun, dalam paham ini (eksistensialisme), perhatian lebih banyak dipusatkan pada segi-segi individual bukan sosial, seperti masalah kebebasan berkehendak, kebebasan berpikir, penguasaan mutlak seseorang terhadap dirinya sendiri, dan seterusnya.

Manusia sempurna adalah manusia yang ‘aku’nya terbebas dari segala macam bentuk ikatan dan paksaan. Neraca dan tolok ukur insan kamil dalam paham ini adalah kebebasan mutlak.

Kalau mereka menambahkan nilai ‘kesadaran, maka hal itu

p: 277

tak lebih dari sekadar pendahuluan bagi kebebasan itu sendiri.

Semakin manusia itu bebas, maka ia akan semakin sempurna.

Sebaliknya, semakin manusia itu terikat, maka kemanusiaan dan kesempurnaannya pun akan kian menipis. Bahkan, iman dan keyakinan terhadap Tuhan dan agama juga dianggap bertentangan dengan kesempurnaan dan kemanusiaan. Alasannya, iman dan keyakinan itu membatasi kebebasan seseorang. Kemanusiaan adalah kebebasan dengan semua tuntutannya.

Prinsip Keberadaan dalam eksistensialisme

Menurut paham eksistensialisme, manusia datang ke dunia dalam keadaan bebas dan merdeka. Berbeda dengan maujud- maujud lain, manusia sama sekali tidak mempunyai watak dan tabiat tertentu. Apa pun selain manusia di dunia ini, tercipta dengan tabiat dan watak tertentu; batu telah tercipta sebagai batu dan tak akan dapat menolak dirinya sebagai batu; kucing, telah tercipta dalam watak dan tabiat kucing yang sudah tidak dapat berubah; demikian juga halnya dengan kuda, sapi, kambing, dan lain sebagainya. Tapi manusia tidak tercipta dengan watak dan tabiat tertentu, kecuali ia menciptakan tabiat itu (untuk dirinya) sendiri.

Manusia adalah maujud yang bebas. Begitu tinggi kadar kebebasannya sampai-sampai ia mampu menentukan tabiat, watak, dan mahiyyahnya (esensi) sendiri. Inilah yang dinamakan ashalatul wujud atau “wujud (eksistensi) yang mendahului atas mahiyyah (esensi)”.

Ashalatul wujud dan ashalatul mahiyyah, merupakan dua istilah yang telah dikenal cukup lama, sejak kira-kira tiga

p: 278

ratus lima puluh tahun yang lalu (sejak zaman filosof tersohor, Shadrul Muta’llihin Syirazi). Memang terdapat kesamaan antara pandangan eksistensialisme dengan beberapa filosof Islam sejak zaman Shadrul Muta’allihin, yakni bahwa: “Wujud sesuatu itu lebih dahulu dari mahiyahhnya”, sehingga manusia dapat menciptakan dan menentukan watak dan tabiatnya sendiri.

Namun, para filosof Islam tidak membatasi hal ini hanya berlaku pada manusia, melainkan untuk semua maujud tanpa terkecuali.

Perbedaan lain di antara mereka juga terjadi pada dasar dan argumen yang digunakan dalam membuktikan proposisi di atas.

Agama kita mengenal masalah maskh (perubahan manusia menjadi hewan) yang terjadi pada umat-umat terdahulu, atau masalah hasyr (pembangkitan) manusia pada hari kiamat -ketika tidak semua manusia dibangkitkan dalam bentuk dan rupa asalnya, yakni sebagian manusia dibangkitkan dalam bentuk manusia dan sebagian besar yang lain dibangkitkan dalam bentuk bermacam- macam hewan. Ini merupakan bukti bahwa wujud manusia itu mendahului mahiyyahnya. Meskipun seorang manusia lahir dalam fithrah insani, atau sebagai maujud yang berpotensi untuk menjadi manusia, arus kehidupan sangatlah mungkin mengubah mahiyyahnya menjadi suatu hewan yang mengerikan.

Alhasil, kita telah mengetahui adanya satu prinsip dalam eksistensialisme yang benar dan tidak dapat disalahkan, yaitu “manusia adalah maujud yang tercipta bebas, merdeka, dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri”.

Kita mengenal adanya dua golongan dalam tubuh muslimin; kaum Asy'ariah yang jabri (meyakini bahwa segala langkah manusia telah ditentukan oleh Allah sejak lahir sampai mati) dan kaum Mu'tazilah yang tafwidhi (meyakini kebebasan mutlak

p: 279

manusia sejak lahir sampai mati). Dalam masalah jabr dan ikhtiyar ini, Syi'ah meyakini kaidah “amrun bainal amrain” (jalan tengah di antara dua jalan). Syi'ah tidak menerima jabr ala Asy'ari ataupun tafwidh ala Mu'tazili. Kehendak mutlak pada manusia yang diyakini oleh penganut eksistensialisme tidak lain adalah tafwidh ala Mu'tazili.

Menurut Syi'ah, yang berlaku bagi manusia bukan kehendak mutlak (tafwidh), melainkan ikhtiar dan kebebasan yang relatif (tidak absolut), bukan pula jabr atau determinisme (yang sekarang dikumandangkan oleh kaum materialis) dan bukan pula tafwidh atau keterserahan (yang sekarang digembar-gemborkan oleh kaum eksistensialisme), tapi ikhtiar yang merupakan penengah dari keduanya.

Berbagai Akibat dari Keterikatan dan Ketergantungan Manusia

Menurut eksistensialisme, segala sesuatu yang berlawanan dan bertentangan dengan kebebasan akan mengeluarkan dan mengasingkan manusia dan kemanusiaannya.

Manusia memang tercipta bebas, tapi mungkin saja datang kepadanya faktor-faktor keterikatan dan ketergantungan yang akan merenggut kebebasan darinya. Jika seseorang mengikatkan dirinya pada sesuatu dan bergantung padanya, sehingga ia menjadi hamba yang tidak berdaya di hadapannya, maka menurut eksistensialisme, ia telah terlempar keluar dari kemanusiaannya, karena ia sudah tidak bebas lagi.

p: 280

Akibat yang lazim dari keterikatan dan ketergantungan manusia ada beberapa hal: Pertama, ketika seseorang telah bergantung pada sesuatu, seperti uang yang telah sedemikian rupa memainkan peranan penting untuknya, maka uang itu akan mengalihkan perhatian manusia itu dari dirinya kepada uang itu.

Ini mengakibatkan kelalaian manusia akan dirinya dan hanya menaruh perhatian pada hal lain. Manusia macam ini sudah tidak lagi mengingat siapa dirinya. Ia akan selalu teringat pada sesuatu yang ia cari dan cintai itu. Ini merupakan kemerosotan bagi kemanusiaannya, seiring dengan terjadinya perubahan dari manusia yang sadar diri menjadi manusia yang lupa diri. Meski manusia semacam ini mengetahui secara detail dan terperinci akan suatu hal, tapi ia tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri.

Kedua, keterikatan-keterikatan ini akan menjadikan manusia lupa pada nilai-nilai insaninya dan memusatkan seluruh perhatiannya pada nilai lain. Di hadapan seorang penyembah dan hamba uang, nilai-nilai insani sama sekali tidak berarti, bahkan dirinya sendiri tidak mempunyai nilai apa pun. Kemuliaan dan kehormatan, kehendak dan kebebasan baginya tidak berarti apa pun, karena segala-galanya telah berubah menjadi uang bukan yang lain.

Ketiga, keterikatan dan ketergantungan pada suatu subyek akan menjadikan manusia sebagai tawanan dari subyek tersebut.

Ketika seseorang telah mengikat dirinya pada suatu hal, mau tidak mau ia akan berhenti bergerak menuju kesempurnaan, karena sesuatu itu telah mengikatnya, seperti terikatnya hewan dengan tali kekang yang sangat kuat. Dengan kata lain, setelah terikat ia akan menjadi pasif dan tidak aktif lagi.

p: 281

Keyakinan pada Tuhan Menurut Eksistensialisme

Eksistensialisme menghendaki kebebasan mutlak bagi manusia. Karenanya walaupun kebanyakan prinsipnya bertentangan dengan materialisme dialektik, tapi satu dari dua kelompok kaum eksistensialis ini berpendapat bahwa keyakinan pada Tuhan tidak sesuai dengan prinsip mereka dipandang dari dua segi. Pertama, keyakinan pada Tuhan akan mendatangkan keyakinan pada qadha dan qadar, sedang keyakinan pada qadha dan qadar, pada gilirannya ini akan mendatangkan juga keyakinan pada determinisme (jabr) yang akan berakhir pada keyakinan akan tabiat dan watak manusia yang statis (tidak bisa berubah).

Dalam ungkapan lain, jika Tuhan itu ada, maka manusia dalam ilmu Tuhan akan memiliki tabiat yang tertentu dan itu mustahil.

Jika Tuhan itu ada, maka qadha dan qadar yang akan mencabut kebebasan dan kemerdekaan manusia juga pasti ada. Karena kita telah menerima kebebasan, maka dalam waktu yang sama kita tidak dapat menerima Tuhan.

Kedua, terlepas dari adanya pertentangan antara keyakinan pada Tuhan dengan keyakinan pada kebebasan, keyakinan pada Tuhan sudah pasti akan mendatangkan iman pada-Nya. Iman kepada Tuhan berarti keterikatan dan ketergantungan pada- Nya, sedangkan keterikatan dalam segala macam bentuknya bertentangan dengan kebebasan manusia, apalagi keterikatan ini adalah keterikatan pada Tuhan yang harus diletakkan di atas segala-galanya, oleh sebab itu eksistensialisme tidak dapat menerima Tuhan.

Pandangan eksistensialisme dalam hal ini mengandung dua kesalahan. Pertama, mereka mengira bahwa keyakinan pada Tuhan bertentangan dengan kebebasan dan ikhtiar. Cara berpikir

p: 282

mereka tentang qadha dan qadar tak ada bedanya dengan cara berpikirnya wanita-wanita tua yang tidak tahu apa-apa.

Mereka sebenarnya tidak memiliki pengertian sama sekali tentang qadha dan qadar. Jika mereka benar-benar mengerti, mustahil mereka akan mengatakan bahwa qadha dan qadar itu bertentangan dengan kebebasan. Di sini kita tidak akan membahas kesalahan ini lebih jauh.

Kedua, menurut paham ini, segala bentuk keterikatan dan ketergantungan bertentangan dengan kebebasan manusia, walau pada Tuhan sekali pun. Untuk ini, saya perlu memberikan sebuah komentar.

Kesempurnaan Bergerak dari ‘diri' Ke ‘diri'

Perhatikanlah suatu fenomena yang sedang menjalani pertumbuhannya. Setangkai bunga, yang sejak mulai tumbuh di tanah, kemudian perlahan-lahan berkembang sampai akhirnya menjadi bunga yang mekar dengan indahnya, dari mana dan ke manakah gerak pertumbuhannya? Serangkaian sel yang menjadi pangkal wujudnya seekor hewan, tumbuh dari awal sampai terwujudnya seekor hewan, lengkap dengan kepala, tangan, kaki, dan seterusnya. Proses penyempurnaan diri yang dimulai dari kondisi paling lemah, lalu berkembang dan menyempurna sampai batas maksimal, dari mana dan ke manakah gerak pertumbuhannya? Apakah ia bergerak dari diri' menuju ‘selain diri, sehingga pada setiap tahapannya ia selalu merasa asing dari dirinya sendiri? Ataukah sebaliknya, ia berjalan dari ‘selain diri' menuju diri? Atau dari ‘selain diri menuju 'selain diri? Ataukah semuanya tidak berlaku, melainkan dari diri' menuju ‘diri?

p: 283

Kalau kita katakan dari diri menuju selain diri, maka selama ia belum bergerak dan berkembang, ia adalah dirinya sendiri.

Tapi setelah bergerak dan mulai berkembang, maka ia bukan lagi dirinya, terpisah dari dirinya dan menjadi maujud yang asing dari dirinya. Seperti yang dinyatakan oleh sebagian filosof qadim (terdahulu) bahwa “gerak menciptakan kelainan, yakni gerak adalah menuju ke selain diri. Pernyataan ini sama sekali tidak benar.

Bibit suatu bunga atau sperma manusia, sejak mulai berkembang sampai akhir kesempurnaan maksimalnya, telah bergerak dari diri menuju dirinya. Artinya, 'diri' itu adalah suatu realita yang terus-menerus ikut berkembang bersama perubahan waktu. 'Diri’nya bukan hanya ada pada mula pertama, atau pada pertengahan dan juga bukan pada masa akhir. 'Diri’nya tetap ada dari awal sampai akhir pertumbuhan. Bahkan semakin mendekati masa akhir pertumbuhan, ia akan semakin men'diri'.

Artinya, ia akan lebih sempurna. Ia bergerak dari diri’nya yang naqish (kurang/belum sempurna) menuju ‘diri' yang kamil.

Semua maujud secara fithrah mendambakan kesempurnaan akhir yang merupakan puncak kesempurnaan dirinya, baik ia maujud yang berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan benda- benda mati.

Berdasarkan keterangan di atas, keterikatan suatu maujud pada puncak kesempurnaan akhirnya -bertentangan dengan pandangan (Jean Paul) Sartre, bukanlah bentuk keterasingan dari diri sendiri, melainkan penyelaman lebih jauh ke dalam diri. Jika kebebasan sampai pada tahap di mana manusia terbebas (bahkan) dari puncak kesempurnaan dirinya, justru akan mengakibatkan

p: 284

terasingnya seseorang dari dirinya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesempurnaan manusia.

Eksistensialisme tidak membedakan antara keterikatan pada selain diri dengan keterikatan pada diri sendiri (keterikatan pada sesuatu yang menjadi tahap kesempurnaan dirinya). Kita menerima bahwa keterikatan pada sesuatu yang asing akan mengakibatkan terhapusnya sifat kemanusiaan dari manusia.

Mengapa agama selalu menganjurkan pada manusia untuk tidak terikat pada materi? Karena materi itu merupakan sesuatu yang asing dan menyebabkan merosotnya nilai kemanusiaan. Tetapi keterikatan pada puncak kesempurnaan manusia berbeda dengan keterikatan pada sesuatu yang asing.

Keterikatan pada diri', yakni keterikatan seseorang pada dirinya sendiri, tidak akan menyebabkan keterasingan orang itu dari dirinya atau menjadikannya lupa pada nilai-nilai dirinya, karena ketika sesuatu terikat pada tujuan puncaknya, maka ia akan bergegas untuk segera menggapainya.

Kesalahan Pandangan Eksistensialisme Tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan

Tuan Sartre! Dua argumen berikut ini dapat membuktikan bahwa Tuhan bukanlah suatu Zat yang asing bagi manusia.

Pertama, keterikatan manusia pada Tuhan bukanlah keterikatan pada sesuatu yang lain dan asing, sehingga dengannya manusia bisa melupakan dirinya. Karena efficient cause (illah fa'ili) atau sebab yang menciptakan dan mengadakan suatu maujud itu lebih dekat pada maujud tersebut ketimbang dekatnya maujud itu pada dirinya sendiri. Hal ini telah dibuktikan dalam buku-buku filsafat

p: 285

Islam dengan argumen dan burhan (proof) yang sangat gamblang dan jelas.

Menurut Al-Quran, Kami (Tuhan) lebih dekat dari diri kalian terhadap diri kalian sendiri. Seakan-akan Allah mengatakan bukan hanya pengetahuan Kami terhadap kalian lebih banyak dari pengetahuan kalian terhadap diri kalian sendiri, lebih dari itu, Zat Kami lebih dekat pada kalian terhadap diri kalian sendiri.

Amirul Mukmini Ali a.s. berkata:

"Tuhan tidak berada di luar dan terpisah dari benda-benda, pada saat yang sama juga Dia tidak berada di dalam dan bercampur dengan benda-benda.” Kedua, Al-Quran mengatakan bahwa manusia harus mempunyai keterikatan diri pada Tuhan, karena Tuhan adalah puncak dan akhir kesempurnaan dan merupakan tujuan dari perjalanannya. Maka dari itu, perhatian manusia pada Tuhan adalah perhatiannya pada puncak kesempurnaan dirinya, seperti perhatian satu biji tanaman pada puncak pertumbuhan dan perkembangan maksimalnya. Bergeraknya manusia menuju Tuhan adalah gerak menuju dirinya sendiri, beranjaknya manusia dari diri yang kurang menuju diri yang lebih sempurna.

Maka jelas sudah, bahwa mereka telah melakukan kesalahan ketika membandingkan Tuhan dengan selain-Nya dan menyangka bahwa dengan memusatkan perhatiannya pada Tuhan, manusia telah melalaikan nilai-nilai dirinya, yang berarti berhenti bergerak dari diri menuju diri.

p: 286

“Pengetahuan tentang Diri" dan “Pengetahuan tentang Tuhan"

Begitu dekatnya Tuhan dengan manusia sehingga pengetahuan manusia tentang Tuhan tak ubahnya dengan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri. Manusia baru dapat dikatakan mengenal dirinya ketika telah mengenal Tuhannya. Mustahil seseorang akan mengetahui dirinya tanpa mengetahui Tuhannya. Telah dinyatakan dalam Al-Quran: 'Siapa yang melupakan Tuhannya berarti telah melupakan dirinya.

Manusia akan menemukan dirinya pada saat ia telah menemukan Tuhannya. Apa yang dinyatakan oleh Al-Quran adalah kebalikan dari apa yang diyakini oleh kaum eksistensialis yang mengatakan, jika perhatian manusia tertuju kepada Tuhan, maka dia akan mengetahui Tuhan tetapi tidak tahu menahu tentang dirinya.

Al-Quran mengatakan, justru dengan pengetahuan akan Tuhan ia akan mengenal dan mengetahui apa dan siapa dirinya. Hal ini adalah salah satu dari sekian banyak keajaiban yang sangat mengagumkan dalam Al-Quran.

Menurut Al-Quran, orang yang paling merugi bukanlah orang yang kehilangan seluruh hartanya atau kehilangan kebebasannya dan menjadi hamba orang lain, melainkan orang yang kehilangan dirinya sendiri. Ketika seseorang telah kehilangan dirinya, berarti ia telah kehilangan segala-galanya. Sebaliknya, jika ia telah menemukan dirinya bararti ia telah menemukan semua dan segalanya.

Falsafah ibadah ialah menemukan Tuhan sehingga dapat menemukan diri. Falsafah ibadah adalah penemuan, pengetahuan, dan kesadaran akan hakikat diri yang sebenarnya. Semakin banyak

p: 287

ibadah dan khalwat yang dilakukan oleh seseorang, maka semakin sempurna juga pengetahuannya akan diri dan hakikatnya.

Menurut Maulawi, ruh adalah pengetahuan dan kesadaran akan diri. Karenanya, siapa yang lebih tahu dan lebih sadar akan diri, berarti ruhnya lebih kuat. Berdasarkan inilah dikatakan bahwa ruh manusia itu lebih kuat dari ruh hewan.

Imam Ali a.s. berkata: “Aku heran melihat orang yang dengan giat dan tak kenal lelah mencari sesuatu yang ia hilangkan, sedang ia telah menghilangkan dirinya tapi tidak mencarinya. Hai manusia! Cari dan temukanlah dirimu, karena ia lebih berharga dari segala yang kau hilangkan."

Jawaban Bagi Beberapa kritikan

Tentang nilai-nilai manusia -yang menurut mereka akan terlalaikan dengan munculnya keimanan kepada Allah SWT- kita menjawab: Tenggelam pada sesuatu yang asing memang akan menyebabkan manusia melupakan nilai-nilai ‘zati’nya. Namun, tenggelam dalam diri dan kesempurnaannya akan menyebabkan bertambah hidupnya nilai-nilai manusia dan berdasarkan ini juga mereka yang telah sampai pada maqam ubudiyyah (penghambaan) yang tinggi akan semakin kuat pula nilai-nilai insaninya, seperti akal, cinta, kekuatan, kekuasaan, kepedulian, kemuliaan, keutamaan, dan seterusnya, karena semua nilai-nilai itu tak lain merupakan jelmaan-jelmaan dari Zat Suci Allah SWT.

Adapun yang mereka katakan bahwa keterikatan pada Tuhan akan menyebabkan kejumudan dan berhentinya gerak kesempurnaan manusia, harus dijawab dengan: Mereka mengira Tuhan itu seperti pohon. Jika seseorang terikat padanya, maka akan terbatas gerak dan langkahnya.

p: 288

Tuan eksistensialis! Perlu Anda ketahui bahwa Tuhan dalah suatu hakikat yang tak terbatas. Jika manusia terikat pada sesuatu yang tak terbatas, jelas gerak dan langkahnya menjadi tidak terbatas pula. Tuhan adalah suatu wujud yang tidak terikat oleh ruang dan waktu, sedemikian rupa sehingga manusia yang paling sempurna sekalipun (Muhammad saw) yang selalu bergerak maju dan maju terus dalam perjalanan kesempurnaannya, tidak akan pernah menemukan batas akhir Tuhannya. Tuhan bukanlah suatu wujud yang berhubungan dengan “akhir”, akan tetapi Tuhanlah yang menjadi satu-satunya jalan tanpa batas dan merupakan puncak tujuan manusia. Karenanya, keterikatan pada Zat Tuhan tidak akan menyebabkan proses gerak manusia mati dan terhenti.

“Kesempurnaan Tujuan” dan “Kesempurnaan Perantara"

Kaum eksistensialis melakukan kesalahan dalam membedakan antara perantara dan tujuan. Kebebasan manusia merupakan suatu kesempurnaan, tapi kesempurnaan yang merupakan perantara, bukanlah tujuan. Tujuan manusia bukanlah kebebasan itu sendiri. Akan tetapi, manusia harus bebas untuk mencapai kesempurnaan dirinya, karena manusia adalah satu- satunya maujud yang harus memilih jalannya sendiri. Manusia harus memilih sebuah 'diri' untuk dirinya.

Manusia itu bebas berkehendak. Apakah karenanya ia telah mencapai kesempurnaan dirinya? Ataukah ia bebas dan merdeka untuk memilih jalan menuju kesempurnaannya? Sarana kebebasan memungkinkan manusia untuk sampai pada

p: 289

kesempurnaan tertinggi atau jatuh dalam jurang kerusakan yang terdalam. Dalam Al-Quran dinyatakan:

“Sesungguhnya Kami menunjukinya ke jalan (kebenaran), adakalanya ia berterima kasih dan adakalanya ia ingkar.” (QS. al- Insan: 3).

Demikian pula halnya dengan jiwa menentang dan ingkarnya manusia. Menurut mereka, karena manusia itu bebas, maka ia dapat mengingkari, menentang, dan melawan. Ia dapat menentang dan menafikan segala bentuk jabr (determinisme) dan paksaan.

Kemudian mereka mengira bahwa jiwa ingkar dan menentang manusia itu merupakan nilai kesempurnaan baginya, karenanya manusia yang bebas adalah manusia yang tidak mau menyerah pada segala sesuatu dan berani menafikan dan menentangnya.

Mereka rupanya menjadikan jiwa yang ingkar dan menentang sebagai 'nilai zati' atau kesempurnaan tujuan. Oleh karenanya mereka dibingungkan oleh kelaziman dari nilai ingkar itu sendiri berupa kekacau-balauan dan kesewenang-wenangan.

Sartre sendiri berusaha keras untuk dapat memberikan penjelasan atas kepincangan dalam keyakinannya ini, namun ia tidak berhasil. Dalam Islam, yang menjadi nilai adalah ‘kemungkinan ingkar' bukan ‘keharusan ingkar? Artinya, manusia berpotensi untuk ingkar atau taat, bisa naik ke atas dan bisa juga turun ke bawah. Ada juga nilai lain dalam Islam, yang merupakan bentuk penyesalan manusia dari keingkaran yang ia lakukan, yakni “taubat”.

Dengan taubat inilah akan terealisasi satu ism (nama) dari Asma Allah, yaitu sifat Maha Pengampun (Ghofur).

p: 290

Kebebasan Menurut Islam

Islam mengakui kebebasan sebagai salah satu nilai insani, bukan sebagai satu-satunya nilai. Islam memahami kebebasan berbeda dengan paham-paham rekaan dan buatan manusia. Islam mengungkapkan kebebasan dalam arit yang sebenarnya.

Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah pernah menulis sebuah surat yang cukup panjang sebagai wasiat untuk anaknya Imam Hasan a.s. Surat itu merupakan surat terpanjang kedua dalam Nahjul Balaghah setelah surat beliau yang ditujukan kepada Malik al-Asytar, salah seorang gubernur beliau. Berikut ini adalah beberapa cuplikan dari surat wasiat itu:

‘Muliakan ruh dan dirimu agar tidak jatuh ke dalam segala pekerjaan yang rendah dan hina. Beliau tidak mengatakan, “jangan kau sakiti dirimu' tapi ‘muliakan dirimu dari hal-hal yang rendah dan hina! Anakku! Segala sesuatu yang kau berikan atau kau jual dapat ditentukan harganya. Tapi dirimu adalah satu- satunya milikmu yang tidak dapat ditentukan harga dan nilainya, walau dengan dunia beserta isinya sekalipun.' Imam Shadiq a.s. berkata, “Hanya satu yang dapat dijadikan harga untuk ruh dan diri manusia, yaitu Allah SWT.” Ruh manusia hanya dapat dijual dengan nilai Allah SWT, tapi harga ruh tidak akan ditemukan pada seluruh makhluk-makhluk alam atau mulk- malakut dunia dan akhirat (selain manusia).

Anakku! Janganlah kau pernah mau menjadi hamba (selainmu), karena Allah telah menciptakanmu dalam keadaan bebas.

Pernahkah Anda mendengar ucapan Ali a.s. tentang tiga macam golongan orang-orang yang beribadah? Sehubungan dengannya beliau berkata:

p: 291

Golongan pertama, mereka yang beribadah karena takut akan kepedihan siksa dan azab jahannam. Mereka itu seperti budak yang takut pada tuannya.

Golongan kedua, mereka yang menyembah Allah, karena mengharapkan surga yang penuh nikmat yang telah dijanjikan.

Mereka itu seperti para pedagang yang hanya bersedia dan sudi bekerja keras manakala akan mendapatkan keuntungan.

Golongan ketiga, mereka yang beribadah bukan karena takut akan siksa neraka atau tergiur oleh hurul’in (bidadari-bidadari surga) dan nikmat-nikmat surga lainnya. Mereka adalah orang yang beribadah siang dan malam semata-mata sebagai ungkapan terima kasih dan rasa syukur kepada Allah SWT. Hakikat mereka sebagai manusia mengharuskan mereka untuk tekun beribadah dan bersyukur.

Bukankah Rasulullah saw, dari begitu banyak dan lamanya beribadah sampai kaki beliau bengkak? Para sahabat pernah bertanya, Ya Rasulullah! Bukankah Allah telah menjamin ampunan dan surga bagimu?” Beliau menjawab, “Apakah menurut kalian setiap orang yang beribadah itu hanya bertujuan mendapatkan surga dan agar dijauhkan dari neraka? Apakah aku tidak harus menjadi hamba yang bersyukur?” Ibadah golongan pertama adalah ibadah para budak, kedua adalah ibadah para pedagang, dan ketiga adalah ibadah orang- orang yang bebas.

Manusia yang merdeka dan bebas menurut Ali as, bahkan tidak terikat oleh surga dan neraka, hanya terikat kepada Allah SWT.

Dari seluruh pembahasan kita, dapat diambil kesimpulan:

p: 292

Pertama, Islam bukanlah paham satu nilai atau bernilai tunggal. Ia mempunyai mata yang dapat melihat semua hal. Apa pun yang dikatakan oleh para filosof, Islam telah mengatakan sebelumnya. Apa pun yang dilihat oleh ‘urafa, Islam lebih tajam memandangnya. Islam memiliki pandangan yang lebih luas ketimbang paham mahabbah, paham kekuasaan dan kekuatan, paham sosialisme, paham kebebasan dan eksistensialisme.

Pada hakikatnya, pada wajah Islam tidak terdapat titik-titik noda kelemahan seperti yang terdapat pada beberapa paham lain.

Logika yang gamblang dan terarah menunjukkan bahwa Islam adalah paham yang komprehensif dan sempurna. Inilah yang membuktikan bahwa Islam itu datangnya dari Allah SWT.

Bukankah paham-paham di atas merupakan hasil perasan (saripati) pemikiran orang-orang genius tingkat dunia? Namun demikian, kita dapat melihat semuanya menjadi pucat dan kurang warna bila dibandingkan dengan Islam.

Betapa pun geniusnya Rasul saw -genius yang tidak pernah belajar dan tidak dapat menulis- mustahil dan tidak mungkin beliau dapat menciptakan paham seperti ini (Islam) dari otaknya sendiri.

Jelas dapat diketahui bahwa Islam berasal dari suatu kekuatan di atas kekuatan manusia dan benar-benar dari Allah SWT. Islam dapat melumpuhkan semua paham lain. Dengan membandingkan Islam dengan paham-paham lain akan semakin terlihat betapa besar dan agungnya Islam.

p: 293

p: 294

INDEKS

Darwin 110, 212, 213, 215

Descartes 209

Diwan Matsnawi 27

fahsya' 89

Farid Wajdi 108

fikri-i'tiqadi 142, 146

Furughi 214

futuhat islami 86

Abu Abdillah 121

Abu Ali Sina 36, 38, 39, 66,

102, 116, 162, 171

Abu Said Abul Khair 154, 171

afaq 73, 178, 183

Ahsanul qashash 114

alam aini 103

alam aqlani 103

alam ma’na 73, 74

Albert Einstein 212

Alexis Carel 217

Al-Husein 4, 11, 46

Ali bin Musa ar-Ridha 74

Ali Zainal Abidin 18

Al-Kafi 84, 240

Allamah Thabathabai 116

anfus 73, 178, 183

aqliyyun 101, 104, 105, 129

‘arif 8

Aristoteles 151, 208

Ashabus Shuffah 84

asyiq 39, 97

Ghibah 22

Hafizh 38, 156

Hasan 4, 45, 46, 47, 95, 97, 124,

238, 244, 291

Hassan bin Tsabit 225

Hatim Ath-Tha'i 9

hikmah amali 104, 139

hikmah nazhari 102, 104, 139

Baba Thahir 115

Bacon 209, 210, 211, 212

bashirah 84

Ibnu Abil Hadid 172

Ibnu Sina 36, 151

ifadhi-ma'nawi 163

Ifrath 32, 34, 36, 38

p: 295

M

ifrathi 81, 93

43, 44, 79, 101, 102, 103,

insaniyyah 51, 52, 54, 63, 66,

104, 105, 106, 110, 115, 116,

74, 75, 101, 146, 169, 242,

118, 119, 122, 123, 129, 130,

243, 251, 260

146, 151, 153, 154, 155, 160,

insan kamil xviii, 3, 4, 5, 6, 8,

161, 162, 163, 171, 173, 189,

9, 12, 21, 27, 29, 31, 39, 41, 207, 214, 216, 218, 226,

43, 79, 101, 102, 104, 105,

238, 241, 257, 267, 277,

110, 115, 116, 118, 119, 123,

284

129, 130, 146, 151, 153, 154, Karl Marx 107, 116, 123

155, 161, 162, 163, 171, 173, Khadim 199

189, 207, 214, 216, 218, khairul amal 88

226, 238, 257, 267, 277 Khomeini 250

insan salik 161

Iqbal Lahore 222

‘irfân 8, 59, 93, 104, 151, 152,

ma'ad 130, 137, 138, 139, 142, 146

162, 163, 164, 165, 171, 173, maddiyyat 74

184, 185, 189

Mahabbah 116, 227, 241, 251

Isyq 38, 104, 151, 152

Mahatma Gandhi 117

isyqiyyun 105

Malik al-Asytar 40, 224, 291

izzatun nafs 201

ma'nawiyyat 74, 75

manusia teladan 3

maʼrifah 69, 116, 130, 136, 137,

Jalaluddin Ar-Rumi 8, 39

138, 139, 140, 146, 155, 156,

jamiul adhdhad 160

178

Jean Paul Sartre 116

maʼrifatullah 38, 58, 136, 146,

jihadun nafs 196, 197, 198, 200, 156

202

masail afaqi 74

Ju’dah bin Hubairah 48 masail anfusi 74

Maskh 17

ma'syuq 97

kamal 7, 27, 39, 78, 146, 261 mau'izhah 97

kamil xvii, xviii, 3, 4, 5, 6, 7, 8, Maulawi 8, 9, 27, 55, 59, 61, 92,

9, 12, 21, 27, 29, 31, 39, 41, 96, 116, 154, 173, 174, 176,

p: 296

ruhul yaqin 60

rusyanfikri 86

S

177, 195, 233, 234, 288

ddin Al-Arabi Al-

Andalusi Ath-Tha'i 8

mukmin kamil 4

mulki-malakuti 27

Mullah Shadra 152

munkar 89

Muruwwah 90, 92

muslim kamil 4

Mutasawifah 151

1

naqish 6, 7, 9, 143, 146, 284

Niccolo Machiavelli 208

Nietzsche 106, 107, 116, 209,

212, 213, 214, 215, 216, 217,

218, 219, 221, 226, 231,

234, 239, 240, 241, 245

Sa'di 35, 51, 63, 112, 113, 114, 115,

159, 234, 235, 242, 270,

271

Sajjad 152

Sayyid Radhi 43

shabr 83, 85

Shadr al-Mutaallihin Syirazi

182

Shadruddin Qunawi 9

Shadrul Muta’allihin Syirazi

162

Shafiyyuddin Hilli 43

nd Freud

Socrates 10, 55, 116, 117, 208,

214, 217

Sophis 208

Syabistari 184, 201

Syaikh al-Isyraq Syihabuddin

Suhrawandi 162

Syapour Al-Aktaf 87

syarrul amal 88

Syimr bin Dzil Jausyan 11, 122

Sign

Paham Keterpenuhan 119

paham mahabbah 116, 293

paham ma'rifah 116

paham qudrat 105, 111

Paham Sosialisme 258, 261

Plato 76, 116, 208

qudhad 43

Quthbul Arifin 172

taam 6, 8, 9

tahdzib nafs 163

tamam 6,7

Taswil 193

tazkiyatun nafs 155, 156, 189

R

Roosevelt 212

p: 297

ubbad 43

‘urafa 8, 38, 39, 105, 151, 152,

153, 155, 162, 163, 171, 172,

177, 183, 185, 189, 195, 199,

201, 242, 257, 258, 262,

268, 293

Utsman bin Hanif 65

W

wahdatul wujud 105

Will Durant 219

Zahid 43

p: 298

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109